Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

BPJSK: Siapa yang Mengawasi?

2 Maret 2016   06:07 Diperbarui: 6 Maret 2016   06:56 1802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

[caption caption="Laporan Keuangan BPJS Kesehatan"][/caption]Beberapa topik "perdebatan" yang berulang kali muncul ketika membahas JKN berpusat pada beberapa hal seperti: katanya gaji Dirut BPJS 500 juta, mengapa pegawai BPJSK pakai InHealth, uangnya diivestasikan hilang 1 triliun di bursa saham, kok banyak kegiatan foya-foya dan topik-topik sejenisnya. Entah mengapa, setiap kali dibahas, setiap kali ditunjukkan bahan referensi bacaan, tetapi setiap kali pula topik-topik seperti itu berulang. Tidak jarang pula dilontarkan oleh para tenaga profesional kesehatan termasuk para dokter. 

Maaf, tradisi check and recheck serta merujuk pada referensi adalah tradisi luhur profesional kesehatan, terutama dokter. Mengapa tradisi itu seakan luntur ketika membahas soal JKN terutama soal BPJS? Mengapa pertanyaan-pertanyaan soal gaji itu berulang, seakan tidak sempat melacak dan menelusuri beritanya? 

Satu contoh kecil soal gaji Dirut BPJS 500 juta. Awalnya berita itu bersumber dari pemberitaan koran. Kemudian sudah dibantah oleh yang bersangkutan. Padahal yang diberitakan itu tentang BPJS Ketenagakerjaan. Tetapi nampaknya kita tidak sempat untuk menelusurinya, dan langsung saja menudingkannya bahkan berulang-ulang menudingkannya. Berita terkait untuk BPJSK adalah bersumber dari Ketua DJSN yang menyatakan "lebih besar dari era ASKES mengingat cakupan kerjanya memang lebih besar". Tapi juga tidak menyatakan berapa besarannya. 

Jadi berapa sebenarnya gajinya? Kalau ada yang memiliki referensi mohon ditunjukkan di sini. Hasil penelusuran penulis tidak mendapatkan data valid. Dari sumber di Kementerian keuangan, diperoleh informasi besaran gaji Dirut BPJSK pada kisaran 130 juta per bulan. Kalau ada yang memiliki informasi pembanding, mohon ditunjukkan di sini. Atau, adakah yang juga bisa menyatakan dengan valid berapa gaji dan penghasilan Direktur RS negeri kita masing-masing? Berapa gaji dan penghasilan Kepala Kantor kita masing-masing? Penulis merasa, hampir semua dari kita merasa jengah kalau harus menjawab secara terbuka berapa gaji dan penghasilan kita dalam posisi jabatan pemerintahan. Biasanya kita lebih nyaman menjawab "sesuai aturan" atau "silakan dilihat pada administrasi di kantor. 

Mengapa bertanya kepada Kemkeu? 

Karena Gaji Dirut, Gaji Pegawai, operasional termasuk kegiatan sosialisasi, pemberdayaan TKMKB, maupun penguatan faskes primer, bersumber dari Dana Operasional. Besaran dana operasional itu ditetapkan oleh Menkeu setiap tahunnya. Pertanggung jawaban pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan, harus diserahkan secara lengkap kepada Presiden dan DJSN paling lambat tanggal 30 Juni tahun berikutnya. Sedangkan ringkasan eksekutifnya ditampilkan di media cetak dan online nasional paling lambat tanggal 31 Juli tahun berikutnya. Hal itu diatur dalam Perprs 108/2013. Untuk tahun 2014, telah dilaporkan pada 5 Mei 2015 (rilis resmi dan bentuk grafisnya).

Disamping laporan tahunan, sesuai PP 84/2015, setiap bulan BPJSK harus melaporkan penggunaan uangnya kepada 4 lembaga: Kemenkes, Kemkeu, DJSN, dan OJK. Presiden bahkan bisa meminta laporan keuangan itu sewaktu-waktu. Dalam perjalanan sehari-hari, BPJSK juga selalu diawasi oleh beberapa lembaga baik internal (sesuai ketentuan dalam UU BPJS 24/2011) maupun eksternal. 

[caption caption="Siapa mengawasi BPJSK"]

[/caption]Logika sederhananya, kalau memang benar-benar ingin memastikan berapa gaji Dirut dan pegawai BPJSK, jelas sumbernya: Kemkeu. Bagaimana penggunaan uangnya, benarkah untuk foya-foya, apakah sudah efektif, jelas juga sumbernya: 4 lembaga yang menerima Laporan keuangan rutin setiap bulan. 

Harus dipahami juga bahwa "uang BPJSK" itu ada dua: Aset pengalihan dari era ASKES dan Dana Jaminan Sosial yang bersumber dari premi JKN. Aset pengalihan itulah yang boleh diinvestasikan. Sedangkan Dana Jaminan Sosial, tidak boleh diinvestasikan di bursa saham. 

[caption caption="Aset dan Investasi BPJSK"]

[/caption]Tidak tepat kalau kita selalu menghubungkan kegiatan-kegiatan  dan segala aktivitas BPJSK itu dengan "klaim belum lancar kok sudah berkegiatan macam-macam". Pertama, karena mereka punya sumber keuangan lain, sementara klaim itu murni dari Dana Jaminan Sosial. Kedua, karena jelas mereka harus melaporkan penggunaan uangnya kepada 4 lembaga. Mengapa kita tidak justru menuntut 4 lembaga itu yang menjelaskan hasil penilaiannya? Apakah kita lebih puas kalau BPJSK sendiri yang melaporkannya?

Lantas, kenapa kok masih banyak masalah dalam JKN? Kok antrinya lama? Kok mencari kamar susah? Kok banyak salah data KIS? Kok begini kok begitu.... 

Pelaksanaan JKN mendapatkan Monitoring dan Evaluasi (Monev) dari beberapa lembaga. Lebih tepat bila kita mengajukan pertanyaan kepada lembaga tersebut sehingga jelas ranah kewenangan dan tanggung jawabnya. 

[caption caption="Monev dalam JKN"]

[/caption]Satu contoh yang sering menjadi topik: rujukan berjenjang. Jelas bahwa sebenarnya kewenangan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan rujukan berjenjang adalah pada Dinkes dan Organisasi Profesi (OP). Dinkes pada peta kapasitas layanan, sedangkan Organisasi Profesi pada peta kompetensi dan ketersediaan SDM. Jadi sebenarnya sama sekali bukan pada BPJSK. Tapi kok di lapangan diatur oleh BPJSK? Jangan biarkan. Mari kita buktikan bahwa Dinkes dan OP sanggup mengatur dan melaksanannya. 

Topik turunannya soal 155 diagnosis yang sering salah kaprah. Dasarnya adalah Permenkes 5/2014 (sedang menunggu revisinya yang bahkan menambah sampai 180an diagnosis). Pelaksanaannya, sekali lagi, menjadi kewenangan Dinkes dan OP setempat untuk mengaturnya. Mengapa kesannya BPJSK yang mengatur? Karena mereka diharuskan efektif dan efisien oleh Undang-undang. Tetapi tetap saja, bagaimana pelaksanaannya: kembali ke Dinkes dan OP setempat. Jangan biarkan BPJSK yang mengaturnya. Caranya? Ya kita buktikan bahwa kita sanggup mengaturnya. 

Dengan semua ini, sama sekali penulis tidak bermaksud membela BPJSK. Justru bisa dilihat dalam beberapa paragraf, penulis menegaskan bahwa kewenangan itu tidak pada BPJSK. Kita yang harus lebih berdaya menunjukkan bahwa kita sanggup mengaturnya. Pernyataan seperti ini tidak tanggung-tanggung sudah penulis nyatakan langsung di depan Dewan Direksi BPJSK tanggal 3 Februari 2016 kemarin. Kalau di media sosial, sudah sejak JKN mulai, penulis menyampaikan prinsip-prinsip tersebut. 

Apakah berarti tidak ada kritik bagi BPJSK? 

Oh banyak. Banyak kritik kepada BPJSK, sesuai ranahnya. Soal kepesertaan (1, 2), proses verifikasi (1, 2, 3, 4, 5), soal akses ke remak medis oleh verifikator, soal dokter dan koding, lembaga DPM, adalah beberapa diantaranya. Mari kita kritik lebih jernih dan spesifik terhadap BPJSK.   

Lebih dari itu, penulis membela nalar logika kita. Jangan hanya berhenti pada persepsi, apalagi persepsi yang salah kaprah. Tradisi check-and-recheck serta merujuk pada referensi, mari tetap kita tegakkan ketika membahas tentang JKN terutama tentang BPJSK. Rujukannya tentu regulasi. Kalau terjadi disparitas antara regulasi dan implementasi di lapangan, kita kritik dan desak pihak-pihak sesuai ranahnya untuk memperbaikinya. Kita ajak dan desak BPJSK juga bersama-sama memperjuangkan perbaikan itu pada titik yang bersinggungan ranahnya. 

Misalnya soal tarif. Sesuai penjelasan pasal 11 UU BPJS 24/2011, Menkes menetapkan tarif setelah mendapat masukan dari BPJSK dan Asosiasi Faskes. Mari kita ajak dan desak BPJSK bersama-sama menyuarakan soal tarif. Dari sisi kita, mari kita berikan data yang mendekati sebenarnya kepada Kemenkes melalui aplikasi INA-CBGs setiap kali mengajukan klaim. Dari sisi BPJSK, kita minta masukan berbasis analisis utilitas di lapangan. Forum atau wadah legal untuk menjembataninya bagi Faskes dan OP ada di TKMKB. Mari kita berdayakan TKMKB, lepas dari diskursus soal regulasi pembentukannya yang memang masih belum sesuai harapan. Seharusnya TKMKB itu dibentuk oleh Kemenkes agar lebih mudah menempatkan diri. Tetapi apapun, itu wadah formal dan legal. Kita yang seharusnya memberdayakanya, jangan sampai justru kita merasa "dikendalikan" oleh BPJSK. Memang it takes two to tango.

Memang, sekedar memahami regulasi jelas tidak serta merta memberi solusi. Tetapi memahami regulasi jelas menjadi bekal berharga, bahkan seandainya nantipun harus menempuh jalan revolusi. 

Mari! 

#SalamKawalJKN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun