"oh ya? Apa itu?" aku mulai tertarik.
"pertama, karena kamu sangat cantik, kamu jadi orang yang membosankan."
"maksudnya?"
"sejak SMP, teman-temanmu selalu memohon kamu untuk ikut kegiatan tertentu, kamu gak perlu mengawali percakapan dimanapun karena orang lain yang akan mengawalinya untukmu. Lalu di manapun teman-temanmu yang selalu menghiburmu, kamu tidak perlu berpikir keras bagaimana menarik perhatian orang lain dengan kata-kata dan sikap manis. Justru bersikap membosankan adalah satu-satunya caramu untuk mengusir semua orang yang selalu ingin mendekatimu. Iya kan?" aku terkejut dengan apa yang baru saja dia katakan, hampir sepenuhnya benar dan kurasakan.
"lalu yang kedua, kamu mungkin tidak pernah mendapat penolakan yang berarti dalam hidup. Siapa sih yang bisa menolak kamu? Semua orang mengejar-ngejar dirimu, tidak sulit bagimu untuk menaklukan seseorang, iya kan? Padahal ada hikmah penting dalam penolakan, itu membuat kita menjadi lebih kuat, lebih bersyukur, dan lebih menghargai hal-hal remeh." Aku tidak terlalu setuju dengan poinnya yang kedua, mungkin benar aku tidak pernah mengalami penolakan dan mudah bagiku untuk membuat seseorang mengatakan ya atas permintaanku, tapi dia tidak tahu bahwa kurangnya waktu bersama orang tua juga mengajariku untuk tidak menjadi manja, dan kuat. Lalu kata siapa aku tidak pernah merasa ditolak? Sampai saat ini dia tidak mengutarakan keinginannya untuk berpacaran denganku, keinginan untuk memilikiku seperti yang lain yang telah menyatakan cinta padaku, apakah ini bukan penolakan? Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasa ada lawan jenis yang tidak ingin memilikiku.
"lalu yang ketiga, setiap kamu dalam hubungan dengan seseorang, kamu selalu bertanya-tanya, apakah dia menyukaiku seutuhnya? Atau hanya karena keindahan fisik saja? Kecantikanmu menutupi dirimu yang sesungguhnya, kau ingin dia mengapresiasi hal-hal kecil yang kamu lakukan yang tidak ada hubungannya dengan fisikmu, tapi dia seringkali lebih fokus pada fisikmu. Kamu merasa kosong dan hampa dalam hubungan tersebut." Argumennya yang ketiga seakan menonjokku, itulah yang kurasakan terakhir kali aku berpacaran dengan seseorang di awal kelas X, dan itu pula yang membuatku berpikir para laki-laki yang mendekatiku itu hanya menganggapku piala, mereka tidak pernah benar-benar mencintaiku apa adanya.
"wow... walau tidak semua argumen yang kamu utarakan benar terjadi pada diriku, tapi itu ide yang menarik. Kamu mencoba melihat sesuatu dari sudut pandang lain. Aku suka." Responku.
"yah... tidak bisa kita pukul rata sih, tapi umumnya begitu katanya."
"katanya?"
"itu bukan hasil pemikiranku, aku baca itu dari suatu situs."
"situs yang menarik sepertinya."