Mohon tunggu...
Dewanto Nugroho
Dewanto Nugroho Mohon Tunggu... -

Mantan penulis naskah iklan ...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Koes Bersaudara dan Perfilman Indonesia

18 November 2009   15:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:17 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Grup Musik Paling Populer di Indonesia".  Itulah sebutan resmi bagi kelompok musik Koes Bersaudara sekitar 45 tahun silam.  Tua-muda, besar-kecil, pria-wanita, kaya-miskin mengenal nama, wajah dan karya-karya mereka.  Dengan mudah, karena begitu hafalnya, di mana saja masyarakat melantunkan bait demi bait lagu-lagu karya anggota keluarga Koeswoyo itu.

Memang.  Mulai tahun 1962 hingga awal 1965, tembang seperti Harapanku, Aku Rindu, Bis Sekolah, Telaga Sunyi, Dara Manisku maupun Pagi yang Indah dengan cepat merebut hati rakyat segala golongan di seantero nusantara.  Popularitas Koestono (Toni), Koesnomo (Nomo), Koesdjono (Yon) dan Koesrojo (Yok) pun melambung; seiring makin berkibarnya karir mereka.  Dalam kurun sekitar 3 tahun, 4 anak muda yang belum lagi berusia 25 telah menjelma dari pemusik pesta dan hajatan menjadi grup musik panggung dan dapur rekaman yang sukses tiada tara.

Seberapa pun ketenaran mereka, Koes Bersaudara tetaplah seperti benda lainnya di kolong langit. Ada sisi positifnya, namun bagian yang dianggap negatif, tak bisa dikesampingkan.

Dan, tak ada yang bisa melarang ketika rezim yang berkuasa waktu itu, justru memberi sorotan yang sangat serius pada kecenderungan "negatif" yang mereka bawa.

"Koes Bersaudara menampilkan musik ngak-ngik-ngok yang mendorong bangsa ini menjadi cengeng dan melempem," kata mereka yang berdiri di balik panji-panji pemerintah.

"Aliran musik mereka sama sekali tak sesuai dengan karakter bangsa yang sedang berusaha membangun," ujar pendukung paham nasionalisme.

Cepat namun pasti, opini yang anti pada Koes Bersaudara terbentuk bahkan mengkristal pada sebagian publik.  Jalan mereka tak lagi licin dan mulus tapi mulai bertabur kerikil.  Selanjutnya, pertunjukan empat musisi asal Tuban ini sempat pula mengundang cemooh, bahkan hujan batu.

Puncaknya, menjelang siang pada tanggal 29 Juli 1965, kakak-beradik ini digelandang dari rumah orang tua mereka di kawasan Mendawai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.  Dengan truk ABRI, Toni dan tiga orang adiknya diantar ke Penjara Glodok.

Penangkapan mereka bukan tanpa dasar.  Secara eksplisit pihak penguasa merujuk Penpres 11 tahun 1963 KUHP sebagai dasar penahanan.  Bahkan, sebelum penangkapan dilakukan, pihak Koes Bersaudara juga telah mendapatkan peringatan serta larangan (untuk terus menyanyikan lagu-lagu ngak-ngik-ngok) dari kejaksaan.

Para penggemar fanatik Koes Bersaudara jelas tak bisa menerimanya.  Mereka angkat suara dan mengklaim hal tersebut sebagai bentuk paling ekstrem dari pemasungan kreativitas serta hak tiap individu untuk berkarya.  Mereka yakin, karya seni tak bersangkut paut dengan semangat juang sebuah bangsa.

Sayang, dengan opini publik seperti diutarakan di atas, suara pro terhadap pemberangusan Koes Bersaudara juga cukup kuat.  Pemerintah dianggap telah menempuh langkah yang tepat guna menyelamatkan bangsa, menyongsong tantangan di masa depan dengan tekad membara.  Sejumlah media massa, secara eksplisit bahkan memuji keseriusan usaha pemerintah mencegah rusaknya moral generasi muda.

Dari era ke era, masalah identitas dan karakter bangsa, semangat dan tekad bulat untuk membangun, serta nilai-nilai budaya bangsa memang selalu mengemuka. Bagi Indonesia apalagi; mengingat bangsa ini selalu berhadap-hadapan dengan berbagai masalah, tantangan, bahkan ancaman yang konon dapat membawa kita pada keterpurukan.

Tidak heran, bukan hanya sendi-sendi utama macam ekonomi, politik, pendidikan atau pertahanan yang disorot.  Bahkan seluruh bagian kehidupan bangsa, berbagai aspek dari aktivitas masyarakat hingga partikelnya yang terkecil "diharapkan" juga berada dalam tekad dan semangat yang sama guna menata masa depan yang lebih baik.

Salah satu unsur yang --mau tak mau-- juga turut mendapat sorotan adalah perfilman.  Bagaimana tidak.  Dari nature-nya saja, film sudah merupakan media massa yang keberadaannya bersinggungan langsung dengan masyarakat luas.

Sorotan yang serius terhadap industri perfilman setidaknya mulai bergaung sekitar 2 dasawarsa silam. Waktu itu, menyusul lahirnya satu persatu saluran televisi swasta, tumbuh marak rumah-rumah produksi.  Kerja mereka apa lagi kalau bukan membuat materi-materi tayangan di TV-TV swasta tadi.

Yang mengundang sorotan, jelas bukan kuantitas griya produksi tersebut.  Juga bukan soal jumlah tayangan yang diproduksi apalagi perihal bintang-bintang muda yang muncul entah dari belahan dunia mana.  Yang mengemuka hanya satu: urusan kualitas.

Hari demi hari, penonton TV bagaikan dicekoki dengan produk sinema elektronik (sinetron) yang "serupa tapi tak sama".  Kemarahan, bentakan, ancam-mengancam, tangis dan air mata pun ramai menghiasi layar kaca penonton televisi; dari hari ke hari hingga tahun ke tahun.

Secara bersamaan, masyarakat semakin "kaya" dengan aneka tipu muslihat yang tidak hanya dipraktekkan pada tempat kerja, tapi bahkan sampai ke dalam keluarga.  Tindak kekerasan, termasuk yang mengumbar darah juga menjadi bagian keseharian para keluarga pemirsa televisi, tak ketinggalan para anak.

Kritisi bermunculan dari banyak kalangan.  Berbagai ajang diskusi maupun seminar digelar; tak kalah gencar dibandingkan caci-maki publik melalui sejumlah media.  Namun, kilah dari yang empunya hajat selalu ada.  Di antaranya dan yang paling santer adalah bahwa mereka semata menyajikan sesuatu yang sesuai dengan selera publik.  Dan akhirnya, di tengah pro dan kontra, 'sang kafilah pun tetap berlalu'.

Seolah mendapatkan angin, beberapa saat kemudian dunia film layar lebar menampakkan pula geliatnya. Dalam waktu singkat, di awal milenium saja, sejumlah film produksi lokal beraksi di jaringan bioskop dalam negeri.

Tak bisa dipungkiri, ketika itu publik juga turut menggeliat senang.  Masalahnya, telah belasan tahun papan poster dan layar bioskop seperti hanya menjadi tempat pajangan film-film karya anak bangsa lain.  Inikah pertanda kebangkitan kembali perfilman Indonesia?

Kabar gembira lainnya adalah bahwa karya-karya film nasional yang bermunculan itu hanya sedikit melibatkan nama-nama lama.  Selebihnya; sebagian besar tepatnya, justru wajah dan nama baru dengan usia relatif muda.  Latar belakang mereka tidak semata beragam, tapi juga menjanjikan serta mendorong tumbuhnya optimisme; ada yang lulusan sekolah sinematografi atau teater mancanegara dan tidak sedikit yang cukup lama berkubang dalam proses pembuatan film pendek, macam iklan, profil perusahaan, video musik serta dokumenter.

"Tak ada bulan madu yang berlangsung lama".   Sepenggal kalimat ini mungkin tepat guna menggambarkan perkembangan selanjutnya dari dunia perfilman nasional yang di awalnya terasa manis tadi.

Menyusul film berjudul Jelangkung yang konon "sukses" (hingga dipromosikan ke mancanegara dan juga dibuatkan sekuel), bioskop di sekitar kita kemudian dibanjiri film nasional bertema horor.  Sebut saja, semua (benar-benar semua) perbendaharaan kata yang ada hubungannya dengan dunia klenik telah digunakan untuk memberi judul pada film-film bergenre seram tersebut.  Setelah Jelangkung, kemudian hadir Pocong, lantas ada Kuntilanak, Genderuwo, Sundel Bolong, Hantu, Tuyul, Santet, Setan Gentayangan, Susuk dan lain sebagainya.  Tanpa menggunakan kosa-kata klenik, judul-judul film yang lain juga tak kalah menciutkan nyali, seperti: Terowongan Casablanca, Bangsal 13, Suster Ngesot, Rumah Pondok Indah, Ambulans, Kesurupan dan masih banyak lagi.

Pada waktu yang kurang lebih berbarengan, film-film bertema ringan (sebagian besar menyinggung cinta remaja) juga membanjiri pasaran.  Jumlahnya memang tidak sebanyak film yang menjual suasana seram sehingga dominasinya tidak begitu terasa.  Namun, soal kualitas, tidak sedikit pecinta film menganggapnya sami mawon.  Ceritanya dari itu ke itu lagi, penggarapannya juga tidak menonjol. Tak banyak pelajaran dapat dipetik dari film-film tersebut.

Kini, bukan pemandangan asing jika sebuah bioskop dengan 4 teater, memutar 4 film Indonesia sekaligus.  Bahkan, pernah pula terlihat bioskop dengan 6 studio dan kesemuanya memainkan film lokal.  Banggakah masyarakat dengan hal ini?  Benarkah film Indonesia telah bangkit dan menjadi tuan rumah di negerinya sendiri?

Pasti ada yang melayangkan pujian terhadap para insan perfilman atas "jerih payah" dan "pencapaian" mereka.  Namun, suara sumbang juga cukup nyaring bergaung.  Pertanyaan yang banyak diajukan menyangkut: hanya sebegitukah kreativitas insan perfilman Indonesia (yang bisa dipakai sebagai tolok ukur kreatif tidaknya sebuah bangsa)?  Selain horor dan roman picisan, apakah di negeri ini tidak ada tema lain yang dapat diangkat ke layar perak?  Apa jadinya masa depan bangsa jikalau generasi muda yang satu (yang dianggap memiliki idealisme tinggi) terus mencekoki generasi muda yang lain, bahkan seluruh masyarakat dengan tontonan bermutu rendah?

Sulit membandingkan kondisi di jamannya Koes Bersaudara dengan era berjayanya film-film ala Pocong dan semacamnya sekarang ini.  Yang jelas, secara awam saja, jika sejumlah lagu (plus gaya menyanyi) dapat dicap kontraproduktif dan tidak baik bagi pembinaan mental bangsa, apalagi film-film seram berdurasi sekitar 2 jam yang jumlahnya mencapai puluhan dan telah merambah seluruh pelosok tanah air.

Bicara kembali soal benda di kolong langit yang mempunyai 2 sisi, dapat pula dipertanyakan: adakah sisi positif film-film yang bertema horor?  Apa sisi positif adegan yang mengekspos tubuh manusia tanpa kepala atau sebaliknya (kepala tanpa tubuh)?  Pelajaran apa yang dapat dipetik saat di layar terlihat adegan bangkitnya mayat-mayat dari liang kuburnya?

Bukan rahasia siapa-siapa bahwa suara sumbang mengenai membanjirnya film-film kurang bermutu itu datang dari segala lapisan masyarakat.  Bukan hanya dari awam belaka.  Bahkan sarjana pendidikan, pakar psikologi, sosiolog, budayawan senior dan politisi sudah angkat bicara.  Semua menyuarakan keprihatinan.

Jadi, kalau lagi-lagi 'sang kafilah bisa terus berlalu' (dan mungkin sambil cengar-cengir), hal tersebut jelas sangat mengherankan.  Begitu tidak berartikah pendapat para insan terpelajar dan terhormat itu?  Lantas, siapa lagi yang mereka mau dengar?  Dan, siapa pula nanti yang akan bertanggung jawab bila tontonan-tontonan tersebut memang membawa dampak buruk bagi masyarakat?

Sejarah mencatat, pemberangusan terhadap karya seni, entah itu berbentuk buku ataupun film, pernah terjadi di beberapa negara.  Sebagai pembenaran, pemerintah yang berkuasa umumnya menyatakan bahwa karya yang diberangus tersebut tidak sesuai dengan semangat bangsa dan berpotensi menimbulkan kerusakan moral.  Selain itu, pemberangusan juga dimaksudkan untuk "menyelamatkan" sesuatu yang lebih besar, yaitu kesatuan semangat dalam perjuangan dan bangsa itu sendiri.

Lantas, bagaimana jika alam pemikiran tersebut coba diterapkan untuk menilai karya film Indonesia masa kini, khususnya yang bertema horor?  Apakah film-film tersebut sesuai dengan identitas bangsa serta sejalan dengan perlunya tekad yang sama dalam perjuangan mengatasi segala masalah?  Adakah karya para sineas itu berpotensi membawa dampak buruk?  Tontonan semacam itukah yang dibutuhkan banyak rakyat Indonesia yang tak hanya miskin lahir batin, tapi juga miskin pendidikan?  Lantas, bagaimana jika Pocong, Genderuwo, Kuntilanak dan sebagainya itu digolongkan sama dengan karya Koes Bersaudara 45 tahun silam?

Pasti banyak yang menentangnya.  Berbagai kilah pasti juga akan bermunculan dengan nada yang luar biasa kuat.  Mungkin akan ada yang mengatakan, "sekarang bukan jamannya lagi seperti itu!"  Atau, "itu sama saja dengan membunuh hajat hidup orang banyak!"   Dan, sangat boleh jadi akan terdengar pula kalimat dengan nada sewot berikut, "ini jaman reformasi, semua orang punya kebebasan berkarya; tidak ada berangus-berangusan!"

Daripada 'rame-rame', mari melihatnya dari kepentingan yang lebih besar.  Coba pikirkan.  Dalam kondisi yang serbasusah ini, mana yang lebih dibutuhkan: sesuatu yang sekadar menakut-nakuti atau sesuatu yang menimbulkan gelak tawa bahagia bahkan dapat menambah pengetahuan?  Mana yang dapat membantu mendorong masyarakat melangkah maju mengejar segala ketertinggalan: karya-karya yang membuat ketakutan atau sebaliknya, karya yang memperluas wawasan? Dan, mana pula yang dapat menjadikan orang tua bangga: mendengarkan generasi muda bercakap heboh mengenai tubuh-tubuh gentayangan tanpa kepala, atau berbagai hal yang dapat mengasah ketajaman berpikir mereka?

Percayalah, persoalan yang membentang di muka tidak hanya berat dan besar, tapi juga bisa mengerikan.  Karenanya, diperlukan pula langkah-langkah besar untuk mengatasinya.  Kalau perlu mengulang "drama" Koes Bersaudara 44 tahun silam untuk kepentingan yang sangat besar; mengapa tidak?

s e l e s a i

[tulisan ini dibuat pada bulan April tahun 2008]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun