Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Rumah Sakit dapat Dipidana karena Menolak Pasien, Benarkah?

26 Februari 2018   09:46 Diperbarui: 26 Februari 2018   12:14 3883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: megapolitan.kompas.com

Beberapa waktu lalu ada pernyataan anggota DPR tentang pemidanaan RS yang menolak pasien. Sebenarnya pernyataan ini bukan pernyataan baru. Sejak akhir tahun 2013, sudah pernah pula dilontarkan oleh anggota legislatif yang sama.

Pernyaan ini secara tekstual memang benar. Pasal 32 dan 190 UU Kesehatan no 36/2009 memang menyatakan:

(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.

(2) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.

Sedangkan pasal 190 UU yang sama, mengatur tentang ancaman pidana bila dengan sengaja tidak memenuhi ketentuan pasal 32 tersebut.

Secara individual, dokter juga terkena kewajiban tersebut, lengkap dengan ancaman pidananya, sesuai UU Praktek Kedokteran 29/2004 (pernah diulas dalam salah satu tulisan terdahulu).

Berarti mau tidak mau harus demikian ya? RS dan Dokter akan dipidana bila menolak? Mari kita kupas dengan lebih jernih. Pasal-pasal yang disebutkan itu, merujuk pada kondisi kegawat daruratan (emergensi). Jadi bukan dalam kondisi biasa atau umum. Apa yang dimaksud kondisi emergensi? Pasal 1 butir (2) UU RS no 44/2009 menyebutkan: "2. Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut."

Bahkan tanpa uang muka? Betul, dalam kondisi emergensi, tidak boleh menarik uang muka. Dalam kondisi bencana atau kejadian luar biasa, tanggung jawab pembiayaan ada pada Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pasal 6 UU RS no 44/2009 menyebutkan tugas Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam Pelayanan Kesehatan di RS, bunyi pada huruf (h): "h. menjamin pembiayaan pelayanan kegawatdaruratan di Rumah Sakit akibat bencana dan kejadian luar biasa." 

Bagaimana pelaksanaan tugas pemerintah dan pemda tersebut? Untuk saat ini, digunakan mekanisme JKN-BPJS. Untuk Faskes (Fasilitas Kesehatan) yang telah bekerja sama dengan BPJS, pelayanan emergensi diberikan tanpa mensyaratkan rujukan berjenjang. Artinya tidak harus urut dari Faskes paling bawah dulu (PPK 1), bisa langsung ke RS (PPK 2 atau PPK 3). 

Biaya kondisi emergensi itu masuk dalam tarif INA-CBGs yang ditetapkan. Sedangkan untuk Faskes yang belum atau tidak bekerjasama, pasien tetap harus ditangani, kemudian setelah stabil, pasien dirujuk ke Faskes yang sudah bekerja sama dengan BPJS. Biaya yang dikeluarkan Faskes pertama tersebut, bisa dimintakan kompensasi ke BPJS dengan besaran seperti tarif rawat jalan di INA-CBGs. 

Pasien pada Faskes yang belum bekerja sama ini, harus dirujuk ke Faskes yang sudah bekerja sama dengan BPJS, agar bisa ditanggung. Bila pasien tidak mau dirujuk, atau sudah diverifikasi oleh BPJS bahwa ada hambatan untuk merujuk sehingga harus dirawat inap, maka selanjutnya tidak lagi menjadi tanggungan BPJS. Poin penting dalam hal ini adalah, pasal 29 UU RS no 44/2009 menyatakan salah satu kewajiban RS adalah: "c. Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya"

Dari sisi individu dokter, juga ada klausul "sesuai dengan batas kompetensinya", seperti bunyi Pasal 51 UU Praktek Kedokteran 29/2004.

Bila sudah di luar kompetensi, maka dokter berkewajiban untuk merujuk kepada dokter yang memiliki kompetensi. Artinya, RS yang memang tidak memiliki kemampuan, menjadi terlepas dari kewajiban tersebut.

Cakupan ini bisa berarti standar teknis sesuai Klasikasi RS (Tipe A, B, C atau D). Ini diatur dalam Kepmenkes 856/2009 tentang Standar Pelayanan Gawat Darurat di RS. Yang diatur tidak hanya seberapa banyak saraan fisik (ruangan, daya listrik, air, sekat antar ruang, dsb) maupun sarana spesifik (peralatan khusus untuk kondisi gawat darurat). Diatur juga jumlah SDM yang harus siap lengkap dengan tingkatan spesialisasinya. Termasuk juga mengatur bagaimana standar SDM di RS Pendidikan.

Pelayanan IGD dibedakan menjadi 4 level, dengan level I yang terendah pada RS tipe D berturut-turut sampai Level IV di RS tipe A. Semakin tinggi, berarti semakin lengkap sarana teknis dan kemampuan kompetensi yang harus bisa diberikan di IGD. Pemahaman penulis, RS tidak bisa dituntut bila sudah mengerjakan sesuai standar kompetensi yang seharusnya dimilikinya. Kecuali bila ternyata, tidak sanggup memberikan pelayanan sesuai standar tersebut.

Bisa juga kemampuan melayani itu terhambat karena kondisi situasional telah terpakainya sumber daya (resources utility) yang ada saat itu sehingga tidak memungkinkan memberikan pelayanan lagi. Misalnya, alat sudah habis terpakai oleh pasien lain, atau ketersediaan ruangan yang sudah penuh. Pada kondisi itu, kewajiban RS adalah melakukan sebatas kemampuan dan segera merujuknya ke Faskes lain yang memiliki kemampuan pelayanan.

Dalam hal seperti inilah, ada kerawanan dalam hal RS terpaksa tidak bisa melayani. Mengapa tidak dipaksa melayani saja? Bukankah kadang ditemukan masih ada ruang yang kosong? Dalam hal ini kita harus menyadari soal keselamatan pasien. Adanya ruang yang kosong tidak berarti RS sengaja menolak. Ada basis pemikiran dan regulasinya juga. Silakan disimak tulisan terdahulu soal ruang yang masih kosong ini. Dalam kondisi terpaksa seperti itu, RS berkewajiban memberikan usaha semaksimal kondisi setempat sambil mengupayakan rujukan ke RS lain yang masih bisa melayani.

Bagaimana tahu bahwa ada RS lain yang bisa melayani? Untuk itulah Pemerintah dan Pemda maupun RS sendiri berkepentingan menjalin kerja sama untuk kepentingan pasien. Salah satu contohnya adalah sistem yang dibangun oleh Dinas Kesehatan Jawa Tengah dengan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu. Melalui media ini, bisa terlihat RS yang masih memiliki sumber daya untuk penanganan kondisi gawat darurat.

Itu tadi semua untuk kondisi gawat darurat. Bagaimana dengan kondisi umum atau bukan gawat darurat? Dalam hal ini berlaku Sistem Rujukan Berjenjang (Permenkes 01/2012). Sistem tersebut juga diberlakukan dalam JKN oleh BPJS mulai 1 Januari 2014. Prinsipnya, kita berusaha membalik keadaan yang salah kaprah sebelumnya. Bila dilihat penyebarannya, tergambar di era sebelumnya bahwa RS melayani pasien dalam jumlah yang melebihi kemampuan. Akibatnya sering disindir sebagai "Puskesmas Raksasa". Dengan sistem berjenjang, diharapkan penyebaran itu mendekati piramida. Kasus yang memang bisa tertangani di level Puskesmas (PPK 1), diharapkan tidak perlu dirujuk ke RS sebagai PPK 2 apalagi RS sebagai PPK 3.

Demikian pula dari PPK 2 ke PPK 3. Harapannya, tidak terjadi penuh sesak pasien di RS yang justru menghambat pemberian pelayanan secara optimal. Tapi, tidak sedikit kondisi Puskesmas yang belum seperti diharapkan? Di sanalah tugas pemerintah yang harus menjamin agar Puskesmas juga memenuhi standar. Ini adalah tugas yang penting di sisi hulu, agar pada sisi hilirnya nanti, Faskes dapat melayani masyarakat sesuai dengan kebutuhan.

Bila dari hulunya masih banyak masalah, tentu tidak bijak bisa yang di hilir menjadi sasaran. Tidak perlu dipungkiri, ada saja RS yang memang tidak memenuhi kewajiban dengan baik. Termasuk dalam menghadapi pasien dengan kondisi gawat. Tetapi secara gegabah menghakimi banyak RS lain sebagai berperilaku serupa, tentu juga tidak bisa sembarangan dilakukan. Perlu pemahaman bersama agar menjadi jelas duduk masalahnya.

Salah satu tantangan terberat bagi pemerintah adalah "mendidik masyarakat" tentang Sistem Pelayanan Kesehatan. Sistem Rujukan Berjenjang banyak menghadapi kendala karena sering justru dianggap merugikan bagi masyarakat. Begitu juga dalam hal pelayanan di RS, Pasal 29 dan 30 UU RS np 44/2009 menyebutkan dengan jelas Kewajiban dan Hak RS. Pasal 32 mengatur dengan sangat jelas Hak pasien. Sedangkan pasal 31 menyebutkan tentang "Kewajiban Pasien" yang belum diatur dalam UU karena akan diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan. Sampai sekarang, Permenkes tentang hal tersebut, belum diterbitkan. Apakah Hak RS dalam pasal 30 juga bisa diimplikasikan sebagai Kewajiban Pasien terhadap RS? Tentu tidak sesederhana itu mestinya.

Semoga semangat untuk menegakkan aturan tentang Kewajiban RS, juga disertai semangat menetapkan kewajiban pasien terhadap RS. Hal ini bukan untuk semakin merenggangkan jarak. Justru hak dan kewajiban yang jelas, akan mendudukkan semua pihak pada tempatnya agar tidak perlu ada yang merasa terkalahkan. 

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun