Pada sebuah senja yang rekah; di sebuah laut yang deburnya mendayu dayu manja bersama belai mesra angin laut, kulihat matamu berbinar penuh warna seperti melukis pelangi. Saat itu kutasbihkan dirimu sebagai muara tempatku berenang dan bermain; menyauk airnya dengan tangan lalu mencipratkannya ke atas sambil tertawa melepas penatnya kehidupan. Kaulah laut tempat pantaiku bersandar menikmati dongeng sang camar tentang putri Mandalika yang akan mengiringi pesta kita di tepian Selatan.
"Aku mencintaimu, Rara." Bisikku mesra. Berbenturan dengan riuh gelombang yang cemburu, kadang menjerit-jerit; menggema di dada.
"Aku juga." Sahutmu manja. Melampirkan senyum yang menggelorakan dada dengan debar-debar perasaan yang takut; takut kehilangan.
Lalu pantai menyimpan sejuta pasir gemerlap; membiaskan jingga sang senja yang sedang jatuh cinta pada tiap debur ombak. Ada pekik camar menggema di antara karang-karang kokoh mengawal keberangkatan para abdi laut menjemput rezeki; layar layar terkembang membawa harap dan jala jala yang telah sesak oleh doa anak istri. Jua kita; yang tengah bersepakat mengikat janji dengan cincin emas 24 karat yang kubeli sejak seminggu yang lalu; menunggumu di pantai ini, pantai tempat kita pertama kali bertukar perasaan dan saling menyatakan cinta.Â
"Maukah kau menikah denganku, Ra?"
Tanganku mengacungkan peti kecil tempat cincin tersimpan lalu membukanya. Mataku lekat mnatapnya, menembus senja. Senyum yang rekah dan sebuah pelukan hangat menyambutku
"Aku akan menjadi pendampingmu selama lamanya", bisikmu mesra.
Senja pun pulang meninggalkan warna.
***
Hari-hari telah berlalu bagai desir angin; menyingsing di antara bukit-bukit dan ngarai-ngarai yang tetap setia menyimpan kesunyian. Rara namamu masih kupancang erat dalam dekap desahku yang tak mati. Berlomba menggali kenangan dengan debur ombak pantai Ampenan. Setiapkali kulihat hamparan pasir pantai, maka wajahmu akan selalu ada di situ. Setiap kudengar teriak sang camar, aku melihatmu tengah menderukan namaku seperti hari pertama kita menyauk air laut dengan tangan lalu kita biarkan mengalir hilang di antara jemari-jemari yang tak rapat; riak menepis betis-betis kita dan tampak bening disorot sang matahari yang gelisah menunggu petang. Setiap kali kulihat burung bangau terbang pulang; maka kuingat suaramu yang menghitung tiap kepaknya lalu bernyanyi kecil di tepian pantai, membawaku pulang kembali ke dalam kenangan masa-masa kecil kita. Saban sore burung bangau melintasi awan berjejer rapi menuju selatan; melintasi bukit demi bukit dan laut, lalu kitapun berdendang sambil memandang mereka pulang membawa harapan:
Kebango jok lauq2
kebango jok daye
Sae sak mele mauq
Mele jari beraye
Â
Kini laut  t'lah menepikan riak gelombang yang letih. Sementara kapal-kapal layar kian lengang dan jauh membuang sauh. Isak gelombang masih tetap sama; menyimpan jutaan kenangan yang engkau tinggalkan pada tiap buih; melesap ke pantai meninggalkan basah yang membias. Senja pulang dan siluet camar samar. Meski ku ejakan bait kerinduan di tiap lambaian nyiur, tapi kau tak kunjung datang. Pantai menjadi tragedi pengubur sejarah saat takdir memutuskan melepaskan geraian rambutmu dan menyisakan sepasang nisan yang mengukir angka kelahiran dan kepergianmu.
Rara pergi meninggalkan wajahku yang sendirian dan hampa dicekam kesunyian yang kian membengkak. Rara kecil maupun Rara sang kekasih, telah pergi jauh meninggalkanku tanpa sempat mengatakan apa-apa. Aku tak lagi menemukan diriku tersenyum atau berada di depan layar computer kantor dengan deret tabel yang harus diselesaikan. Atasanku tak pernah bertanya apa apa saat aku menyodorkan surat pengunduran diriku sebagai seorang akunting di kantornya karena jelas ia melihat mataku penuh dengan air yang kutahan di kelopaknya. Orang tuaku juga tak bisa berbuat apa-apa saat aku bahkan tak mau keluar dari kamar dan mengunci diri meski lapar menjeratku hingga lemas tak berdaya. Aku tak protes tapi mengeluh; seberapa besarkah kecintaanku padamu, Rara? Selalu saja kenangan-kenangan kita menjadi laut untukku, tak pernah diam. Selalu saja laut menjadi lintasan jalan pulang sang bangau yang akan segera menyeretku mengingatmu; Rara kecil, kawan sepermainan hingga tumbuh besar dengan geraian rambut yang indah dan mata yang bening membuatku terbataÂ
"Maukah engkau jadi pacarku Rara???"
Kulihat wajah Rara bersemu. Warna pipinya menjadi tidak biasa. Ia melangkah mendekati laut dan menenggelamkannya pada deburan-deburan nakal sang ombak. Tangannya terentang dan membelakangiku. Angin menggoda Rara, rambutnya diterbangkan manja sementara matahari hendak merangkak ke atas Ranjang.
"Terima kasih Tuhan." Tiba-tiba Rara berteriak. Ia berbalik dan tersenyum. Tangannya masih mengembang. Aku terbang, melesat dan menyambar Rara. Bergulingan di atas pasir dan basah oleh debur-debur yang tak kunjung usai menggoda.
"Kau tahu! Seberapa lamakah aku menunggu kalimat itu muncul Abdi? Bertahun-tahun setelah akhirnya aku bisa bermimpi dan mengeluarkan harapan-harapanku. Sejak kita selalu bersama-sama dari kecil, aku berharap bahwa kau takdir untukku".
Â
***
Langit senja yang sama, masih kutunggu Rara di tepian laut yang sepertinya sudah menjadi milik kami itu. Rara ingin mengajakku melukis diriku dan dia serta laut dengan kamera.
"Nanti, poto kita dengan background pantai ini yang jadi cover surat undangan pernikahan kita".
"Bukankah pantai lagi ditutup sayang?" Tanyaku
"Pantai Ampenan ditutup tapi pantai kita kan enggak", samil tersenyum ia mengerling. "Pantai kita" adalah sebutan untuk pantai tempat kami sering menatap senja. Jauh di bagian utara pantai Ampenan sebenarnya
Suaranya masih kudengar tadi pagi sebelum dia berangkat mengabdikan dirinya di rumah sakit kota, menjadi seorang perawat adalah cita-citanya sejak kecil. "Aku ingin membantu orang yang sakit", katanya suatu hari ketika kutanya alasannya menjadi seorang perawat. Akhir-akhir ini dia memang lebih sibuk dari biasanya akibat waah Covid 19 atau Corona yang masuk ke wiayah kami. Pagi itu dia juga mengecup keningku sambil berbisik mesra tentang cintanya itu;
"Datu, aku mencintaimu dengan hatiku, forever"
Lalu senyum bulan itu melukis mataku dengan rasa yang begitu indah. Dipasangnya masker pemberianku dan saat ia melamaikan tangan sembari mengecup jauh, seperti ada rasa yang tak biasa menggumpal dalam dada. Namun, hatiku membantahnya dan yakin semuanya akan baik baik saja. Akupun sibuk tenggelam dengan angka angka di depan komputer di rumah. Sejak Corona menyerang kami, saat itu pula aku bekerja dari rumah dan melakukan aktivitas kerja via online. Kantor kantor memang sepi dan jalan jalan juga tak seramai biasanya. Sejak pemerintah menyerukan isolasi mandiri dan social distancing, masjid masjid di tutup dan keramaian ditiadakan meski di eberapa tempat masih sering kulihat orang orang tak begitu peduli dengan himbauan itu. Pasar masih ramai dan seringkali kutemukan kerumunan tanpa jarak dan masker. Angka angka positif pun terus ermunculan dan bertambah setiap harinya. Virus corona benar benar meluluhlantakkan kesomongan manusia ahkan negara sedigdaya Amerika hancur dibuatnya. Awalnya, aku benar benar dicekam ketakutan, apalagi melihat video video kematian di eropa yang sangat mengerikan. Mayat mayat ditimbun dan dibakar ratusan perharinya. Menurut para virologi, kelebihan virus ini adalah kemampuan menularnya yang sangat cepat melalui mata, hidung dan mulut. Hanya bermedia liur dari bersin, orang bisa menularkannya seketika.
"Jangan panik, sayang. Asal jaga kebersihan dan kesehatan. Rajin cuci tangan dan mandi pake sabun. Makan dan minum yang seimbang. Imun harus kuat. Kalau terlalu panik akan membuat imun kita turun. Malah lebih rentan", kata Rara suatu waktu. Dia juga tak mau bertemu denganku jika dia belum mandi dan mencuci pakaian astronotnya. Kusebut pakaian astronot karena saat ia menggunakan pakaian berlapis lapis dan helm itu, aku melihatnya seperti astronot. Entah bagaimana rasanya di dalam sana, pnas dan gerah pasti. Dia tak boleh lagi makan atau minum kalau sudah menggunakan APD nya itu. Namun seperti itulah dia, perempuan yang tangguh dan tak pernah mengeluh. Baginya, saat ini ia diutuhkan orang lain dan ia tak boleh meninggalkan tugasnya itu.
Sudah sore, aku masih menunggu dan mulai gelisah. Nomornya tak akan pernah aktif jika ia bekerja karena dia hanya ingin fokus bekerja, dan aku bangga akan hal itu. Tapi, sekarang senja sudah memanjangkan bayangan. Rara belum datang juga karena rumahku dengan rumahnya satu komplek. Dia akan berhenti dan membunyikan klaksonnya saat ia pulang duluan dan tahu kalau aku di rumah. Biasanya, aku erlari ke teras dan memberinya kecupan hangat dari jauh, jika elum begitu dia akan membunyikan kalksonnya keras keras dan erkali kali sampai pernah tetangga keluar mengira ada apa apa. Batinku mulai tak tenang; seperti ada yang berdebar tak biasa di jantungku saat handphone ku bergetar, segera kusambar dan suara perempuan di seberang terbata-bata dan kalut berteriak:
"Halo, halo, Abdi...Rara Di, Rara kecelak...Rara kecelakaan. Rara mat, Rara mati, Di..Rara mat...".
Praaak. yang kudengar selanjutnya adalah suara orang yang tergopoh-gopoh yang kian sayup. Lututku goyah dan tiba-tiba gelap.
Â
***
Masih kuharap Rara datang lalu berlari kecil menjemputku, tapi senja telah kelam. Matahari tinggal seujung dan sebentar lagi hilang. Ada seekor bangau pulang sendirian; kutatap dengan getar-getar kerinduan. Aku menagis tapi Rara hilang bersama debar-debur pantai Ampenan. Meriwayatkan dukaku dalam sketsa. Ini tahun ketujuh Rara pergi tanpa kesepakatan. Tapi, aku sepakat menemuinya malam ini.
Pada sebuah bukit kecil dengan hamparan karang di bawahnya aku berdiri mengangkat kedua tanganku; menyambut angin yang membawa aroma Rara; perempuanku. Lalu kulihat ia mengenakan gaun putih nampak anggun di antara kabut-kabut tipis di sisinya. Tersenyum manja dan menjulurkan tangannya. Air mataku berderai.
 "Segera jemput aku, Dinda." Bisikku pada angin malam yang letih.
Â
***
Sebuah rumah sederhana di pesisir pantai tampak ramai dan riuh oleh isak tangis dan ratapan-ratapan. Orang-orang lalu lalang; sebagian laki-laki yang baru datang tampak mengambil wudhu lalu berdiri di depan sebuah keranda yang ditutupi dengan kain putih. Di pojok lain, seorang perempuan berumur dengan cucuran air mata, tangannya menggapai-gapai lemah dengan suara yang melengking:
Â
Subah naleee.....pereq pait pendait kaji. Irup kajiii mule sengsare gamaq. Tunas malik, bije kajii..adeq kajii jarii penggentiiiq.4
Â
Sayup lengkingan tembang itu membumbung menembus sukma dan air mata menjadi tak terbendung.
Di bagian lain, sebuah koran lokal menulis: "DIDUGA DEPRESI SEORANG PEMUDA LARI DARI RUMAH SAKIT JIWA DAN BUNUH DIRI,".
Mataram, 15 Desember 2011
Â
Â
Â
Â
1. Putri Mandalika adalah salah satu cerita rakyat yang berkembang di wilayah Lombok yang berkisah tentang pengorbanan sang putri demi kedamaian rakyatnya ketika beberapa pangeran melamarnya. Ia memilih menceburkan diri di tepi laut selatan dan selanjutnya masyarakat lombok menganggapnya menjelma menjadi cacing cacing kecil (nyale) yang ditangkap sekali dalam setahun khusus di laut bagian selatan.
Â
2. Kebango jok lauq : Burung bangau ke selatan
kebango jok daye :Burung bangau ke utara
Sae sak mele mauq : Siapa yang mau mendapatkan
Mele jari beraye : (hendaknya) mau pacaran (dulu)
Â
3. Datu: Tuanku Raja
Â
4. Subah naleee (subhanallah).....pereq (perih) pait (pahit) pendait (perjalanan hidup) kaji (saya). Irup (hidup) kajiii mule (betul betul) sengsare (sengsara) gamaq (betul). Tunas malik,( minta kembali/dikembalikan) bije (anak) kajii..adeq (biarkan) kajii jarii (jadi) penggentiiiq (pengganti).4
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H