Beberapa saat lalu juga muncul berita dalam koran nasional bahwa kalau BPJS dilaksanakan dokter bisa memperoleh 924 juta per tahun. Padahal kalau diuraikan secara rinci, angka 19.225 rupiah itu adalah angka premi untuk per jiwa, bukan untuk dokternya saja. Jatah untuk kapitasi dokter masih belum final. Maksimal kalau mengikuti patokan layanan dari asuransi kesehatan pemerintah yang sekarang berjalan, maka angka kapitasi di kisaran 6 ribu rupiah.
Dari angka itu, maksimal yang bisa diperoleh sebagai jasa dokter untuk setiap pasien adalah 44% nya. Betul, hanya sekitar 2500 rupiah. Mohon kiranya dapat dibantu merenung untuk dibandingkan dengan restribusi parkir di zona A, tanpa berarti meremehkan pekerjaan saudara-saudara kita yang bertugas di sana. Salahkah kalau penulis dan teman-teman dokter berharap, bahwa pemberitaan semacam itu dapat lebih jernih disampaikan?
Hal kedua yang menjadi kritik dari artikel terdahulu adalah klaim bahwa dokter tidak pernah berniat buruk dan dokter tidak pernah salah. Sebagaimana komunitas profesi lainnya, pasti ada dokter yang tidak menjalankan profesi dengan benar. Sama dengan adanya hakim yang “menjual pasal”, polisi yang minta suap, pengacara yang bermain perkara, jaksa yang tersandung korupsi, wartawan “bodrek”, akuntan nakal, notaris menyalahgunakan sertifikat, insinyur konsultan proyek melakukan mark-up, dosen menjual jasa penyusunan tugas akhir atau peneliti yang plagiat. Tetapi penulis yakin, masih jauh lebih banyak para anggota profesi itu yang tetap berusaha lurus menjalankan profesinya, tanpa niat jahat. Pasti ada perasaaan tidak terima dan berontak, kalau ada penilaian buruk terhadap profesi akibat adanya oknum anggotanya yang tidak profesional. Begitu juga dengan dokter. Dalam bingkai itulah, penulis juga yakin bahwa dokter yang benar, pasti tidak pernah berniat buruk kepada pasiennya. Apakah salah keyakinan penulis yang demikian?
Apakah dokter tidak pernah salah? Dulu sekali barangkali berkembang dalam masyarakat bahwa “dokter itu tidak pernah salah”. Jadi justru itu berkembang di masyarakat. Namun sejak era Voltaire (1694-1778) sekalipun, sudah disadari bahwa dokter itu pun berisiko melakukan kesalahan karena luasnya masalah yang dihadapi. Tentu saja kesalahan yang tidak disengaja. Semua itu didasari kenyataan bahwa “medicine is a science of uncertaintity and art of probabilities” (William Osler, 1849-1919) yang mendasari era Evidence-based Medicine (Terapi berbasis bukti).
Sejak era 2000an, semakin berkembang paradigma patient safety (keselamatan pasien) dalam layanan kedokteran. Dalam konsep itu, justru sangat dipahami bahwa to err is human (melakukan kesalahan tanpa sengaja itu adalah manusiawi). Karena itu dikampanyekan untuk to build a safer system (membangun sistem yang lebih aman). Jelas disadari bahwa dokter bukanlah dewa yang tidak pernah salah. Dengan sistem yang baik, maka risiko kesalahan yang memang manusiawi itu, bisa diluruskan.
Terjadinya hal yang tidak diharapkan dalam pelayanan kesehatan, terbagi atas Kejadian Potensial Cedera, Kejadinan Nyaris Cedera, Kejadian Tidak Diharapkan dan Sentinel. Berturut-turut semakin berat implikasinya, namun juga berturut-turut makin kecil frekuensinya. Bila terjadi hal-hal itu, maka harus dilakukan penelusuran akar masalah (root cause analysis) dan dilaporkan kepada Komisi Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KPKRS) Kementerian Kesehatan. Dasarnya adalah Pasal 43 UU Rumah Sakit no 44/2009, diperjelas dalam Permenkes tentang Keselamatan Pasien no 1691/2011.
Tujuan dari pelaporan secara nasional itu adalah agar menjadi pelajaran sehingga tidak terulang. Tidak semua kejadian itu menimbulkan kerugian bagi pasien. Bisa jadi juga “kelalaian” itu terjadi akibat keterbatasan kondisi setempat, maupun batasan dalam regulasi asuransi. Justru dengan sistem yang semakin baik, semakin kecil kerugiannya, semakin jarang kejadiannya. Tanpa menghilangkan tanggung jawab personal, tujuan mencari akar masalah adalah memperbaiki sistem agar “kelalaian” itu tidak terulang.
Adanya unsur kesengajaan dalam terjadinya kesalahan oleh dokter, sudah pasti harus ditindak. Hal ini misalnya diatur dalam Pasal 190 UU Kesehatan no 36/2009. Untuk hal seperti ini, tentu tidak layak dokter kalau sampai demo. Contoh nyata, bulan Maret 2013 kemarin ada keputusan MA yang memvonis seorang dokter akibat kelalaian sehingga perawat yang diberi instruksi memberikan obat, melakukan kesalahan dan berakibat meninggalnya pasien. Mohon dikoreksi kalau penulis salah mengingat, bukankah saat itu sama sekali tidak ada reaksi negatif dari dokter, apalagi sampai demo?
Sedangkan unsur kelalaian oleh dokter, diatur dalam UU Praktek Kedokteran no 29/2004, UU Kesehatan no 32/2009 maupun UU Rumah Sakit no 44/2009, tidak mengandung unsur pidana. Penilaiannya diberikan wewenang kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (pasal 55-65 UU Praktek Kedokteran no 29/2004).
Untuk diketahui, MKDKI ini bersifat otonom dengan keanggotaan terdiri dari 3 (tiga) orang dokter dan 3 (tiga) orang dokter gigi dari organisasi profesi masing-masing, seorang dokter dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3 (tiga) orang sarjana hukum (pasal 55). Dengan demikian, salahkah bila penulis merasa bahwa sinyalemen “MKDKI itu tidak obyektif” adalah tidak pada tempatnya?
Hal berikut yang dikritik dalam artikel terdahulu adalah alasan mengapa diputuskan terjadi malpraktik dalam kasus Dr Ayu dkk. Penulis menyadari sangat kurang pengetahuan soal hukum, sehingga memilih tidak membahas secara khusus kasus tersebut. Pertama soal persetujuan tindakan. Penulis artikel terdahulu merujuk pada pasal 45 ayat 1 UU Praktek Kedokteran no 29/2004. Disebutkan bahwa setiap tindakan yang berisiko tinggi harus diberikan persetujuan tertulis yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Penulis yakin, tidak ada dokter yang membantah isi pasal tersebut.