Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

RS dan Verifikator: Mari Bergandeng Tangan

7 Juni 2016   05:32 Diperbarui: 7 Juni 2016   07:37 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu topik pertanyaan yang selalu berulang dalam hampir setiap forum tentang JKN adalah: Proses Verifikasi. Tidak jarang terlontar dari pihak RS sebagai penyedia layanan keluhan dan kritik terhadap verifikator. Tidak jarang, keluhan dan kritik itu begitu kerasnya. Beberapa keluhan yang muncul adalah:

screen-shot-2016-06-06-at-06-11-44-5754b267969373b704a3f38f.png
screen-shot-2016-06-06-at-06-11-44-5754b267969373b704a3f38f.png
Untuk dua poin pertama, berkaitan dengan akses ke Rekam Medis (RM). Ini pernah dibahas sebelumnya. Memang ada dinamika regulasi dalam hal ini antara regulasi JKN (Permenkes 71/2013 dan Permenkes 28/2014) dengan regulasi terkait rekam medis (Permenkes 269/2008 dan Permenkes 36/2012). Sebenarnya memang akses verifikator adalah ke ringkasan medis atau resume medis (hal ini kemudian dipertegas dalam pasal 39A Perpres 192016). 

Namun verifikator sering mengeluh: isi ringkasannya terlalu ringkas sehingga muncul banyak pertanyaan. Akibatnya kadang terjadi menuliskan catatan di resume medis. Sebaiknya, pertanyaan ditulis di lembar konfirmasi. Kemudian pertanyaan diajukan ke pihak RS. Selanjutnya, pihak RS yang membukakan rekam medis untuk menjawabnya. Di lapangan, kadang terjadi memang proses itu dirasa membuat repot. Akhirnya terjadi: pihak RS lebih suka menyerahkan berkas RM kepada verifikator. Kebiasaan salah kaprah ini kemudian berlanjut, dengan verifikator meminjam RM. Kemudian mudah terjadi salah paham: berkas hilang, ada lembar tercecer, dan seterusnya. Padahal sama-sama tidak mudah membuktikannya. Jadilah kedua pihak saling salah kaprah. Mari kita perbaiki dengan bersama-sama menegakkan aturannya.  

Ada lagi keluhan verifikator mengancam penundaan klaim. Sesuai regulasi, klaim akan dicairkan selambat-lambatnya 15 hari setelah berkas klaim diteriam lengkap. Untuk memenuhi ini, maka sesuai kondisi setempat, disepakati tenggat dimasukkannya berkas ajuan klaim dari pihak RS ke BPJSK di awal bulan berikutnya. Dengan perhitungan akan dibutuhkan sekian waktu untuk proses verifikasi, umpan balik, koreksi, dan semoga kemudian dinyatakan lengkap. Pada tanggal biasanya sekitar tanggal 20, berkas yang sudah dinyatakan lengkap akan diproses, dan sekitar tanggal 25 akan dicairkan klaim dari ajuan pelayanan bulan sebelumnya. 

Salah paham mudah timbul, ketika sudah mendekati tenggat waktu memproses berkas klaim untuk dicairkan. Bila pada tanggal 20 (misalnya demikian yang disepakati), tetapi berkas yang ditunggu belum diserahkan, maka ada risiko bahwa berkas itu tidak bisa diikutkan dalam pencairan bulan tersebut. Ini yang sering dikesankan sebagai "mengancam menunda pencairan klaim". 

Memang ada satu pertanyaan yang belum terjawab: berapa lama proses verifikasi? Nampaknya tidak mudah bagi BPJSK menetapkan waktu ini karena faktor lokal mempengaruhi. Langkah yang dilakukan adalah memperbarui prosesnya melalui Verifikasi di Kantor (Verdika). Sekarang sedang proses uji coba, untuk mulai diberlakukan serentak pada Januari 2017. Pada proses ini, ada percepatan verifikasi karena menggunakan alat bantu aplikasi digital. Bila ada pennda tertentu saja dari aplikasi tersebut, barulah dilakukan verifikasi secara manual. 

Apa yang membuat proses verifikasi alot biasanya karena perbedaan pendapat tentang koding. Untuk itu, Kemenkes telah menerbitkan regulasinya berupa Permenkes 27/2014 dan SE 1185/2015 maupun 63/2016. Terhadap regulasi ini memang masih mungkin terjadi kasus yang belum jelas acuannya. Akibatnya terjadi dispute dan penundaan klaim. Untuk mengatasi hal ini, mari para pihak kembali kepada mekanisme penyelesaian perbedaan pendapat sebagaimana diatur tentang TKMKB maupun Tim Pertimbangan Klinik dan Dewan Pertimbangan Klinik. Sebaiknya mekanisme itu diberdayakan agar meminimalkan perbedaan pendapat yang mengakibatkan penundaan klaim. 

Selanjutnya pada beberapa kasus, ada keluhan bahwa verifikator tidak melakukan konfirmasi, tetapi klaim ternyata ditolak (saat proses umpan balik). Kadang verifikator merasa sudah tidak perlu bertanya, karena sudah jelas dalam Permenkes 27/2014 maupun kedua SE Menkes. Pada kondisi demikian, langsung dinyatakan tidak memenuhi syarat klaim. Apalagi bila hal demikian sudah terjadi beberapa kali. 

Namun tentu sebaiknya, justru bila ada klausul demikian, verifikator memberi masukan kepada pihak RS agar dapat memahami duduk masalahnya. Kecuali bila memang para pihak merasa tidak cukup waktu mendiskusikannya, dibawa saja ke TKMKB agar ada preseden dan yurisprudensi terhadap kasus-kasus selanjutnya. Yang demikian mengurangi risiko salah paham. 

Keluhan lain adalah kesan bahwa verifikator membuat "surat edaran sendiri". Karena dinamika regulasi yang begitu tinggi, mudah dan memang sering terjadi kesenjangan dalam menerima informasi lebih baru. Ada perbedaan tajam memang dalam hal ini: verifikator didorong untuk selalu menguasai aturan terbaru, agar dapat menyelesaikan verifikasi yang juga bertambah kompleks, sementara pihak RS cenderung terlambat menerima arus informasi baru. Sumber informasi bagi verifikator ini bisa dari Permenkes, SE Menkes, Per BPJSK, SE DirYan memerinci isi SE Menkes, atau pernah terjadi berasal dari Dewan  Pertimbangan Medis (DPM) BPJSK sendiri. Akibatnya terkesan: verifikator membuat aturan sendiri. Lebih jauh lagi: verifikator bikin aturan berlaku surut. Padahal sebenarnya memang pemberlakuannya demikian, kita yang seringkali ketinggalan informasinya. 

Ada baiknya, kita sama-sama berusaha tetap mengikuti dinamika regulasi, agar meminimalkan perbedaan pendapat. Ini berarti ada juga tugas dari Kemenkes untuk selalu secepat dan sedini mungkin mensosialisasikan bila ada regulasi baru. Sebaliknya, beralasan bahwa Kemenkes belum sosialisasi sebenarnya juga tidak tepat di era internet dan medsos seperti sekarang ini, dimana informasi sebenarnya relatif sangat mudah didapatkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun