kebango jok daye
Sae sak mele mauq
Mele jari beraye
Â
Kini laut  t'lah menepikan riak gelombang yang letih. Sementara kapal-kapal layar kian lengang dan jauh membuang sauh. Isak gelombang masih tetap sama; menyimpan jutaan kenangan yang engkau tinggalkan pada tiap buih; melesap ke pantai meninggalkan basah yang membias. Senja pulang dan siluet camar samar. Meski ku ejakan bait kerinduan di tiap lambaian nyiur, tapi kau tak kunjung datang. Pantai menjadi tragedi pengubur sejarah saat takdir memutuskan melepaskan geraian rambutmu dan menyisakan sepasang nisan yang mengukir angka kelahiran dan kepergianmu.
Rara pergi meninggalkan wajahku yang sendirian dan hampa dicekam kesunyian yang kian membengkak. Rara kecil maupun Rara sang kekasih, telah pergi jauh meninggalkanku tanpa sempat mengatakan apa-apa. Aku tak lagi menemukan diriku tersenyum atau berada di depan layar computer kantor dengan deret tabel yang harus diselesaikan. Atasanku tak pernah bertanya apa apa saat aku menyodorkan surat pengunduran diriku sebagai seorang akunting di kantornya karena jelas ia melihat mataku penuh dengan air yang kutahan di kelopaknya. Orang tuaku juga tak bisa berbuat apa-apa saat aku bahkan tak mau keluar dari kamar dan mengunci diri meski lapar menjeratku hingga lemas tak berdaya. Aku tak protes tapi mengeluh; seberapa besarkah kecintaanku padamu, Rara? Selalu saja kenangan-kenangan kita menjadi laut untukku, tak pernah diam. Selalu saja laut menjadi lintasan jalan pulang sang bangau yang akan segera menyeretku mengingatmu; Rara kecil, kawan sepermainan hingga tumbuh besar dengan geraian rambut yang indah dan mata yang bening membuatku terbataÂ
"Maukah engkau jadi pacarku Rara???"
Kulihat wajah Rara bersemu. Warna pipinya menjadi tidak biasa. Ia melangkah mendekati laut dan menenggelamkannya pada deburan-deburan nakal sang ombak. Tangannya terentang dan membelakangiku. Angin menggoda Rara, rambutnya diterbangkan manja sementara matahari hendak merangkak ke atas Ranjang.
"Terima kasih Tuhan." Tiba-tiba Rara berteriak. Ia berbalik dan tersenyum. Tangannya masih mengembang. Aku terbang, melesat dan menyambar Rara. Bergulingan di atas pasir dan basah oleh debur-debur yang tak kunjung usai menggoda.
"Kau tahu! Seberapa lamakah aku menunggu kalimat itu muncul Abdi? Bertahun-tahun setelah akhirnya aku bisa bermimpi dan mengeluarkan harapan-harapanku. Sejak kita selalu bersama-sama dari kecil, aku berharap bahwa kau takdir untukku".
Â