***
Langit senja yang sama, masih kutunggu Rara di tepian laut yang sepertinya sudah menjadi milik kami itu. Rara ingin mengajakku melukis diriku dan dia serta laut dengan kamera.
"Nanti, poto kita dengan background pantai ini yang jadi cover surat undangan pernikahan kita".
"Bukankah pantai lagi ditutup sayang?" Tanyaku
"Pantai Ampenan ditutup tapi pantai kita kan enggak", samil tersenyum ia mengerling. "Pantai kita" adalah sebutan untuk pantai tempat kami sering menatap senja. Jauh di bagian utara pantai Ampenan sebenarnya
Suaranya masih kudengar tadi pagi sebelum dia berangkat mengabdikan dirinya di rumah sakit kota, menjadi seorang perawat adalah cita-citanya sejak kecil. "Aku ingin membantu orang yang sakit", katanya suatu hari ketika kutanya alasannya menjadi seorang perawat. Akhir-akhir ini dia memang lebih sibuk dari biasanya akibat waah Covid 19 atau Corona yang masuk ke wiayah kami. Pagi itu dia juga mengecup keningku sambil berbisik mesra tentang cintanya itu;
"Datu, aku mencintaimu dengan hatiku, forever"
Lalu senyum bulan itu melukis mataku dengan rasa yang begitu indah. Dipasangnya masker pemberianku dan saat ia melamaikan tangan sembari mengecup jauh, seperti ada rasa yang tak biasa menggumpal dalam dada. Namun, hatiku membantahnya dan yakin semuanya akan baik baik saja. Akupun sibuk tenggelam dengan angka angka di depan komputer di rumah. Sejak Corona menyerang kami, saat itu pula aku bekerja dari rumah dan melakukan aktivitas kerja via online. Kantor kantor memang sepi dan jalan jalan juga tak seramai biasanya. Sejak pemerintah menyerukan isolasi mandiri dan social distancing, masjid masjid di tutup dan keramaian ditiadakan meski di eberapa tempat masih sering kulihat orang orang tak begitu peduli dengan himbauan itu. Pasar masih ramai dan seringkali kutemukan kerumunan tanpa jarak dan masker. Angka angka positif pun terus ermunculan dan bertambah setiap harinya. Virus corona benar benar meluluhlantakkan kesomongan manusia ahkan negara sedigdaya Amerika hancur dibuatnya. Awalnya, aku benar benar dicekam ketakutan, apalagi melihat video video kematian di eropa yang sangat mengerikan. Mayat mayat ditimbun dan dibakar ratusan perharinya. Menurut para virologi, kelebihan virus ini adalah kemampuan menularnya yang sangat cepat melalui mata, hidung dan mulut. Hanya bermedia liur dari bersin, orang bisa menularkannya seketika.
"Jangan panik, sayang. Asal jaga kebersihan dan kesehatan. Rajin cuci tangan dan mandi pake sabun. Makan dan minum yang seimbang. Imun harus kuat. Kalau terlalu panik akan membuat imun kita turun. Malah lebih rentan", kata Rara suatu waktu. Dia juga tak mau bertemu denganku jika dia belum mandi dan mencuci pakaian astronotnya. Kusebut pakaian astronot karena saat ia menggunakan pakaian berlapis lapis dan helm itu, aku melihatnya seperti astronot. Entah bagaimana rasanya di dalam sana, pnas dan gerah pasti. Dia tak boleh lagi makan atau minum kalau sudah menggunakan APD nya itu. Namun seperti itulah dia, perempuan yang tangguh dan tak pernah mengeluh. Baginya, saat ini ia diutuhkan orang lain dan ia tak boleh meninggalkan tugasnya itu.
Sudah sore, aku masih menunggu dan mulai gelisah. Nomornya tak akan pernah aktif jika ia bekerja karena dia hanya ingin fokus bekerja, dan aku bangga akan hal itu. Tapi, sekarang senja sudah memanjangkan bayangan. Rara belum datang juga karena rumahku dengan rumahnya satu komplek. Dia akan berhenti dan membunyikan klaksonnya saat ia pulang duluan dan tahu kalau aku di rumah. Biasanya, aku erlari ke teras dan memberinya kecupan hangat dari jauh, jika elum begitu dia akan membunyikan kalksonnya keras keras dan erkali kali sampai pernah tetangga keluar mengira ada apa apa. Batinku mulai tak tenang; seperti ada yang berdebar tak biasa di jantungku saat handphone ku bergetar, segera kusambar dan suara perempuan di seberang terbata-bata dan kalut berteriak:
"Halo, halo, Abdi...Rara Di, Rara kecelak...Rara kecelakaan. Rara mat, Rara mati, Di..Rara mat...".