Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Suara Hati Dokter: Mau Dibawa Kemana Hubungan Kita

26 Januari 2016   17:49 Diperbarui: 26 Januari 2016   18:15 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karena adanya kasus ini, muncul kekhawatiran pada sejawat-sejawat dokter yang dikirim ke daerah tersebut. Apakah mereka harus ditarik agar tidak bertabrakan dengan yurisprudensi kasus dr Ayu? Lantas, bagaimana pelayanan pasien di sana? Mohon kiranya kepada para ahli hukum untuk dapat memantapkan hati para dokter, bagaimana seharusnya kami bertindak?

Hal lain adalah soal “tanda tangan karangan” pada surat persetujuan tindakan. Setelah membaca naskah keputusan PN Manado maupun MA yang penulis peroleh dari situs resmi, disebut bahwa tanda tangan pada surat persetujuan di kasus Dr Ayu itu adalah “karangan”. Dasarnya tidak sesuai dengan tanda tangan pada KTP, Kartu Askes dan Slip pengambilan uang di bank. Regulasi menyebut bahwa selama pasien dalam keadaan sadar dan bisa berkomunikasi, maka persetujuan harus diperoleh langsung dari pasien. Sulit penulis bayangkan, dalam keadaan menahan sakit, dan posisi berbaring, akan bisa melakukan tanda tangan secara sempurna.

Para dokter menjadi khawatir sekarang. Saat ini, form informed consent terbagi menjadi 2 bagian. Pertama tetang pemberian penjelasan. Kedua tentang persetujuan maupun penolakan tindakan. Pada kedua bagian, disertakan tanda tangan yang memberikan persetujuan, maupun 2 orang saksi. Bagaimana agar menjadi benar dan tidak berisiko? Mohon kiranya para pakar hukum berkenan memberikan penjelasan seperti apa cara yang memenuhi standar, agar ke depan tidak perlu lagi dituding melakukan pemalsuan tanda tangan surat persetujuan. Apakah harus seperti persetujuan akad kredit yang berlembar-lembar dengan tulisan huruf kecil-kecil, ditempel materai, dan setiap halaman diberi paraf/tanda tangan?

Terkait dengan upaya mediasi, maupun penggantian kerugian, sudah banyak dibahas pada artikel oleh Agung Pambudi, seorang Advokat (Solopos, 30/11/2013). Disebutkan di sana bahwa bila terbukti terjadi suatu kelalaian, maka memang tidak ada unsur pidana. Penyelesaiannya melalui Peradilan Khusus Sengketa Medis. Dengan demikian, diperoleh putusan yang berkeadilan bagi semua pihak.

Tentu saja dalam hal ini, penilaian terhadap terjadinya kelalaian dokter adalah oleh MKDKI sesuai amanat UU Praktek Kedokteran no 29/2004. Hal ini adalah mekanisme yang wajar dalam banyak organisasi profesi. Barangkali sama dengan kritik terhadap kasus dimana pilot dipersalahkan pada kasus kecelakaan pesawat. Atau juga kurang lebih ini sama dengan dengan mekanisme di kalangan pewarta bahwa “Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers” (www.dewanpers.or.id). Penulis, maaf, tidak mendapatkan penjelasan pasti untuk kasus seperti pada Dr Ayu ini, apakah juga ada mekanisme penilaian serupa terhadap hakim di PN Manado yang sesuai naskah keputusan MA dianggap melakukan kesalahan penerapan hukum.

Satu hal yang pasti, komunikasi antara dokter dan pasien, telah lama menjadi perenungan kita. Relasi dokter pasien, sebagaimana digambarkan Dr Prastyadi Mawardi (Solopos, 27/11/2013) memang  menyimpan “gunung es” masalah, walaupun sangat mungkin bukan dimaksudkan sebagai malpraktik. Bahkan akhir-akhir ini seolah meluas menjadi antara dokter dengan aparat penegak hukum, maupun dokter dengan awak media. Suatu kondisi yang jelas sangat merugikan bagi kedua pihak, maupun bagi masyarakat.

Penulis sendiri menggambarkan hubungan itu sebagai “benci tapi rindu”. Sebenarnya saling membutuhkan, tetapi juga terkesan saling curiga. Kondisi itu berkepanjangan, sehingga makin jauh jaraknya. Akibatnya, pasal-pasal regulasi yang memang harus kaku itu, diterjemahkan menjadi semakin kaku karena ketegangan hubungan antar para pihak. Semoga kasus dr Ayu dkk ini membuka mata kita bersama. Banyak masalah dalam hal kedokteran dan pelayanan kesehatan, yang akan makin merenggakan hubungan kalau tidak justru diungkap agar diketahui dan diperjuangkan bersama.

Bila itu tidak bisa kita perbaiki dan kawal bersama, entahlah, mau dibawa kemana hubungan kita?

(Solopos, 4 Desember 2013). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun