Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Berapa Pendapatan RS dari Covid-19?

16 Juni 2020   13:21 Diperbarui: 18 Juni 2020   10:20 2035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesian medical workers conduct coronavirus drill at the Margono Soekarjo Hospital in Purwokerto, Central Java, on Monday. (Antara Photo/Idhad Zakaria)

Ketika beliau Menneg BUMN mengatakan seperti pada bagian dari foto terlampir ini, wajar diduga, tidak ada maksud buruk. Disebutkan tujuannya adalah "agar masyarakat tetap berdisiplin menjalankan protokol kesehatan karena biaya perawatan besar".

Patut diduga, angka-angka itu berasal dari PAGU yang ditetapkan pada Kepmenkes 238/2020. Pagu itu pun tentu ada acuannya dari Kemenkeu. Dokumen regulasi ini bersifat publik. Siapapun bisa mengaksesnya. Jadi sama sekali tidak ada rahasia. Tidak ada maksud disembunyikan.

Dalam Kepmenkes itu, ketika RS merawat pasien Covid, maka biayanya ditanggung pemerintah. Ada Undang-undangnya. Ada peratuan teknisnya. Salah satunya Kepmenkes 238/2020 tersebut.

Tapi ada angka rinciannya sebagai PAGU. Mengapa disebut pagu? Karena itu menjadi batas atas. Artinya, tidak mungkin melebihinya.

Lho kok besar? Dalam Kepmenkes ada standar biayanya. Yang besar adalah untuk sarana prasarana (ruang isolasi, alur dan zonasi khusus covid), alkes (harus terpisah dengan layanan non covid) dan APD dengan semua kelengkapannya. Itu komponen besarnya. Itu semua juga ada pagunya. Harus juga lolos verifikasi BPJSK.

dokpri
dokpri
.

RS tidak bisa seenaknya mengajukan sebesar-besarnya. Walaupun bisa saja sebenarnya memang untuk satu pasien diperlukan lebih dari pagu karena kondisi masing-masing.

Dalam uraian tersebut, ada syarat dan ketentuannya. Ada standar pelayanannya. Ada rincian syarat pasien yang boleh diajukan klaimnya. Apa saja yang harus diperiksa. Apa saja yang harus diberikan obatnya. Apa saja tindakan yang harus dilakukan. Dimana perawatan harus dilaksanakan. Tidak boleh sembarangan.

Setelah selesai perawatan, RS baru boleh mengajukan. Dana disalurkan melalui Kemenkes. Tapi untuk dapat mencairkannya, harus ada proses verifikasi. Kemenko PMK menugaskan BPJSK untuk menjadi verifikator. Ada 4 tugas. Salah duanya adalah: memastikan terlayaninya pasien covid dan memastikan pelayanan sesuai standar.

Mekanisme segitiga ini menjadi standar menuju transparansi dan akuntabilitas. Kemenkes menerbitkan Standar Pelayanan Covid. RS menjalankan sesuai standar. BPJSK menilai pelaksanan standar.

Dengan demikian, RS tidak bisa sembarangan mengajukan. Kemenkes tidak bisa begitu saja mencairkan. BPJSK memiliki tugas verifikasi, tentu juga harus mempertanggung jawabkan. 

Apa intinya? Mendorong transparansi. Sudah lama tentu kita tahu dalam hiruk pikuk JKN, bahwa BPJSK sangat berhati-hati dalam setiap proses verifikasi.

Tapi mengapa baru ribut sekarang? Bukankah kasus pertama sudah sejak 2 Maret 2020? Bahkan sebelum itu pun bisa jadi ada yang sudah merawat pasien dengan dugaan covid?

Justru itu lah. Surat penugasan Kemenko PMK ke BPJSK, terbit 27 Maret 2020. Setelah itu ada komunikasi antara Kemenkeu dan Kemenkes. Baru terbit Kepmenkes 238/2020 tanggal 6 April 2020. Tapi kemudian muncul banyak pertanyaan teknis. Disusul terbitlah SE Menkes nomor 295/2020 tentang Juknis Penggantian Biaya Layanan Covid. 

RS mulai mencoba mengajukan. Tapi timbul beberapa pertanyaan lagi. Sampai kemudian terbit Notulensi Kesepakatan antara Kemenkes dan BPJSK terkait permasalahan klaim layanan Covid. Barulah kemudian ada komentar Menneg BUMN tanggal 31 Mei 2020.

Makna urutan tanggal itu menunjukkan bahwa proses menuju penggantian klaim itu lama dan ketat. Tidak begitu saja. Selama belum terbit Kepmenkes, belum ada kepastian RS akan mendapat penggantian darimana. Padahal UU Wabah dan Permenkes 59/2016 sudah menegaskan: biaya pelayanan covid ditanggung negara.

Lho kok masih ada yang menarik biaya? Karena Permenkes masih membatasi pada RS rujukan atau RS yang ditunjuk. Baru pada Kepmenkes 238/2020 tanggal 6 April 2020, ada klausul: untuk semua RS. Tapi itu tadi, masih banyak pertanyaan, sampai terakhir ada kesepakatan pada tanggal 22 Mei 2020.

Apakah sudah selesai semua masalah pengajuan klaim? Belum. Di lapangan masih ada, bahkan tidak sedikit masalah dalam menerapkan pengajuan penggantian biaya tersebut.

Maka, kiranya kita perlu jernih. Tidak untuk tergesa-gesa menyimpulkan. Apakah tidak mungkin ada kelalaian? Sistem yang baik berusaha semaksimalnya menutup celah. Tetapi tidak ada sistem yang 100% tanpa risiko kelalaian. Yang ada adalah monitoring, evaluasi dan perbaikan berkelanjutan.

Karena itu, lebih baik, kita kawal bersama. Kita kawal bagaimana RS bekerja melayani. Kita kawal bagaimana BPJSK bekerja memverifikasi. Kita kawal bagaimana Kemenkes mencairkan.

Lebih dari itu: mari kita kawal bagaimana Pemerintah bekerja mengendalikan situasi menghadapi pandemi ini.

Mari, untuk Satu Indonesia!

@ TDA 9/6/2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun