Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dokter dan Koding

25 Januari 2016   04:34 Diperbarui: 30 Januari 2016   20:55 5034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya masih harus banyak banyak belajar soal koding dalam kaitannya dengan rekam medis maupun INA-CBGs. Namun, ada dua kalimat yang sering membuat Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) meradang. Pertama, kalau dikomentari "Dok, diagnosis utamanya bukan yang itu". Kedua, kalau dikomentari "diagnosis sekunder ini jangan ditulis". 

Kalimat pertama muncul karena ada beda konsep. Dalam konsep INA-CBGs, diagnosis utama adalah yang menimbulkan biaya terbesar dan/atau masa rawat inap paling lama. Pemahaman ini tidak selalu selaras dengan konsep diagnosis utama bagi klinisi. Tentu saja, mudah terjadi ketegangan karena hal ini. Kalimat kedua muncul ketika ada beda pendapat bahwa "tidak usah ditulis Dok, wong tidak pengaruh ke klaim". Mudah dipahami bahwa kedua kalimat ini menimbulkan ketegangan. Ujungnya mudah saling curiga. Efeknya? Pelayanan yang menjadi tidak lancar, karena ada rasa tidak nyaman.  

Sebenarnyalah memang ada beda konsep yang dipertemukan di satu titik. Akibatnya mudah berselisih paham. Harus dibedakan antara ranah klinis-medis dengan ranah koding-administrasi klaim. Dalam ranah klinis-medis, diagnosis utama merujuk pada patofisiologi kasus, yaitu yang menjadi dasar dari kasus pasien. Diagnosis itu bisa bergerak dinamis sesuai perkembangan kondisi pasien, untuk kemudian diputuskan setelah diperoleh data-data meyakinkan. Patokannya adalah konsep ilmiah. Demikian juga dalam hal menentukan tindakan atau prosedur utama dan prosedur sekunder. 

Di sisi lain, koding (coding) adalah upaya menjembatani diagnosis dan tindakan secara klinis-medis dengan kode grouper aplikasi INA-CBGs. Selanjutnya berdasarkan kode tersebut, ditentukan besaran klaim. Diagnosis utama dalam kepentingan ini didefinisikan sebagai: (a) Diangosis yang paling berbahaya atau mengancam kehidupan, (b) Diagnosis yang paling banyak membutuhkan sumber daya pelayanan, dan/atau (c) diagnosis yang menyebabkan masa perawatan paling lama. Terasa memang bahwa tidak jarang ada kesenjangan diantara dua konsep itu. Begitu pula, tindakan atau prosedur utama adalah tindakan yang berhubungan dengan diagnosis utama. Seterusnya juga tindakan sekuder mengikuti diagnosis sekunder. 

Secara umum, tidak banyak hambatan mempertemukan keduanya. Tetapi pada beberapa hal, sangat terasa jarak antara keduanya. Akhirnya muncul kalimat pertama "Dok, bukan itu diagnosis utamanya". 

Memaksa para DPJP "mengikuti" rumusan definisi ranah koding secara kaku, tentu saja menimbulkan ketidak nyamanan bahkan bisa sampai ke tingkat "kesalahan" secara kacamata ilmiah. Sebaliknya, memaksakan konsep "ilmiah" itu ke ranah koding, juga menimbulkan masalah dari tingkatan kesulitan koding, sampai ke soal inefisiensi dari sisi pembiayaan pelayanan. 

Inilah salah satu masalah yang paling banyak dikeluhkan pada awal-awal berjalannya JKN. Apalagi di masa-masa awal saat kita masih meraba-raba karena memang regulasi juga belum jelas. Karena itulah, perlu ada yang menjembatani diantara kedua konsep itu agar menimimalkan perbedaan pendapat. Beberapa langkah yang bisa ditempuh:

1. Menyepakati untuk bersama-sama mentaati penulisan diagnosis dan tindakan sesuai ICD-X dan ICD-9 sehingga memudahkan saling pemahaman antara DPJP dengan staf bagian koding. 

2. Menyepakati untuk bersama-sama mematuhi ketentuan tata cara penulisan dan pengelolaan rekam medis sehingga mengurangi risiko timbulnya salah komunikasi termasuk "salah baca". 

3. Mendorong peran sentral dan signifikan Sejawat bidang Rekam Medis dan Informasi Kesehatan dalam melakukan kerja profesionalnya yang tidak sekedar "tukang simpan RM". Banyak hal yang bisa dilakukan secara profesional, yang biasanya terhambat oleh cara penulisan dan pengelolaan berkas RM. 

