Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Masih tentang Jasa Pelayanan di Era JKN

4 Juni 2016   08:51 Diperbarui: 4 Juni 2016   10:10 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

screen-shot-2016-06-04-at-08-23-52-57522db1df22bdb1038b456a.png
screen-shot-2016-06-04-at-08-23-52-57522db1df22bdb1038b456a.png
Dengan aturan itu, masih sering terdengar keluhan dan permintaan agar pembagian jaspel itu juga dibakukan dalam aturan yang rinci. Seandainya hal itu dipenuhi, akankah juga terjadi kegaduhan seperti saat ini dengan terbitnya Permenkes 21/2016 bagi FKTP? 

Terhadap diskusi soal jaspel di RS ini, ada dua komentar menarik di media sosial. Komentar pertama, menyampaikan bahwa sebenarnya memang ada variasi penerimaan jaspel di RS pada era JKN ini:

screen-shot-2016-06-04-at-08-31-08-57522f7361afbdfe0e578075.png
screen-shot-2016-06-04-at-08-31-08-57522f7361afbdfe0e578075.png
Komentar ini mengawali diskusi hangat, sampai kemudian ada komentar lain yang juga menarik:

screen-shot-2016-06-04-at-08-30-34-57522f8e6723bdef049d1502.png
screen-shot-2016-06-04-at-08-30-34-57522f8e6723bdef049d1502.png
Ada yang menarik bahwa sebenarnya ada peluang dirasakannya pembagian jaspel yang lebih nyaman bagi para pihak. Hanya memang ada beberapa poin penting dari diskusi tersebut bahwa:

1. Era dan paradigma sudah berubah: dari era FFS ke Prospective Payment. Ini kenyataan, ini regulasi, ini kesepakatan nasional. Lebih baik kita juga harus berubah dan lebih menguasai perubahan paradigma itu daripada terjebak dalam keterkejutan. Bila memungkinkan, kita harus LEBIH TAHU dan LEBIH DULU menguasai paradigma baru itu dibandingkan orang lain. 

Amanah Kendali Mutu dan Kendali Biaya bagi Dokter sudah tercantum eksplisit dalam UU Praktik Kedokteran 29/2004 mendahului terbitnya UU SJSN 40/2004. Jadi sama sekali tidak ada alasan mengatakan bahwa gara-gara JKN, Dokter jadi susah karena harus berpikir soal biaya. Apalagi "gara-gara BPJS". 

Artinya sejak awal memang sebenarnya Dokter dilekati kewajiban Kendali Mutu dan Kendal Biaya, baik ada atau tidak ada JKN sekalipun. Apalagi sekedar karena ada BPJSK. 

screen-shot-2016-06-04-at-07-59-56-5752305bd47a61c804b00623.png
screen-shot-2016-06-04-at-07-59-56-5752305bd47a61c804b00623.png
2. Kunci utamanya adalah KETERBUKAAN antara Manajemen dan Pemberi Layanan langsung (khususnya DPJP). Tanpa keterbukaan, maka yang muncul adalah saling curiga. Padahal kedua pihak sama-sama mendapat tantangan berat dengan perubahan paradigma. Tantangan itu makin berat kalau disertai rasa saling curiga. 

Klinisi mau tidak mau juga harus mau tahu tentang JKN, tentang Remunerasi, tentang indikator mutu klinik maupun indikator manajemen. Ini juga sudah ada sebelum ada JKN, sebelum ada BPJS. Mengapa harus mau tahu, karena kalau tidak, tentu sulit mengembangkan saling keterbukaan. Tentu harus diusahakan ada bahasa yang mendekati sama, ada standar dan indikator yang juga seharusnya menuju ke satu titik yang sama. Dengan demikian, bisa menjadi proses dialog, bukan proses saling menuntut. 

screen-shot-2016-06-04-at-08-36-07-5752309361afbd990e578092.png
screen-shot-2016-06-04-at-08-36-07-5752309361afbd990e578092.png
3. Remunerasi sebagai pilihan, disadari masih terus mencari bentuk. Maka keterbukaan itu juga berarti terbuka untuk dilakukan revisi, penyesuaian dan perbaikan sistem remunerasi yang diterapkan. Sekali lagi, dalam hal ini, tetap harus prinsip saling: yaitu saling memberi, maupun saling menerima. Ada keharusan beperan dan berbagi tanggung jawab. 

Kemenkes sudah menerbitkan Kepmenkes 625/2010 tentang Remunerasi di RS. Di sana masih ada ruang untuk variasi, dan justru itu lebih tepat karena sekali lagi sebenarnya proses pembagian jaspel merupakan wilayah internal RS. Bila aturan itu terlalu rinci dan kaku, justru membuat repot. Kurang lebih sama dengan diskusi hangat soal Permenkes 21/2016 saat ini: tidak mungkin menerapkan aturan yang sama di semua wilayah dan semua faskes. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun