Mohon tunggu...
TONI PRATAMA
TONI PRATAMA Mohon Tunggu... Administrasi - Kepala Bagian Perencanaan dan Keuangan Sekretariat Daerah Bangka Selatan

Saya mulai fokus menulis sejak tahun 2023 dengan menerbitkan 2 buku solo dan belasan buku antologi. Salah satu karya saya berupa novel diterbitkan penerbit Bhuana Ilmu Populer (BIP) Gramedia Group. Prestasi yang pernah saya raih yaitu juara 1 lomba menulis cerita rakyat yang diselenggarakan Dinas Perpustakaan dan Arsip Bangka Belitung tahun 2023. Menulis dan membaca tentu menjadi kegiatanku saat waktu luang. Semoga bisa terus berkarya, karena ada kalimat yang sangat menginspirasiku: JIKA KAMU INGIN MELIHAT DUNIA MAKA MEMBACALAH, JIKA KAMU INGIN DILIHAT DUNIA MAKA MENULISLAH!

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Dharma Habangka (Bagian 2)

14 Mei 2024   09:24 Diperbarui: 14 Mei 2024   10:51 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dharma Habangka (bagian 2)

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Rendy mendapati tubuh Arif, adik keduanya, terbujur kaku di depannya. Kaus pemberiannya tadi pagi yang bergambar panda telah berlumuran darah. Bang Deni dan anaknya juga terbaring di ranjang sampingnya, tidak bernyawa lagi. Sungguh di luar dugaan, ternyata kecelakan yang dialami keluarganya demikian parah hingga memakan korban jiwa.

Rendy diam membatu. Wajahnya pucat dan tangannya terus bergetar. Tidak ada sedikitpun suara yang bisa keluar dari kerongkongannya yang tercekat. Tatapan matanya kosong. Rendy shock, jiwanya terguncang hebat hingga tak mampu bersuara. Ia hanya mematung dan menatap tubuh adiknya dalam-dalam. Ia tidak percaya bahwa inilah yang terjadi.

"Ren... Rendy.... Ren," panggil Yadi sambil menepuk pelan pundaknya.

Rendy baru bereaksi setelah sadar dari kebekuannya.

"ARIFFFF.....! Ya Allah...! Yaaa... Allah! ARIFFF...!" Rendy histeris sambil dipeluk Yadi.

 Tangisan itu akhirnya pecah. Ia menangis meraung-raung sambil memanggil terus nama adik yang ia kasihi. Adik yang tadi pagi masih menyapanya dengan manis dan riang. Adik yang tadi pagi masih menyuguhkan dia teh hangat. Adik yang penuh perhatian dan baik hati. Adik yang sangat dicintainya.

"Istighfar, Ren! Istighfar! Semua sudah menjadi kehendak-Nya!" Yadi mencoba menenangkannya.

"Ayah? Ayah bagaimana? Mana ayah?" dalam kekalutannya, Rendy mencari keberadaan ayahnya.

"Ayah dirujuk ke Rumah Sakit Timah di Pangkal Pinang. Belum ada kabar terakhir kondisinya," jelas perawat.

"Yadi, kita susul ke Pangkal Pinang!" Rendy cepat memutuskan.

Mereka pun melajukan kendaraan menuju Pangkal Pinang. Sepanjang jalan Rendy menangis tiada hentinya. Dia sudah kehilangan seorang adik yang dikasihinya. Jangan sampai ia juga harus kehilangan seorang ayah. Oh Tuhan! Jangan biarkan ini terjadi! Janganlah Kau memberikan cobaan yang demikian dasyat! Rendy terus memohon dan memohon.

Baru setengah perjalanan, mereka berpapasan dengan mobil Ambulance yang membawa pak Jikrin. Jantung Rendy berdegup kencang. Sepertinya sesuatu telah terjadi sehingga mobil itu berbalik arah pulang kembali ke Koba.

"Ayahhhh...! AYAHHHH....!" Jerit Rendy.

Sang ayah tidak terselamatkan. Ayah menghembuskan nafas terakhir dalam perjalanan rujukan ke Rumah Sakit di Pangkal Pinang. Dalam sekejab, Rendy harus kehilangan dua orang keluarga tercinta. Kecelakaan parah itu terjadi di desa Guntung saat ayah dan adik-adiknya dalam perjalanan pulang tamasya ke Sungailiat. Arif dan Bang Deni serta anaknya meninggal di lokasi kejadian. Hanya Agung dan Yusril yang selamat dan menderita luka ringan. Sungguh tak dikira! Sungguh tak diduga! Apa rencana Tuhan sebenarnya?

Suasana duka semakin mendalam ketika ibu tiba di rumah dan mendapati suami dan seorang anaknya telah tiada. Ibu menangis dan menjerit tiada hentinya. Tidak ada bahasa yang bisa menjelaskan bagaimana perasaan seorang ibu yang ditinggal mati suami bersama anak yang dibesarkannya dengan hati. Ibu bahkan sempat tidak sadarkan diri beberapa kali. Ya Allah! Sungguh berat cobaan-Mu, ya, Allah!

Ayah dan Arif telah dikebumikan. Meninggalkan duka yang menganga dalam hati seisi keluarga. Entah kapan luka itu baru akan disembuhkan. Sangat perih dan pedih dirasakan. Kini tiada lagi seorang ayah yang kharismatik panutan keluarga. seorang ayah yang sangat mencintai keluarganya. Tiada juga seorang adik sekaligus seorang sahabat berbagi suka maupun lara. Seorang adik yang telah menyelamatkannya dengan melarangnya ikut berangkat kala itu. Kebahagiaan rumah itu, seolah lenyap tergerus duka yang menghantam bagai tsunami secara tiba-tiba.

Pagi-pagi sekali Rendy duduk di depan teras. Entah telah berapa lama ia meringkuk memeluk kakinya sendiri. Sudah beberapa malam ia tidak bisa memejamkan mata sedikitpun. Kenangan indah bersama ayah dan sang adik tersayang memenuhi ruang otaknya. Bagai tayangan video yang tidak berkesudahan pemutarannya. Matanya selalu sembab oleh air mata yang tidak pernah kering mengalir.

Dalam lamunannya yang tak berujung, tebersit pikiran bodoh untuk menyusul ayah dan adiknya ke alam baka. Tidak sanggup rasanya harus menanggung kepedihan sebagai anak yatim. Apalagi kepergian orang yang dikasihinya itu dengan cara yang tidak wajar dan tidak terduga. Semua terjadi tiba-tiba. Memporak-porandakan seluruh hidupnya. Entah harus bagaimana menatanya kembali. Dan entah sampai kapan luka itu baru akan pulih.

Dilihatnya bekas pohon yang dulu ditebang ayah. Sebuah kenangan pendek tersangkut dalam ingatannya.

"Kenapa ditebang pohonnya, Yah?" tanya Rendy kala itu.

"Nanti kamu akan tahu kenapa," jawab ayah singkat.

Rendy berjalan menuju batang pohon yang masih tersisa sedikit itu. Didapatinya sepucuk tunas kecil telah menyeruak keluar. Pohon itu menolak mati. Ia tetap berjuang untuk tumbuh. Apakah ini yang ayah maksud: Nanti kamu akan tahu kenapa?

Sepucuk tunas kecil itu seolah mewakili untaian wejangan ayah yang belum sempat disampaikan. Sebatang pohon tidak berontak saat terluka. Ia tidak menyalahkan langit maupun menuduh bumi. Ia tidak juga meratapi ataupun melolong kesakitan biar seluruh dunia tahu. Ia tidak minta dikasihani dan ditangisi siapapun. Sebatang pohon hanya berjuang mengumpulkan energi untuk tumbuh kembali atau malahan akan menjadi semakin rimbun nan kokoh. Rendy menyadari, kini dirinya bagai pohon itu yang baru ditebang. Mungkin inilah pesan terakhir dari ayah lewat filosofi hidup sang pohon ketapang kencana.

Rendy membelai lembut tunas kecil itu. Air mata beningnya menetes jatuh ke tanah. Batinnya masih terluka, namun tunas kecil itu memberinya segenggam semangat baru.

"Terima kasih, Tunas Kecil! Aku akan tumbuh bersamamu!" bisik Rendy lembut pada sang tunas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun