Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Masih tentang Jasa Pelayanan di Era JKN

4 Juni 2016   08:51 Diperbarui: 4 Juni 2016   10:10 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu topik yang masih terus hangat di era JKN ini adalah soal Jasa Pelayanan. Dulu di awal JKN, belum ada ketentuan rinci tentang pemanfaatan dana kapitasi secara rinci untuk Nakes di Faskes. Memang sudah ada sebenarnya ketentuan dasar di UU SJSN 40/2004 pada pasal 24:

screen-shot-2016-06-04-at-08-08-44-57522a2d28b0bd08058e965d.png
screen-shot-2016-06-04-at-08-08-44-57522a2d28b0bd08058e965d.png
Yang terkait dengan topik Jasa Pelayanan, ada pada ayat 2. Dalam penjelasan pasal 24 ayat 2 UU SJSN 40/2004 ini dituliskan bahwa:

screen-shot-2016-06-04-at-08-10-02-57522a79c1afbddf038b457c.png
screen-shot-2016-06-04-at-08-10-02-57522a79c1afbddf038b457c.png
Semangat pasal 24 ayat 2 ini mendudukkan beberapa hal penting:

1. BPJSK harus membayar Faskes secara efektif dan efisien. Termasuk bahwa BPJSK harus membayarkan klaim selambat-lambatnya 15 hari setelah berkas klaim diterima lengkap.
2. BPJSK membayar Faskes secara kapitasi atau mekanisme kompensasi sesuai kondisi daerah. Mekanisme ini untuk menjelaskan isi Pasal 23 ayat 3. Penjelasan lebih rinci ada pada Pasal 30 Permenkes 71/2013.
3. Penggunaan rinci dari dana kapitasi maupun klaim INa-CBGs itu menjadi kewenangan pimpinan faskes. 

Namun dalam kondisi semua pihak masih belajar tentang JKN, maka terjadi kebingungan dan hambatan dalam pembagian dana kapitasi dan klaim pada awal-awal JKN. Akibatnya di sebagian fakses, terhambat pembagiannya bagi nakes. Akhirnya muncul banyak desakan agar ada aturan yang baku dan rinci tentang pembagian jasa pelayanan tersebut. 

Khusus untuk FKTP, pada 20 April 2014 terbit Perpres 32/2014, dirinci dengan Permenkes 19/2014 pada 2 Mei 2014. Beberapa keluhan muncul: pembagian kurang adil, kurang proporsional, tidak ada ruang bagi tenaga tidak tetap. Tidak sedikit suara agar pembagian itu lebih diperinci agar memudahkan pembagian. 

Pada Juni 2014, terbit Pemenkes 28/2014 yang menyatakan bahwa untuk pembagian dana kapitasi maupun klaim INA-CBGs itu:

1. Untuk Faskes BLUD, mengikuti alur ketentuan BLUD. 
2. Untuk Faskes milik swasta diserahkan kepada pemilik sesuai dengan ketentuan tentang Dokter Praktik Perorangan dan Klinik
3. Untuk Faskes milik pemerintah lain, ada beberapa ketentuan, sesuai isi Permenkes 19/2014. 

screen-shot-2016-06-04-at-08-04-09-57522953ed9273ad1b2e000e.png
screen-shot-2016-06-04-at-08-04-09-57522953ed9273ad1b2e000e.png
Pada 18 Mei 2016 ini terbit Permenkes 21/2016 sebagai revisi terhadap Permenkes 19/2016. Namun ternyata, alih-alih dianggap memenuhi harapan sebelumnya, tetapi justru menuai polemik karena dianggap tidak adil bagi Dokter terutama Dokter Fungsional (yang tidak merangkap ataupun mendudukan Jabatan Struktural). Jadilah kemudian justru bergulir diskusi dinamis dan masih terus hangat. 

Pada FKRTL, suara yang kurang lebih sama muncul: seharusnya ada Ketentuan rinci dan baku tentang bagaimana membagi jasa medis terutama untuk Dokter Fungsional. Karena ketiadaan aturan itu dianggap menjadi pangkal masalah dirasakan kurang merata dan layaknya jasa pelayanan yang diterima para Nakes, terutama para Dokter. Hal itu nampak terbaca dengan jelas di media sosial, karena sejak dimulai JKN sampai sekarang, masih terus terdengar. 

Kemenkes sebenarnya juga tidak tinggal diam. Pada Permenkes 28/2014 sudah diamanatkan bahwa bagi FKRTL juga berlaku kurang lebih sama dengan aturan bagi FKTP:

screen-shot-2016-06-04-at-08-23-52-57522db1df22bdb1038b456a.png
screen-shot-2016-06-04-at-08-23-52-57522db1df22bdb1038b456a.png
Dengan aturan itu, masih sering terdengar keluhan dan permintaan agar pembagian jaspel itu juga dibakukan dalam aturan yang rinci. Seandainya hal itu dipenuhi, akankah juga terjadi kegaduhan seperti saat ini dengan terbitnya Permenkes 21/2016 bagi FKTP? 

Terhadap diskusi soal jaspel di RS ini, ada dua komentar menarik di media sosial. Komentar pertama, menyampaikan bahwa sebenarnya memang ada variasi penerimaan jaspel di RS pada era JKN ini:

screen-shot-2016-06-04-at-08-31-08-57522f7361afbdfe0e578075.png
screen-shot-2016-06-04-at-08-31-08-57522f7361afbdfe0e578075.png
Komentar ini mengawali diskusi hangat, sampai kemudian ada komentar lain yang juga menarik:

screen-shot-2016-06-04-at-08-30-34-57522f8e6723bdef049d1502.png
screen-shot-2016-06-04-at-08-30-34-57522f8e6723bdef049d1502.png
Ada yang menarik bahwa sebenarnya ada peluang dirasakannya pembagian jaspel yang lebih nyaman bagi para pihak. Hanya memang ada beberapa poin penting dari diskusi tersebut bahwa:

1. Era dan paradigma sudah berubah: dari era FFS ke Prospective Payment. Ini kenyataan, ini regulasi, ini kesepakatan nasional. Lebih baik kita juga harus berubah dan lebih menguasai perubahan paradigma itu daripada terjebak dalam keterkejutan. Bila memungkinkan, kita harus LEBIH TAHU dan LEBIH DULU menguasai paradigma baru itu dibandingkan orang lain. 

Amanah Kendali Mutu dan Kendali Biaya bagi Dokter sudah tercantum eksplisit dalam UU Praktik Kedokteran 29/2004 mendahului terbitnya UU SJSN 40/2004. Jadi sama sekali tidak ada alasan mengatakan bahwa gara-gara JKN, Dokter jadi susah karena harus berpikir soal biaya. Apalagi "gara-gara BPJS". 

Artinya sejak awal memang sebenarnya Dokter dilekati kewajiban Kendali Mutu dan Kendal Biaya, baik ada atau tidak ada JKN sekalipun. Apalagi sekedar karena ada BPJSK. 

screen-shot-2016-06-04-at-07-59-56-5752305bd47a61c804b00623.png
screen-shot-2016-06-04-at-07-59-56-5752305bd47a61c804b00623.png
2. Kunci utamanya adalah KETERBUKAAN antara Manajemen dan Pemberi Layanan langsung (khususnya DPJP). Tanpa keterbukaan, maka yang muncul adalah saling curiga. Padahal kedua pihak sama-sama mendapat tantangan berat dengan perubahan paradigma. Tantangan itu makin berat kalau disertai rasa saling curiga. 

Klinisi mau tidak mau juga harus mau tahu tentang JKN, tentang Remunerasi, tentang indikator mutu klinik maupun indikator manajemen. Ini juga sudah ada sebelum ada JKN, sebelum ada BPJS. Mengapa harus mau tahu, karena kalau tidak, tentu sulit mengembangkan saling keterbukaan. Tentu harus diusahakan ada bahasa yang mendekati sama, ada standar dan indikator yang juga seharusnya menuju ke satu titik yang sama. Dengan demikian, bisa menjadi proses dialog, bukan proses saling menuntut. 

screen-shot-2016-06-04-at-08-36-07-5752309361afbd990e578092.png
screen-shot-2016-06-04-at-08-36-07-5752309361afbd990e578092.png
3. Remunerasi sebagai pilihan, disadari masih terus mencari bentuk. Maka keterbukaan itu juga berarti terbuka untuk dilakukan revisi, penyesuaian dan perbaikan sistem remunerasi yang diterapkan. Sekali lagi, dalam hal ini, tetap harus prinsip saling: yaitu saling memberi, maupun saling menerima. Ada keharusan beperan dan berbagi tanggung jawab. 

Kemenkes sudah menerbitkan Kepmenkes 625/2010 tentang Remunerasi di RS. Di sana masih ada ruang untuk variasi, dan justru itu lebih tepat karena sekali lagi sebenarnya proses pembagian jaspel merupakan wilayah internal RS. Bila aturan itu terlalu rinci dan kaku, justru membuat repot. Kurang lebih sama dengan diskusi hangat soal Permenkes 21/2016 saat ini: tidak mungkin menerapkan aturan yang sama di semua wilayah dan semua faskes. 

Di luar Kepmenkes, ada beberapa model remunerasi yang dikembangkan. Masing-masing menawarkan model yang juga tetap harus diakomodasi dan diadaptasikan di tempat masing-masing. Ada juga yang menawarkan kombinasi, termasuk dengan menggunakan usulan PB IDI tentang proporsi jasa medis antar spesialis sebagai perbandingan poin agar lebih mendekati harapan. Walaupun tentu saja, besaran sebagaimana usulan PB IDi, belum tentu bisa dicapai. Tetapi minimal proporsi perbandingannya sudah masuk dalam perhitungan. 

Poin pentingnya, sistem remunerasi memang masih terus mencari bentuk, dan jelas bahwa masing-masing Faskes akan memiliki keunikan sendiri. Dalam proses mencari yang semakin sesuai itulah, sangat diperlukan saling keterbukaan. Proses perbaikan juga selalu membutuhkan "pengorbanan" karena merubah sistem remunerasi yang akan diterapkan di sebuah faskes, tidak seperti kita merubah resep masakan di warung. Perubahan resep itu langsung akan berpengaruh dan berefek pada hari itu. Namun perubahan sistem remunerasi di sebuah faskes bergerak simultan dengan proses yang terus berjalan. Karena itu, selalu ada ruang yang mengharuskan pengorbanan dan pengertian dari seluruh yang ada di faskes tersebut. 

Harus kita akui, sejauh ini, suara-suara yang muncul lebih pada saling "meminta" tetapi belum banyak saling "memberi". Mari kita bergerak maju, mari bergerak saling mendekat. Untuk dapat saling mendekat, maka tentu diperlukan pemahaman dan kesepahaman. Untuk bisa menuju ke pemahaman yang sama, tentu saja diperlukan bekal pemahaman awal yang cukup dan mengikuti perkembangan. Untuk bisa paham dan mengikut perkembangan, berarti harus ada kesediaan untuk belajar dari awal. Tanpa itu, maka upaya saling mendekat tentu menjadi berat. 

Bila upaya saling mendekat itu masih berat, maka tidak jarang ujung-ujungnya kita lebih mudah mencari "pelampiasan sesaat" dengan menudingkannya ke banyak arah termasuk ke Program JKN maupun BPJSK sebagai penyebab masalah. Padahal dalam hal pembagian jaspel, seharusnyalah justru BPJSK tidak perlu turut campur dan jangan sampai turut campur. Biarlah itu tetap menjadi wilayah internal dalam rumah tangga faskes sebagai penyedia layanan. 

Mari Move On!

#SalamKawalJKN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun