Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Rumah Sakit dapat Dipidana karena Menolak Pasien, Benarkah?

26 Februari 2018   09:46 Diperbarui: 26 Februari 2018   12:14 3883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari sisi individu dokter, juga ada klausul "sesuai dengan batas kompetensinya", seperti bunyi Pasal 51 UU Praktek Kedokteran 29/2004.

Bila sudah di luar kompetensi, maka dokter berkewajiban untuk merujuk kepada dokter yang memiliki kompetensi. Artinya, RS yang memang tidak memiliki kemampuan, menjadi terlepas dari kewajiban tersebut.

Cakupan ini bisa berarti standar teknis sesuai Klasikasi RS (Tipe A, B, C atau D). Ini diatur dalam Kepmenkes 856/2009 tentang Standar Pelayanan Gawat Darurat di RS. Yang diatur tidak hanya seberapa banyak saraan fisik (ruangan, daya listrik, air, sekat antar ruang, dsb) maupun sarana spesifik (peralatan khusus untuk kondisi gawat darurat). Diatur juga jumlah SDM yang harus siap lengkap dengan tingkatan spesialisasinya. Termasuk juga mengatur bagaimana standar SDM di RS Pendidikan.

Pelayanan IGD dibedakan menjadi 4 level, dengan level I yang terendah pada RS tipe D berturut-turut sampai Level IV di RS tipe A. Semakin tinggi, berarti semakin lengkap sarana teknis dan kemampuan kompetensi yang harus bisa diberikan di IGD. Pemahaman penulis, RS tidak bisa dituntut bila sudah mengerjakan sesuai standar kompetensi yang seharusnya dimilikinya. Kecuali bila ternyata, tidak sanggup memberikan pelayanan sesuai standar tersebut.

Bisa juga kemampuan melayani itu terhambat karena kondisi situasional telah terpakainya sumber daya (resources utility) yang ada saat itu sehingga tidak memungkinkan memberikan pelayanan lagi. Misalnya, alat sudah habis terpakai oleh pasien lain, atau ketersediaan ruangan yang sudah penuh. Pada kondisi itu, kewajiban RS adalah melakukan sebatas kemampuan dan segera merujuknya ke Faskes lain yang memiliki kemampuan pelayanan.

Dalam hal seperti inilah, ada kerawanan dalam hal RS terpaksa tidak bisa melayani. Mengapa tidak dipaksa melayani saja? Bukankah kadang ditemukan masih ada ruang yang kosong? Dalam hal ini kita harus menyadari soal keselamatan pasien. Adanya ruang yang kosong tidak berarti RS sengaja menolak. Ada basis pemikiran dan regulasinya juga. Silakan disimak tulisan terdahulu soal ruang yang masih kosong ini. Dalam kondisi terpaksa seperti itu, RS berkewajiban memberikan usaha semaksimal kondisi setempat sambil mengupayakan rujukan ke RS lain yang masih bisa melayani.

Bagaimana tahu bahwa ada RS lain yang bisa melayani? Untuk itulah Pemerintah dan Pemda maupun RS sendiri berkepentingan menjalin kerja sama untuk kepentingan pasien. Salah satu contohnya adalah sistem yang dibangun oleh Dinas Kesehatan Jawa Tengah dengan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu. Melalui media ini, bisa terlihat RS yang masih memiliki sumber daya untuk penanganan kondisi gawat darurat.

Itu tadi semua untuk kondisi gawat darurat. Bagaimana dengan kondisi umum atau bukan gawat darurat? Dalam hal ini berlaku Sistem Rujukan Berjenjang (Permenkes 01/2012). Sistem tersebut juga diberlakukan dalam JKN oleh BPJS mulai 1 Januari 2014. Prinsipnya, kita berusaha membalik keadaan yang salah kaprah sebelumnya. Bila dilihat penyebarannya, tergambar di era sebelumnya bahwa RS melayani pasien dalam jumlah yang melebihi kemampuan. Akibatnya sering disindir sebagai "Puskesmas Raksasa". Dengan sistem berjenjang, diharapkan penyebaran itu mendekati piramida. Kasus yang memang bisa tertangani di level Puskesmas (PPK 1), diharapkan tidak perlu dirujuk ke RS sebagai PPK 2 apalagi RS sebagai PPK 3.

Demikian pula dari PPK 2 ke PPK 3. Harapannya, tidak terjadi penuh sesak pasien di RS yang justru menghambat pemberian pelayanan secara optimal. Tapi, tidak sedikit kondisi Puskesmas yang belum seperti diharapkan? Di sanalah tugas pemerintah yang harus menjamin agar Puskesmas juga memenuhi standar. Ini adalah tugas yang penting di sisi hulu, agar pada sisi hilirnya nanti, Faskes dapat melayani masyarakat sesuai dengan kebutuhan.

Bila dari hulunya masih banyak masalah, tentu tidak bijak bisa yang di hilir menjadi sasaran. Tidak perlu dipungkiri, ada saja RS yang memang tidak memenuhi kewajiban dengan baik. Termasuk dalam menghadapi pasien dengan kondisi gawat. Tetapi secara gegabah menghakimi banyak RS lain sebagai berperilaku serupa, tentu juga tidak bisa sembarangan dilakukan. Perlu pemahaman bersama agar menjadi jelas duduk masalahnya.

Salah satu tantangan terberat bagi pemerintah adalah "mendidik masyarakat" tentang Sistem Pelayanan Kesehatan. Sistem Rujukan Berjenjang banyak menghadapi kendala karena sering justru dianggap merugikan bagi masyarakat. Begitu juga dalam hal pelayanan di RS, Pasal 29 dan 30 UU RS np 44/2009 menyebutkan dengan jelas Kewajiban dan Hak RS. Pasal 32 mengatur dengan sangat jelas Hak pasien. Sedangkan pasal 31 menyebutkan tentang "Kewajiban Pasien" yang belum diatur dalam UU karena akan diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan. Sampai sekarang, Permenkes tentang hal tersebut, belum diterbitkan. Apakah Hak RS dalam pasal 30 juga bisa diimplikasikan sebagai Kewajiban Pasien terhadap RS? Tentu tidak sesederhana itu mestinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun