Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Tidak Ada Gawat Darurat Versi BPJS (2)

21 Juni 2016   05:17 Diperbarui: 21 Juni 2016   07:25 771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perawat : Walah .. dokter dengar ga sih?

Dokter : Sus .. kita mau nolong pasien atau BPJS? .. kalau mau nolong BPJS .. yuk pejabatnya kita opnamekan semua ..kayaknya pada sakit jiwa itu..

Perawat : Hahaha... ternyata.. Siap dok.. saya siapkan ppname untuk pejabat BPJS .. eh... pasien kita maksud saya.... 😂

Hanya Copas ...btw..SETUJU

Diskusi ini sebaiknya dijernihkan. Kalau ini muncul 2 tahun lalu, barangkali kita bisa menyatakan sebagai "kurang sosialisasi". Tetapi kalau sekarang, rasanay kita harus fair: kita memang yang kurang mau tahu. Apalagi, kalau ditlilik pada tulisan sebelumnya, maka sebenarnyalah daftar dan kriteria itu sudah muncul sebelum ada JKN 1 Januari 2014. 

Mari kita coba jernihkan dari awal. Bahwa ada tugas BPJSK sebagai pasal 24 ayat 3 UU SJSN 40/2004, sudah banyak dipahami. Kata kuncinya: harus efektif dan efisien. Salah satu turunannya adalah pada pasal 40 Perpres 12/2013:

screen-shot-2016-06-21-at-04-15-34-57685d26967a61490e67deac.png
screen-shot-2016-06-21-at-04-15-34-57685d26967a61490e67deac.png
Amanah pasal ini yang nampaknya menjadi beban bagi BPJSK terutama ayat 5. Atas nama efektivitas dan efisiensi, maka BPJSK berkewajiban "mengatur" sal penilaian kegawatdaruratan dan prosedur penggantian biayanya. Untuk memenuhinya, dalam Peraturan BPJSK 1/2014 disusun pasal 63-66. Namun dalam pasal-pasal itu sama sekali tidak ada penjelasan atau penyebutan secara eksplisit tentang "penilaian kegawatdaruratan". Isinya lebih pada bagaimana mengatur soal "pembayaran" atas layanan kegawatdaruratan. 

Maka kemudian, sebagaimana dibahas pada tulisan sebelumnya, BPJSK menggunakan klausul dalam Permenkes 416/2011. Dalam Permenkes tersebutlah, ada uraian tentang Kriteria kegawatdaruratan. Bila dilihat dari sisi legalitas, sebenarnya Permenkes 416/2011 sudah tidak berlaku, ketika PT Askes sudah ditransformasikan menjadi BPJSK pada 1 Januari 2014. Namun dari sisi lain, itulah dasar hukum yang paling akhir tentang "penilaian kegawatdaruratan".

Terhadap klausul pasal 40 ayat (5) Perpres 12/2013 itu, pernah ditanyakan kepada yang terlibat dalam penyusunannya. Klausul "penilaian kegawatdaruratan" ini sebenarnya tentang isi dari ayat-ayat sebelumnya yaitu klausul Faskes yang memberikan pelayanan apakah bekerjasama dengan BPJSK. Klausul itu kemudian menjadi dasar tentang bagaimana cara pembayarannya. 

Namun di lapangan, atas dasar perintah Pasal 24 UU SJSN 40/204 maupun Pasal 40 Perpres 12/2013 itulah, BPJSK merasa berkewajiban untuk melakukan penialian kegawatdaruratan sebagai dasar "dibayar atau tidak". Hal ini mengingat dalam hal pembayaran dengan uang negara, harus selalu jelas dasar hukum secara hitam putih. Maka kemudian, digunakanlah Permenkes 416/2011 tersebut. 

Mengapa di banner yang banyak dipasang di IGD, ada tambahan kata-kata "... dan yang ditetapkan oleh Dewan Pertimbangan Medik"? Karena memang demikian klausul dalam Permenkes 416/2011. Seberapapun penulis tidak sependapat dengan keberadaan DPM, tetapi memang itu bunyi Permenkesnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun