Sistem pooling tes covid?
Tadi sambil menunggu penjilidan di belakang kampus, tiba-tiba ada telepon masuk. Nomor telepon kabel. Asing kodenya. Ternyata dari RRI Padang. Minta waktu wawancara. Apa pertanyannya? Bagaimana tanggapan tentang sistem pooling untuk test PCR Covid.
Saya tersenyum. Padahal Padang sudah terkenal untuk soal itu. Tokohnya di sana. Kebetulan saya juga kenal baik dengan beliau.
Pintar sekali penyiarnya yang tanya... Tapi justru menarik. Saya terima permintaan tersebut. Berikutnya wawancara selama sekitar 10 menit.
Untuk memudahkan, saya beri contoh gelas berisi air tawar jernih. Bayangkan ada 100 gelas jumlahnya. Urut dari nomor 1-100. Sebanyak 3 gelas diantaranya, diberi gula 2 sendok teh. Dicampur sampai larut.
Mana gelas yang diberi gula? Tentu cara yang paling sederhana, adalah mencicipi satu persatu. Sederhana, dan paling akurat.
Tapi butuh waktu, dan butuh biaya mencicipi 100 gelas tersebut satu persatu. Maka dilakukan sistem pooling. Dari gelas nomor 1-5, masing-masing diambil satu sendok makan, kemudian dicampur ke dalam tabung A, gelas nomor 6-10 ke tabung B dan seterusnya. Dari Tabung A sampai T.
Lalu, ada 20 tabung itu saja yang dicicipi. Oh, ternyata ada 3 tabung yang manis: A, D dan J. Tabung lain tidak manis. Berarti? Sebanyak 5 x 17 = 85 gelas lainnya sudah pasti tidak manis.
Langkah selanjutnya? Diambil lima gelas masing-masing dari yang semula dicampurkan ke tabung A, D dan J. Dicicipi satu persatu. Ada 15 gelas. Ketemulah, ternyata yang manis hanya gelas no 3, 19 dan 46.
Berarti apa "kelebihannya"? Tidak harus mencicipi 100 gelas, cukup 20 tabung dan 15 gelas, total 35 pemeriksaan saja. Sudah diketahui mana yang diberi gula. Jadi kelebihannya: lebih hemat waktu dan hemat biaya.
Apa kunci penggambaran tadi? Sangat cocok kalau jumlah gelasnya banyak dan yang diberi gula hanya sedikit. Kalau gelas yang diberi gula ternyata banyak proporsinya, maka menjadi tidak efisien cara pooling. Kalau yang diperiksa hanya beberapa gelas, ya langsung satu persatu, mengapa harus repot pooling.
Maka dalam literatur disampaikan, pooling test tepat untuk pemeriksaan jumlah besar dengan dugaan angka positivitas rendah. Ada yang merekomendasikan maksimal 5%. Ada bahkan ada yang mengatakan 1%. Kalau lebih dari angka-angka itu, risikonya menjadi tidak efisien lagi.
Begitu juga, sesuai bila pada kondisi urgen, mendesak dan segera diperlukan hasil dari sampel dalam jumlah besar. Bila jumlahnya wajar dan situasinya tidak seperti kondisi pandemi, maka tentu metode tersebut harus menjadi pilihan terakhir.
Selain soal jumlah? Gambaran tadi itu pemberian gula dianggap semua sama: 2 sendok per gelas. Bagaimana kalau gulanya tidak sama? Ada yang 4 sendok, ada yang hanya setengah sendok. Tentu manisnya berbeda.
Ketika yang diisi 4 sendok, dicampur air dari gelas lain yang tanpa gula, tentu rasa manisnya harus dibagi rata. Barangkali masih terasa manisnya. Beda tentu dengan yang hanya diberi setengah sendok. Bisa-bisa, yang diberi setengah sendok itu menjadi hilang manisnya, ketika tercampur air dari gelas lainnya.
Maka, sebelum melakukan pooling, kita harus yakin benar kekuatan kita "mencicipi". Kalau kekuatannya rendah, maka sebaiknya hati-hati melakukan pooling. Bisa-bisa, yang sebenarnya manis, terlewatkan.
Jadi? Dua hal utama: seberapa dugaan prevalensi kasusnya dan seberapa keyakinan atas kekuatan "mencicipi" kita.
Siapa yang bisa menjawab itu? Tentu kita sendiri, di daerah dan laboratorium masing-masing. Maka memang keputusan tentang pengunaan metode pooling, tidak perlu dijadikan saling sindir.
Mangga.
@ TDA 15/6/2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H