Ada pertanyaan yang sudah lama muncul, berulang dan dua hari ini kembali mengemuka ke penulis. Kasusnya adalah ada pasien yang memulai perawatan di RS sebagai pasien non JKN meskipun dia sendiri sebenarnya memiliki kartu JKN. Tetapi ternyata tidak boleh pindah menjadi pasien JKN. Kenapa? Kan sudah bagus dia mau menggunakan dulu uangnya sendiri? Apa ruginya bagi JKN? Apa ruginya bagi RS?Â
Agar tidak menimbulkan salah paham, ada baiknya dijernihkan. Apa bedanya dengan umumnya skema di Asuransi Kesehatan lain?Â
Pada umumnya asuransi kesehatan, pertanggungan dihitung berdasarkan biaya yang timbul. Mudahnya berbasis fee for service. Besar pertanggungan adalah semua biaya yang timbul sesuai klausul akad, sampai batas jumlah tertentu. Dengan konsep ini, maka sebagai ilustrasi mudahnya: semakin lama dirawat, semakin banyak tindakan (operasi misalnya atau tindakan lain) dilakukan, semakin banyak obat diberikan, maka klaim juga semakin besar, sampai batas maksimal pertanggungan.
Di awal JKN dulu, kalau pasien masuk rawat inap, maka masih diberi kesempatan sampai 3 x 24 jam untuk menunjukkan kepesertaan JKN. Masalah timbul ketika ternyata sebelum 3 hari sudah sembuh, atau sudah meninggal dan belum sempat membuktikan kepesertaan. Menjadi ganjalan, karena kemudian menjadi tarik ulur, siapa yang bertanggung jawab atas biayanya? Faskes yang lebih sering menerima dampak buruknya.Â
Masalah lain, dapat terjadi orang masuk hari pertama sampai hari ketiga, tidak menggunakan manfaat JKN. Tetapi setelah itu menyatakan pindah menjadi pasien JKN. Siapa yang akan menanggung? Bolehkah semua menanggung?Â
Maka pada bulan Juni 2014, terbit Permenkes 28/2014 yang mengatur bahwa peserta harus sudah menetapkan sejak awal episode bahwa akan menggunakan atau tidak menggunakan manfaat JKN. Bila menyatakan akan menggunakan, maka peserta diberi waktu maksimal 3 x 24 jam atau sebelum pulang atau sebelum meninggal, untuk menyerahkan bukti kepesertaannya tersebut. Bila tidak dapat dipenuhi, maka pertanggungan JKN tidak dapat diberikan. Dengan regulasi ini, maka tidak bisa dilakukan lagi perpindahan status pasien dari Non JKN ke JKN di tengah-tengah episode perawatan.Â
Saat ini, RS banyak dan relatif sering menghadapi situasi seperti itu: pasien masuk sebagai pasien non JKN, tetapi di tengah-tengah episode ingin pindah status ke JKN. Tentu saja RS tidak dapat memenuhi permintaan tersebut. Terjadilah salah paham. Kadang peserta sampai mengajak "pihak ketiga" untuk memaksa RS. Akibatnya, RS mendapat beban tambahan.Â