Maka dalam literatur disampaikan, pooling test tepat untuk pemeriksaan jumlah besar dengan dugaan angka positivitas rendah. Ada yang merekomendasikan maksimal 5%. Ada bahkan ada yang mengatakan 1%. Kalau lebih dari angka-angka itu, risikonya menjadi tidak efisien lagi.
Begitu juga, sesuai bila pada kondisi urgen, mendesak dan segera diperlukan hasil dari sampel dalam jumlah besar. Bila jumlahnya wajar dan situasinya tidak seperti kondisi pandemi, maka tentu metode tersebut harus menjadi pilihan terakhir.
Selain soal jumlah? Gambaran tadi itu pemberian gula dianggap semua sama: 2 sendok per gelas. Bagaimana kalau gulanya tidak sama? Ada yang 4 sendok, ada yang hanya setengah sendok. Tentu manisnya berbeda.
Ketika yang diisi 4 sendok, dicampur air dari gelas lain yang tanpa gula, tentu rasa manisnya harus dibagi rata. Barangkali masih terasa manisnya. Beda tentu dengan yang hanya diberi setengah sendok. Bisa-bisa, yang diberi setengah sendok itu menjadi hilang manisnya, ketika tercampur air dari gelas lainnya.
Maka, sebelum melakukan pooling, kita harus yakin benar kekuatan kita "mencicipi". Kalau kekuatannya rendah, maka sebaiknya hati-hati melakukan pooling. Bisa-bisa, yang sebenarnya manis, terlewatkan.
Jadi? Dua hal utama: seberapa dugaan prevalensi kasusnya dan seberapa keyakinan atas kekuatan "mencicipi" kita.
Siapa yang bisa menjawab itu? Tentu kita sendiri, di daerah dan laboratorium masing-masing. Maka memang keputusan tentang pengunaan metode pooling, tidak perlu dijadikan saling sindir.
Mangga.
@ TDA 15/6/2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H