Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Suara Hati Dokter: Mau Dibawa Kemana Hubungan Kita

26 Januari 2016   17:49 Diperbarui: 26 Januari 2016   18:15 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun ada penjelasan atas pasal tersebut dalam dokumen yang menyatu dengan UU dimaksud. Disebutkan dalam penjelasan pasal 45 ayat 1 bahwa “Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah  memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan”. Barangkali hal ini belum sempat terbahas pada artikel terdahulu tersebut. Secara rinci, hal ini juga disebutkan dalam Pasal 4  Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran no 290/2008 bahwa “Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran”.

Dari sudut pandang institusi, hal ini juga diperkuat pada pasal 45 ayat 2 UU Rumah Sakit no 44/2009 bahwa “Rumah Sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia”. Sebaliknya, bila sampai dokter dan/atau rumah sakit sengaja tidak mau memberikan pertolongan pertama pada pasien yang dalam keadaan gawat darurat, maka ancamannya adalah pidana (Pasal 190 UU Kesehatan no 32/2009). Hal ini menjadikan serba salah. Bagaimana seharusnya para dokter bertindak dalam kondisi seperti ini? Berikut ada contoh kasus nyata, baru-baru ini saja terjadi, setelah maraknya kasus Dr Ayu.

Kejadian ini di sebuah pinggiran kota di pulau Jawa, bukan di pelosok. Malam itu ada seorang pasien hamil diantar ke sebuah RS dengan kondisi kejang-kejang. Diantar oleh mobil ambulans, sedangkan keluarganya dilaporkan akan menyusul. Kondisi pasien gawat, janinnya sudah menunjukkan tanda-tanda depresi (gawat janin).

Seharusnya dilakukan operasi cito (segera, tanpa direncanakan sebelumnya). Namun, para dokter yang bertugas tidak berani bertindak, sebelum keluarganya datang. Selama menunggu, dicoba dilakukan pemeriksaan EKG dan foto rontgen karena bercermin pada kasus di Manado. Tetapi ternyata sulit dilakukan karena kondisi pasien kejang.

Bila diberi obat anti kejang, justru itu bisa membahayakan. Setelah ditunggu-tunggu dengan penuh kecemasan, baru 2 jam kemudian, suaminya datang. Apa yang terjadi? Suami pasien marah-marah mengapa istrinya ditelantarkan tidak segera dioperasi.  Bagaimana seharusnya dokter bertindak dalam hal ini?

Masalah kedua yang menarik adalah soal kompetensi dan kewenangan. Disebutkan bahwa Dr Ayu dkk dinilai tidak memenuhi unsur kompetensi dan kewenangan. Dalam naskah keputusan PN Manado dan MA, yang penulis dapatkan dari situs resmi, diketahui bahwa status Dr Ayu dkk saat kejadian adalah residen atau peserta didik. Karena itu dinilai dalam putusan MA sebagai tidak berwenang karena belum Dokter Spesialis dan tanpa pendampingan. Bahkan ssebuah koran nasional terbitan tanggal 28 November 2013 di halaman depan menulis judul “SIP Dr Ayu palsu” .

Memang betul bahwa setiap dokter harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Ijin Praktik (SIP) sebelum menjalankan praktik (UU Praktek Kedokteran no 29/2004). Dalam hal sebagai peserta didik, maka yang harus ada dan menjadi kewajiban pribadi adalah STR sebagai Dokter Umum karena posisinya sedang belajar menjadi Dokter Spesialis. Untuk itu, penyelenggara pendidikan mengusulkan kepada Dinas Kesehatan setempat untuk menerbitkan SIP Kolektif yang berlaku di RS Pendidikan dan/atau jejaringnya selama yang  bersangkutan dalam pendidikan (Pasal 7 Permenkes tentang Izin Praktik Kedokteran no 512/2007).

Kompetensi yang dimiliki seorang peserta didik, dinilai dan ditentukan sesuai aturan Kolegium (Dewan Pakar) masing-masing bidang spesialisasi. Semakin tinggi kelasnya dalam pendidikan, makin lengkap tingkatan kompetensinya. Dalam kasus Dr Ayu, sebelum kejadian tahun 2010 tersebut, yang bersangkutan telah melakukan lebih dari 100 kali operasi sesar tanpa timbul masalah berarti (berdasarkan naskah keputusan PN Manado). Sesuai penjelasan, yang bersangkutan memang sudah pada tahap mandiri. Artinya sudah dinilai mampu melaksanakan tindakan tersebut tanpa pendampingan, walaupun tetap harus melaporkan kepada pembimbingnya.

Kalaupun misalnya memang benar bahwa SIP bagi Dr Ayu dkk belum diterbitkan, maka hal ini bukan merupakan klausul pidana. Memang pasal 75, 76 dan 79 UU Praktek Kedokteran no 29/2004 mengandung unsur pidana terkait tidak adanya SIP. Namun, terhadap hal itu telah dilakukan Judicial Review pada tahun 2007. Keputusan MK menyatakan bahwa unsur pidana terkait pasal-pasal tersebut, tidak lagi mengandung kekuatan hukum (Keputusan MK No 4/PUU-V/2007). Tugas tentang SIP bagi peserta didik adalah kewajiban penyelenggara pendidikan dan Dinas Kesehatan setempat.

Aturan tersebut pula yang dirujuk pada kasus Dr Ayu karena kejadian tahun 2010. Pada tahun 2011, ada perbaruan aturan dimaksud dengan Permenkes no 2052/2011. Perubahannya secara prinsip tidak mengubah terkait SIP bagi peserta didik, karena yang ditambahkan adalah tentang SIP bagi Dokter yang secara khusus ditugaskan ke RS daerah sebagai Tenaga residen calon spesialis maupun Dokter Internship. Memang di banyak daerah pelosok, sangat kekurangan tenaga dokter spesialis.

Akhirnya Kemkes mengambil kebijakan bahwa residen yang sudah dinilai kompeten, dikirim ke daerah untuk melaksanakan tugas pelayanan dokter spesialis. Pegangannya adalah Surat Tugas dari Kemkes dan persetujuan dari Dinas Kesehatan setempat.  Tentu saja, dalam banyak kasus, mereka bekerja tanpa didampingi oleh Dokter spesialis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun