Ayah ibuku adalah manusia karier, tak banyak waktu yang mereka sisihkan untuk bersamaku, mereka seringkali berangkat kerja dari pagi, ketika aku belum sempat membuka mata dan pulang ketika aku telah tidur terlelap. Terkadang tak ada istilah libur dalam kamus mereka, sabtu sama seperti jumat, dan minggu itu sudah senin bagi mereka.
Tapi aku tidak sampai hati membenci mereka karena merasa kurang waktu bersama mereka. Aku tahu mereka bekerja keras demi kebaikanku juga, walau pun aku kurang suka ketika mereka membelikan apapun yang kuinginkan sebagai penebus rasa bersalah mereka karena tidak selalu ada untukku. Aku juga sadar, di luar sana banyak anak kurang beruntung secara ekonomi. Jika aku mengeluh atas keadaanku ini, mereka pasti akan kompak mengutukku karena tidak bersyukur.
Teman-teman bisa saja jadi oase atas haus kasih sayang ini. Tapi aku merasa mereka palsu, teman laki-laki tidak benar-benar tulus ingin menjadi sahabat, umumnya mereka kagum pada kecantikanku dan ingin memilikiku, menjadikanku semacam piala tanda keberhasilan ego kelaki-lakian mereka.Â
Jika kau bisa berpacaran dengan Hana, maka kau akan dihormati dan disanjung oleh laki-laki lain. Teman perempuan pun setali tiga uang, motif mereka sama saja, prestis. Atau justru lebih banyak yang sebenarnya dalam hati mereka iri dan benci terhadapku, mereka menginginkan apa yang kumiliki.
Mungkin hanya sahabat yang bisa jadi penghiburku, pelipur lara dari rasa kesepian yang kurasakan. Bersama mereka aku merasakan kasih sayang keluarga yang jarang kudapat. Aku hanya punya dua orang yang kuanggap sahabat selama ini. Tapi ketika kami berpisah dan pulang ke rumah masing-masing, rasa kesepian itu kembali datang. Rasa kosong itu tidak pernah benar-benar hilang. Untuk sesaat aku merasa dialah yang mampu mengisi kekosongan itu, tapi sampai kapan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H