Satu lagi keluhan yang juga sering muncul adalah: verifikator memasuki ranah medis. Salah paham ini mudah timbul ketika terjadi perbedaan pendapat. Padahal memang ada perbedaan sudut pandang dan lapangan pemikiran antara Dokter sebagai Klinisi dan Verifikator di sisi pembayaran. Karena memang sudah beda, tentu mudah terjadi perbedaan pendapat. Apalagi kalau didorong oleh rasa saling curiga, maka akan semakin besar potensi salah paham tersebut.Â
Ada baiknya, para pihak sama-sama menyadari bahwa memang ada perbedaan tersebut. Karena itu, selalu disampaikan bahwa sebaiknya verifikator tidak bertemu langsung dengan Dokter (DPJP). Sebaiknya ada Tim Pengendali JKN (atau apapun namanya) di internal RS yang menjembatani proses komunikasi tersebut. Begitupun, Tim dimaksud juga sebaiknya menjaga agar tidak terjadi beda pendapat. Sebaiknya dihindari pernyataan: lha kata verifikator diagnosisna salah, padahal beda yang dimaksud. Diagnosis dalam sisi patofisiologis yang dituliskan dalam RM, tidak selalu sama dengan diagnosis untuk kepentingan koding pembayaran. Ini sudah ditegaskan dalam Permenkes 27/2014. Pernyatan "katanya verifikator" iniah yang sering memicu ketegangan karena kemudian Dokter merasa "verifikator telah memasuki ranah medis".Â
Sebaliknya, setelah selesai menjalankan tugas paparan, saya biasa mengajak berkumpul teman-teman verifikator atau minimal sengaja saya buka forum untuk menerima pula umpan balik dari mereka. Karena selama saya paparan, memang mereka terbiasa untuk menahan diri dari bertanya. Tapi jelas juga ada kesan penasaran. Berikut beberapa yang sering mereka keluhkan:
Ada juga rasa bahwa verifikator itu selalu dicurigai. Akibatnya seolah-olah verifikator berada di sebuah tempat dimana dia menjadi public enemy: musuh semua orang, sehingga harus selalu diawasi dan diwaspadi setiap gerak-gerik dan langkahnya. Akibatnya ketika mengajukan konfirmasi atau bertanya sesuatu, suasananya selalu dicurigai: pasti akan mempersulit. Padahal tidak jarang, justru ada verifikator yang bermaksud memberitahu bahwa ada yang kurang pas dalam pengajuan klaim, termasuk memberitahu bagaimana solusinya.Â
Selanjutnya berkaitan dengan keluhan dari RS juga, adalah ada saatnya verifikator merasa harus terburu-buru menyelesaikan verifikasi padahal jumla berkas semakin banyak. Seperti dijelaskan sebelumnya, kondisi ini memang kondisi yang sensitif dari kedua pihak. Maka langkah Verdika perlu didukung asal benar-benar mengarah ke efisiensi proses verifikasi. Harapannya, verifikator lebih nyaman bekerja, RS juga lebih nyaman melayani.Â
Harus diakui bahwa adanya "ketegangan" ini memang bagian dari sindrom JKN: kita dipenuhi saling curiga. Harus diakui bahwa proses transformasi para pihak memasuki JKN, adalah kondisi yang tidak mudah. Perubahan dari paradigma Fee for service (FFS) ke Prospective payment, adalah perubahan besar bagi penyedia layanan. Begitu juga, perubahan (bahkan redefinisi dan reposisi) dari PT Askes menjadi BPJSK juga perubahan besar yang tidak semua mampu melewati secara mulus dan peka waktu. Butuh usaha, pengorbanan dan waktu untuk mencapainya. Kondisi ini yang tidak jarang memperbesar potensi saling curiga tersebut. Setelah 2,5 tahun rasanya sudah saatnya kita bersama-sama berusaha move on justru dengan saling bergandeng tangan.Â
Tidak jarang, saking baiknya hubungan antara RS dengan verifikator, maka justru ada saling memberi masukan antar keduanya dalam proses pengajuan klaim maupun verifikasinya. Karena itu terasakan sebagai lancar prosesnya: kedua-duanya menjadi nyaman. Namun, juga tidak jarang terjadi ketegangan yang berkepanjangan. Biasanya kemudian dilakukan proses rotasi antar verifikator agar menghindari kejenuhan.Â
Rotasi juga diperlukan agar tidak terjadi hubungan kedekatan yang kemudian mengurangi sisi profesionalitas. Jangan sampai kedekatan dan hubungan baik atau pun sebaliknya ketegangan itu menjadikan proses pengajuan klaim maupun verifikasi, tidak lagi secara profesional, tetapi secara emosional.Â
Mari bergandeng tangan..
#SalamKawalJKN