Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dokter dan Koding

25 Januari 2016   04:34 Diperbarui: 30 Januari 2016   20:55 5034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang jelas harus dipahami, DPJP tetap harus berlandaskan prinsip ilmiah dalam penentuan diagnosis dan tindakan. Soal nanti "diterjemahkan" sebagai kode INA-CBGs adalah ranah lain yang juga sudah ada klausul maupun aturannya. Membenturkan diantara keduanya, tidak akan menambah kebaikan, malah bukan tidak mungkin menjadikan beban masalah. 

Satu pesan penting: soal JKN, soal BPJSK, soal koding, sebenarnyalah adalah soal PELAYANAN MEDIS sebagai intinya. Sama sekali tidak bisa direduksi - atau seolah dimonopoli - sebagai "Urusan orang keuangan". Soal pengelolaan keuangan jelas adalah masalah penting. Tetapi tidak sedikit yang terjebak pada kenyataan bahwa "urusan uang" ini dibiarkan menjadi pengendali dan pengontrol terlalu banyak hal, sampai ke ranah pengelolaan pelayanan medis. 

Hal itu semakin mengemuka, ketika pada perjalanannya, mulai ada penataan terkait proses koding ini. Pada awal pelaksanaan JKN, para koding dan manajemen RS "menemukan kecenderungan" bahwa setiap penambahan diagnosis sekuder dan tindakan sekunder, akan merubah kode group dan menambah besaran klaim. Akibatnya, tanpa sadar ada yang terjebak untuk "Dok, dicari lagi Dok, ditambah yang sekundernya". 

Namun dalam perjalannya, dengan terbitnya Permenkes 27/2014,  logic system aplikasi INA-CBGs diperbaiki sehingga ada proses seleksi sehingga tidak semua penambahan diagnosis dan tindakan sekunder, akan memperbesar klaim. Justru lebih banyak yang tidak ada pengaruhnya terhadap besaran klaim. Akibatnya, muncul kalimat kedua "Dok, nggak usah ditulis, wong nggak nambah kok". 

Masih ditambah lagi juga munculnya ketegangan dengan verifikator, apalagi sejak adanya klausul "rekomendasi DPM". Kondisi ini muncul keluhan pada DPJP bahwa "verifikator itu apa haknya menyalah-nyalahkan diagnosis saya". Sependek saya memahami, tugas verifikator adalah memastikan bahwa proses koding berjalan sesuai regulasinya. Dasar analisisnya adalah resume medis (bukan Rekam Medis). Namun dalam Panduan Teknik Verifikasi memang ada klausul untuk boleh membuka RM bahkan bila perlu langsung ke bangsal. Ini yang perlu diluruskan. 

Bila memang ada yang dianggap tidak tepat dalam proses koding, sebaiknya verifikator berdiskusi dengan Tim Koding Internal RS. Catatan dari verifikator ditulis dalam lembar umpan balik, untuk menjadi bahan pertimbangan bagi Tim internal. Selanjutnya, tim tersebut yang bila dianggap perlu berkomunikasi dengan DPJP. Menghadapkan verifikator dengan DPJP sama-sama menimbulkan situasi yang tidak nyaman bagi keduanya. 

Mengapa tidak nyaman? Karena mudah menimbulkan perasaan telah terjadi "intervensi" terhadap kewenangan klinis bagi DPJP. Kondisi-kondisi ini, sama-sama harus diperbaiki. Tidak boleh dibiarkan karena pelayanan medis tetap harus pada standarnya. Harus ada yang mampu menjembatani diantara para DPJP, dengan para koder dan manajemen, semata agar tidak timbul salah paham. Adanya regulasi yang dirasa tidak pas, atau perbedaan pendapat yang tidak terselesaikan, ada jalurnya untuk disalurkan melalui Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya (TKMKB). Di dalam TKMKB lah perbedaan pendapat itu dibahas untuk didudukkan pada tempatnya. 

Mari bersinergi. 

(Ditulis 27 Juni 2015)

(Gambar dari Permenkes 27/2014 dengan modifikasi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun