Mohon tunggu...
Ahmad Fatoni
Ahmad Fatoni Mohon Tunggu... Guru - Guru dan pengamat warung kopi

Ahmad Fatoni

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Arah Pendidikan Indonesia, Habis Gelap Terbitlah Kegelapan

9 Juni 2023   17:21 Diperbarui: 9 Juni 2023   17:39 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin sangking minimnya literasi saya pribadi sampai tidak paham ternyata siswa Indonesia tidak menyadari bahwa diri mereka bodoh, (https://www.kompasiana.com/amp/sarianto/5ef1b719097f366ce94e8665/elizabeth-pisani-anak-anak-indonesia-tidak-mengetahui-betapa-bodohnya-mereka).

Saya berandai - andai artikel Pizani ternyata ya tidak salah. Siswa/i di kelas saya misalnya, saat mendapatkan tugas mempresentasikan sejarah walisongo mereka tidak mampu mengkomunikasikan materi mereka dengan cara yang sederhana. Hampir semua anak membaca materi tersebut dengan suara yang lebih keras, kalaupun bisa menyampaikan tanpa membaca, maka mereka menyampaikan dengan cara menghafal seperti halnya anak - anak lomba pidato. Padahal kemampuan komunikasi adalah hal paling sederhana dari kemampuan literasi.

Dari Pizani tersebut maka munculah penilaian Pisa yang mengukur kemampuan literasi membaca, literasi matematika, dan literasi sains. Ohh ya, Berdasarkan penilaian PISA yang di madrasah dipraktekkan dalam bentuk AKM/ANBK, Indonesia berada di peringkat keenam terbawah di dunia. Tidak perlu cari data siswa kalian, karena saya sudah tahu hasilnya.

Anak - anak yang saya anggap lemah di literasi tersebut pada realitanya hampir satu kelas diterima di MTsN lewat jalur kompetisi. Saya menganggap proses masuk MTsN lebih kompetitif dibanding SMPN yang menggunakan sistem zonasi.

Lalu mengapa mereka bodoh? Ya karena rendahnya kemampuan paedagogik gurunya, tentu ini berbanding lurus hirarki keilmuan itu sendiri, "kalau ente tak sewali Syekh Kholil Bangkalan ya jangan harap punya murid sealim Hadratu Syekh Hasyim Asy'ari, Kalau ente tak sealim Hadratu Syekh Hasyim Asy'ari ya jangan berharap punya murid sealim KH. Abdul Manaf Lirboyo". Berhubung muridku biasa - biasa saja ya gurunya juga pantas kalau semodelan kayak saya.

Saya menemukan fakta yang menarik bahwa anak sekolah orang kaya memiliki basis siswa/i yang memiliki kemampuan komunikasi dan rasa percaya diri yang bagus. Hal ini berbanding terbalik dengan sekolah desa dimana masih ditemukannya banyak kasus anak kelas 6 tidak mampu pembagian bilangan bulat satu digit angka. Sekolah kota mengajarkan bagaimana melangkah kedepan sedangkan sekolah desa mengajarkan bagaimana mengingat masa lalu dan saat ini. Cieee..

Pantas saja jika lemahnya kemampuan literasi siswa/i lebih banyak berada di kawasan sekolah pinggiran, anggap saja sekolah miskin. Sangat menyakitkan namun itulah faktanya.

Seiring pergantian menteri pendidikan di Indonesia akan diikuti pula dengan pergantian kurikulum. Seingat saya sekolah dulu mulai dari Kurikulum 94, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Kurikulum Berbasis Satuan Pendidikan, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kurikulum 2013, dan sekarang Kurikulum Merdeka. Menukil anekdot seorang guru yang menginspirasi bagi saya Bapak Suparjo Rustam  dalam acara diseminasi KKG berkata "Indonesia ini sibuk merubah kurikulum tapi tak pernah merubah mindset guru tentang kurikulum yang baru". Sebaik apapun gagasan kurikulum dengan pendekatan penilaian PISA, pada prakteknya kita ini adalah guru KTSP. Sampai pensiunpun kita akan tetap mengajar ala guru KTSP.

Ditataran praktis pada kegiatan bimbingan teknis tentang kurikulum merdeka yang didapatkan guru hanyalah informasi tentang perubahan istilah dan perubahan administrasi pembelajaran. Gagasan ditingkat menteri dan para akademisi kurikulum merdeka sangat menarik, pada prakteknya di sekolah kurikulum IKM dilaksanakan oleh guru - guru KTSP. Modulnya kurikulum merdeka prakteknya ya tetap KTSP. Nah, jadi yang perlu dirubah mindset gurunya atau administrasinya??  

Satu masalah belum selesai sudah muncul masalah baru, tentang upah guru honorer yang tidak lebih layak dari upah tukang parkir jalan protokol kota. Memang agak lucu pendidikan di negeri ini, orang kuliah keguruan dengan biaya yang tidak sedikit saat menjadi guru honorer upahnya yang kecil malah diatur oleh undang - undang dan juknis dana BOS. Sedangkan tukang parkir yang tidak perlu sekolah tidak membutuhkan kompetensi apapun, upah mereka jauh lebih layak berdasarkan mekanisme pasar.

Belum selesai disitu guru ternyata ya profesi yang tidak terlalu membutuhkan kompetensi, dokter bisa menjadi guru, sarjana teknik sipil bisa menjadi guru, sedangkan orang yang kuliah keguruan tidak bisa manjadi keduanya. Betapa rendah dan tak berharganya profesi guru di Indonesia. Mulia dalam dogma agama, lemah dalam penghargaan negara. Saya menemukan fakta unik tentang sekolah swasta yang mampu mencetak anak - anak cerdas malah gurunya ternyata bukan sarjana pendidikan.

Saya lebih sepakat jika jumlah sekolah negeri terbatas, maka biarkan proses seleksi masuk sekolah berdasarkan mekanisme pasar dengan model seleksi, sehingga akan memunculkan semangat kompetisi siswa/i untuk rajin belajar. Hapus rekrutmen siswa/i model zonasi, ini justru terkesan tidak proporsional. Biarkan anak - anak belajar dengan giat untuk untuk bisa sekolah di tempat yang mereka inginkan. Jika mau adil, atur biaya pendidikan semua sekolah harus murah, guru upahnya tinggi dan sebar guru - guru yang kompeten ke sekolah - sekolah desa yang tertinggal.

Sekolah yang tidak mau bergerak maju biarkan dia redup dengan sendirinya, guru yang tidak punya kemampuan paedagogik biarkan dia tergerus dengan tergeser dengan sendirinya. Karena guru ini profesi yang mulia dan saya meyakini tidak semua orang bisa menjadi guru.

Jangan lupa atur juga jumlah kebutuhan guru jurusan pendidikan agama, kampus swasta jangan bangga kalau mahasiswa baru yang masuk jurusan pendidikan agama banyak. Negara ini sudah swasembada sarjana pendidikan agama, sampai sakit gigi saja kita mesti antri jadwal karena sangking sedikitnya jumlah dokter gigi. Ya, kita harus senang hidup dengan cara mengingat mati, berjuang untuk tetap hidup dan bertahan adalah proses ilmiah dan kecukupan ilmu dalam hal - hal praktis. Sarjana jurusan pendidikan agama tidak dibutuhkan dalam hal ini.

Karena pada dasarnya pendidik adalah manusia terdidik yang terus dididik.

Paham to dik, masak gitu aja gak paham!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun