Praaak. yang kudengar selanjutnya adalah suara orang yang tergopoh-gopoh yang kian sayup. Lututku goyah dan tiba-tiba gelap.
Â
***
Masih kuharap Rara datang lalu berlari kecil menjemputku, tapi senja telah kelam. Matahari tinggal seujung dan sebentar lagi hilang. Ada seekor bangau pulang sendirian; kutatap dengan getar-getar kerinduan. Aku menagis tapi Rara hilang bersama debar-debur pantai Ampenan. Meriwayatkan dukaku dalam sketsa. Ini tahun ketujuh Rara pergi tanpa kesepakatan. Tapi, aku sepakat menemuinya malam ini.
Pada sebuah bukit kecil dengan hamparan karang di bawahnya aku berdiri mengangkat kedua tanganku; menyambut angin yang membawa aroma Rara; perempuanku. Lalu kulihat ia mengenakan gaun putih nampak anggun di antara kabut-kabut tipis di sisinya. Tersenyum manja dan menjulurkan tangannya. Air mataku berderai.
 "Segera jemput aku, Dinda." Bisikku pada angin malam yang letih.
Â
***
Sebuah rumah sederhana di pesisir pantai tampak ramai dan riuh oleh isak tangis dan ratapan-ratapan. Orang-orang lalu lalang; sebagian laki-laki yang baru datang tampak mengambil wudhu lalu berdiri di depan sebuah keranda yang ditutupi dengan kain putih. Di pojok lain, seorang perempuan berumur dengan cucuran air mata, tangannya menggapai-gapai lemah dengan suara yang melengking:
Â
Subah naleee.....pereq pait pendait kaji. Irup kajiii mule sengsare gamaq. Tunas malik, bije kajii..adeq kajii jarii penggentiiiq.4