4. Menempatkan tenaga medis di Bagian RM dan Koding untuk menjembatani masih adanya kesulitan komunikasi. Keberadaan tenaga medis ini minimal untuk fase awal, kemudian dapat diubah menjadi konsultan jarak jauh bila Tim Koding sudah lebih mampu. 

Yang jelas harus dipahami, DPJP tetap harus berlandaskan prinsip ilmiah dalam penentuan diagnosis dan tindakan. Soal nanti "diterjemahkan" sebagai kode INA-CBGs adalah ranah lain yang juga sudah ada klausul maupun aturannya. Membenturkan diantara keduanya, tidak akan menambah kebaikan, malah bukan tidak mungkin menjadikan beban masalah. 

Satu pesan penting: soal JKN, soal BPJSK, soal koding, sebenarnyalah adalah soal PELAYANAN MEDIS sebagai intinya. Sama sekali tidak bisa direduksi - atau seolah dimonopoli - sebagai "Urusan orang keuangan". Soal pengelolaan keuangan jelas adalah masalah penting. Tetapi tidak sedikit yang terjebak pada kenyataan bahwa "urusan uang" ini dibiarkan menjadi pengendali dan pengontrol terlalu banyak hal, sampai ke ranah pengelolaan pelayanan medis. 

Hal itu semakin mengemuka, ketika pada perjalanannya, mulai ada penataan terkait proses koding ini. Pada awal pelaksanaan JKN, para koding dan manajemen RS "menemukan kecenderungan" bahwa setiap penambahan diagnosis sekuder dan tindakan sekunder, akan merubah kode group dan menambah besaran klaim. Akibatnya, tanpa sadar ada yang terjebak untuk "Dok, dicari lagi Dok, ditambah yang sekundernya". 

Namun dalam perjalannya, dengan terbitnya Permenkes 27/2014,  logic system aplikasi INA-CBGs diperbaiki sehingga ada proses seleksi sehingga tidak semua penambahan diagnosis dan tindakan sekunder, akan memperbesar klaim. Justru lebih banyak yang tidak ada pengaruhnya terhadap besaran klaim. Akibatnya, muncul kalimat kedua "Dok, nggak usah ditulis, wong nggak nambah kok". 

Masih ditambah lagi juga munculnya ketegangan dengan verifikator, apalagi sejak adanya klausul "rekomendasi DPM". Kondisi ini muncul keluhan pada DPJP bahwa "verifikator itu apa haknya menyalah-nyalahkan diagnosis saya". Sependek saya memahami, tugas verifikator adalah memastikan bahwa proses koding berjalan sesuai regulasinya. Dasar analisisnya adalah resume medis (bukan Rekam Medis). Namun dalam Panduan Teknik Verifikasi memang ada klausul untuk boleh membuka RM bahkan bila perlu langsung ke bangsal. Ini yang perlu diluruskan. 

Bila memang ada yang dianggap tidak tepat dalam proses koding, sebaiknya verifikator berdiskusi dengan Tim Koding Internal RS. Catatan dari verifikator ditulis dalam lembar umpan balik, untuk menjadi bahan pertimbangan bagi Tim internal. Selanjutnya, tim tersebut yang bila dianggap perlu berkomunikasi dengan DPJP. Menghadapkan verifikator dengan DPJP sama-sama menimbulkan situasi yang tidak nyaman bagi keduanya. 

Mengapa tidak nyaman? Karena mudah menimbulkan perasaan telah terjadi "intervensi" terhadap kewenangan klinis bagi DPJP. Kondisi-kondisi ini, sama-sama harus diperbaiki. Tidak boleh dibiarkan karena pelayanan medis tetap harus pada standarnya. Harus ada yang mampu menjembatani diantara para DPJP, dengan para koder dan manajemen, semata agar tidak timbul salah paham. Adanya regulasi yang dirasa tidak pas, atau perbedaan pendapat yang tidak terselesaikan, ada jalurnya untuk disalurkan melalui Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya (TKMKB). Di dalam TKMKB lah perbedaan pendapat itu dibahas untuk didudukkan pada tempatnya. 

Mari bersinergi. 

(Ditulis 27 Juni 2015)

(Gambar dari Permenkes 27/2014 dengan modifikasi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun