Mohon tunggu...
Dewanto Nugroho
Dewanto Nugroho Mohon Tunggu... -

Mantan penulis naskah iklan ...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Koes Bersaudara dan Perfilman Indonesia

18 November 2009   15:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:17 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tak ada bulan madu yang berlangsung lama".   Sepenggal kalimat ini mungkin tepat guna menggambarkan perkembangan selanjutnya dari dunia perfilman nasional yang di awalnya terasa manis tadi.

Menyusul film berjudul Jelangkung yang konon "sukses" (hingga dipromosikan ke mancanegara dan juga dibuatkan sekuel), bioskop di sekitar kita kemudian dibanjiri film nasional bertema horor.  Sebut saja, semua (benar-benar semua) perbendaharaan kata yang ada hubungannya dengan dunia klenik telah digunakan untuk memberi judul pada film-film bergenre seram tersebut.  Setelah Jelangkung, kemudian hadir Pocong, lantas ada Kuntilanak, Genderuwo, Sundel Bolong, Hantu, Tuyul, Santet, Setan Gentayangan, Susuk dan lain sebagainya.  Tanpa menggunakan kosa-kata klenik, judul-judul film yang lain juga tak kalah menciutkan nyali, seperti: Terowongan Casablanca, Bangsal 13, Suster Ngesot, Rumah Pondok Indah, Ambulans, Kesurupan dan masih banyak lagi.

Pada waktu yang kurang lebih berbarengan, film-film bertema ringan (sebagian besar menyinggung cinta remaja) juga membanjiri pasaran.  Jumlahnya memang tidak sebanyak film yang menjual suasana seram sehingga dominasinya tidak begitu terasa.  Namun, soal kualitas, tidak sedikit pecinta film menganggapnya sami mawon.  Ceritanya dari itu ke itu lagi, penggarapannya juga tidak menonjol. Tak banyak pelajaran dapat dipetik dari film-film tersebut.

Kini, bukan pemandangan asing jika sebuah bioskop dengan 4 teater, memutar 4 film Indonesia sekaligus.  Bahkan, pernah pula terlihat bioskop dengan 6 studio dan kesemuanya memainkan film lokal.  Banggakah masyarakat dengan hal ini?  Benarkah film Indonesia telah bangkit dan menjadi tuan rumah di negerinya sendiri?

Pasti ada yang melayangkan pujian terhadap para insan perfilman atas "jerih payah" dan "pencapaian" mereka.  Namun, suara sumbang juga cukup nyaring bergaung.  Pertanyaan yang banyak diajukan menyangkut: hanya sebegitukah kreativitas insan perfilman Indonesia (yang bisa dipakai sebagai tolok ukur kreatif tidaknya sebuah bangsa)?  Selain horor dan roman picisan, apakah di negeri ini tidak ada tema lain yang dapat diangkat ke layar perak?  Apa jadinya masa depan bangsa jikalau generasi muda yang satu (yang dianggap memiliki idealisme tinggi) terus mencekoki generasi muda yang lain, bahkan seluruh masyarakat dengan tontonan bermutu rendah?

Sulit membandingkan kondisi di jamannya Koes Bersaudara dengan era berjayanya film-film ala Pocong dan semacamnya sekarang ini.  Yang jelas, secara awam saja, jika sejumlah lagu (plus gaya menyanyi) dapat dicap kontraproduktif dan tidak baik bagi pembinaan mental bangsa, apalagi film-film seram berdurasi sekitar 2 jam yang jumlahnya mencapai puluhan dan telah merambah seluruh pelosok tanah air.

Bicara kembali soal benda di kolong langit yang mempunyai 2 sisi, dapat pula dipertanyakan: adakah sisi positif film-film yang bertema horor?  Apa sisi positif adegan yang mengekspos tubuh manusia tanpa kepala atau sebaliknya (kepala tanpa tubuh)?  Pelajaran apa yang dapat dipetik saat di layar terlihat adegan bangkitnya mayat-mayat dari liang kuburnya?

Bukan rahasia siapa-siapa bahwa suara sumbang mengenai membanjirnya film-film kurang bermutu itu datang dari segala lapisan masyarakat.  Bukan hanya dari awam belaka.  Bahkan sarjana pendidikan, pakar psikologi, sosiolog, budayawan senior dan politisi sudah angkat bicara.  Semua menyuarakan keprihatinan.

Jadi, kalau lagi-lagi 'sang kafilah bisa terus berlalu' (dan mungkin sambil cengar-cengir), hal tersebut jelas sangat mengherankan.  Begitu tidak berartikah pendapat para insan terpelajar dan terhormat itu?  Lantas, siapa lagi yang mereka mau dengar?  Dan, siapa pula nanti yang akan bertanggung jawab bila tontonan-tontonan tersebut memang membawa dampak buruk bagi masyarakat?

Sejarah mencatat, pemberangusan terhadap karya seni, entah itu berbentuk buku ataupun film, pernah terjadi di beberapa negara.  Sebagai pembenaran, pemerintah yang berkuasa umumnya menyatakan bahwa karya yang diberangus tersebut tidak sesuai dengan semangat bangsa dan berpotensi menimbulkan kerusakan moral.  Selain itu, pemberangusan juga dimaksudkan untuk "menyelamatkan" sesuatu yang lebih besar, yaitu kesatuan semangat dalam perjuangan dan bangsa itu sendiri.

Lantas, bagaimana jika alam pemikiran tersebut coba diterapkan untuk menilai karya film Indonesia masa kini, khususnya yang bertema horor?  Apakah film-film tersebut sesuai dengan identitas bangsa serta sejalan dengan perlunya tekad yang sama dalam perjuangan mengatasi segala masalah?  Adakah karya para sineas itu berpotensi membawa dampak buruk?  Tontonan semacam itukah yang dibutuhkan banyak rakyat Indonesia yang tak hanya miskin lahir batin, tapi juga miskin pendidikan?  Lantas, bagaimana jika Pocong, Genderuwo, Kuntilanak dan sebagainya itu digolongkan sama dengan karya Koes Bersaudara 45 tahun silam?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun