Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Regulasi Kelas RS: Penunjang Medik dan Penunjang Klinik?

5 Februari 2020   03:47 Diperbarui: 5 Februari 2020   04:58 2856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa ada Penunjang Medik atau Penunjang Klinik? Seorang Guru Besar Farmasi bertanya demikian. Kenapa? Karena tidak disebut dalam Permenkes 3/2020. Sebenarnya, Permenkes 3/2020 sudah mengatur soal Pelayanan Minimal di RS. Pasal 7 menyatakan bahwa pelayanan kesehatan yang diberikan oleh RS paling sedikit terdiri atas:

a. pelayanan medik dan penunjang medik

b. pelayanan keperawatan dan kebidanan

c. pelayanan nonmedik.

Sampai di sini, belum terasa perbedaannya. Toh demikian juga yang secara prinsip ada di UU RS 44/2009. Dari sejak Permenkes 340/2010, Permenkes 56/2014 sampai Permenkes 30/2019, masih demikian juga.

Permenkes 340/2010 cukup jelas menyebutkan Pelayanan Medik, terdiri dari:

  • Pelayanan Medik Umum
  • Pelayanan Medik Spesialis Dasar (SpPD, SpB, SpA, SpOG)
  • Pelayanan Medik Spesialis Penujang Medik (SpAn, SpRad, SpKFR, SpPK, SpPA, SpMK dst).
  • Pelayanan Medik Spesialis Medik lain
  • Pelayanan Medik Spesialis Gigi Mulut

Setelah itu ada Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan. Kemudian ada Perawatan Penunjang Klinik terdiri dari: Perawatan Intensif, Pelayanan Darah, Gizi, Farmasi, Sterilisasi Instrumen dan Rekam Medik. Disusul ada Pelayanan Penunjang Non Klinik: Laundry/Linen, Jasa Boga/Dapur, Teknik dan Pemeliharaan Fasilitas, Pengelolaan Limbah, Gudang, Ambulance, Komunikasi, Pemulasaraan Jenazah, Pemadam Kebakaran, Pengelolaan Gas Medik dan Penampungan Air Bersih.

Pola yang mirip, digunakan pada Permenkes 56/2014. Ada sedikit perbedaan dimana Pelayanan Kefarmasian diatur dalam pasal terpisah dengan menambahkan aspek Farmakalogi Klinik. Hal itu sejalan dengan perubahan dari Kepmenkes 1197/2004 ke Permenkes 58/2014 yang mulai memasukkan klausul Farmakologi Klinik dalam Standar Pelayanan Kefarmasian di RS.  Kemudian mulai dkenal juga pelayanan keperawatan spesialis. Sedangkan pembagian Penunjang Klinik dan Non Klinik, masih sama dengan Permenkes 340/2010.

Namun pada Permenkes 30/2019, ada perubahan cukup signifikan. Pasal 7 menyatakan bahwa pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Rumah Sakit umum paling sedikit terdiri atas:

a. pelayanan medik;

b. pelayanan keperawatan dan kebidanan;

c. pelayanan penunjang medik; dan

d. pelayanan penunjang nonmedik.

Pelayanan medik dibagi menjadi medik umum, medik spesialis dan medik sub-spesialis. Pelayanan penunjang medik spesialis meliputi pelayanan
laboratorium, radiologi, anestesi dan terapi intensif, rehabilitasi medik, kedokteran nuklir, radioterapi, akupunktur, gizi klinik, dan pelayanan penunjang medik spesialis lainnya. Sampai di sini masih mudah dipahami.

Sisi lain, pelayanan penunjang medik lain meliputi pelayanan sterilisasi yang tersentral, pelayanan darah, gizi, rekam medik, dan farmasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Adapun pelayanan penunjang nonmedik sebagaimana dimaksud terdiri atas laundri/binatu, pengolah makanan, pemeliharaan sarana prasarana dan alat
kesehatan, sistem informasi dan komunikasi, dan pemulasaran jenazah.

Sampai saat itu, belum dirasakan masalah dalam pemilahan "penunjang medik lain" dan "penunjang non medik". Berubah dari sebelumnya dipilah menjadi Penunjang Klinik dan Penunjang Non Klinik.

Ketika terbit Permenkes 3/2020, muncul polemik karena seolah "penunjang medik dihilangkan". Ternyata seluruh pelayanan medik, dimasukkan dalam satu kelompok. Kemudian dipilah menjadi Pelayanan Medik Umum, Medik Spesialis dan Medik Sub-spesialis. Dengan demikian, pelayanan penunjang medik spesialis pelayananlaboratorium, radiologi, anestesi dan terapi intensif, rehabilitasi medik, kedokteran nuklir, radioterapi, akupunktur, gizi klinik, dan pelayanan penunjang medik spesialis lainnya, semua masuk dalam kelompok Pelayanan Medik Spesialis lainnya (artinya selain Spesialis Medik Dasar SpA, SpPD, SpB dan  SpOG). Begitu juga misalnya sudah meningkat menjadi Pelayanan Penunjang Medik Sub-spesialis, maka masuk ke Pelayanan Medik Subspesialis Lainnya.

Polemik muncul pada pengelompokkan Pelayanan Non Medik. Karena pemilahannya hanya medik dan non medik, maka semua pelayanan selain yang terkait Dokter dan Dokter Gigi, masuk kelompok Pelayanan Non Medik tersebut.

Ada yang harus menjadi perhatian. Selama ini, Pelayanan Penunjang Medik bekerja sebagai fungsi pelayanan yang melekat ke RS untuk menunjang pelayanan spesialis medik dasar maupun spesialis medik lainnya. Karena bersifat dasar, maka keberadaannya menyertai pelayanan RS di semua kelas RS pada dasarnya, tanpa dipengaruhi oleh jumlah tempat tidur. Semakin tinggi kelas RS, maka pelayanan penunjang medik semakin lengkap karena jumlah bidang pelayanan spesialis dan subspesialis medik nya juga makin banyak. 

Pengelompokkan Spesialis Penunjang Medik dalam satu kelompok Spesialis Medik lainnya ini secara jenis ketenagaan tidak salah. Hanya harus dimaknai secara hati-hati agar konsep Penunjang Medik tersebut tidak bergeser. Penunjang medik tetap harus menjadi fungsi yang melekat pada fungsi pelayanan RS terlepas dari jumlah TT. Juga harus makin lengkap kemampuannya bila variasi layanan spesialis dan sub-spesialisnya makin lengkap.

Sisi lain, tidak disebutnya secara jelas pemilahan Penunjang Klinik dan Penunjang Non Klinik, sebaiknya dijelaskan agar mengurangi polemik. Pelayanan Farmasi misalnya, memang bukan pelayanan medik, karena bukan oleh Dokter atau Dokter gigi. Tetapi jelas adalah pelayanan klinis. Maka Apoteker tetap terlibat sebagai Profesional Pemberi Asuhan (PPA). Tetap masuk Tim dalam pelayanan berbasis pasien. Artinya tidak mengurangi makna dari Permenkes 72/2016.

Dalam hal Pelayanan Gizi memang lebih kompleks, ada beberapa tenaga kesehatan yang terlibat, tidak hanya Dokter SpGK. Dipahami bahwa karena itu "pengolahan makanan/gizi" dimasukkan kelompok non medik (pasal 10). Tentu harus dipahami bahwa sebagaimana Permenkes 78/2013, Asuhan Gizi dilaksanakan oleh Tim terdiri dari beberapa nakes dan profesi. Artinya tetap masuk dalam Tim PPA.

Yang harus juga dipahamkan bahwa pelayanan di rumah sakit hampir selalu merupakan fungsi kompleks, yang tidak hanya dilakukan oleh satu jenis ketenagaan. Dalam kompleksitas itu dapat melibatkan banyak tenaga kesehatan bahkan non nakes. Karena itu, jenis pelayanan tidak serta merta bisa dirujukkan hanya ke satu jenis nakes. Maka setelah padal 7, 8, 9 dan 10 pada Permenkes 3/2020, ada pasal 11 yang khusus membahas pemilahan jenis nakes dan non nakes di RS. Karena itu, sebaiknya pemilahan jenis pelayanan tidak tergesa-gesa ditarik ke pemilahan nakes. 

Penjelasan dan pemahaman seperti ini untuk mendukung bahwa "kebebasan" yang diberikan dalam Permenkes 3/2020 bukanlah cek kosong yang bisa diisi semaunya. Justru menunjukkan bahwa kita sudah didorong menjadi dewasa dan bertanggung jawab. Pelayanan tetap harus memenuhi standar, sejak dari SDM, Obat, Alkes, Sarpras maupun Sistem Manajemennya. Termasuk tentu saja dalam menerapkan prinsip kerja Penunjang Medik dan Penunjang Klinik.

Mangga.

Tonang Dwi Ardyanto

@ 05/02/2020 menjelang Shubuh di Malang

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun