Dulu pertanyaan ini sudah sering muncul sejak lama. Sekira 2-3 hari lalu, di media sosial muncul perdebatan seputar bagaimana pertanggungan bila seseorang peserta BPJSK mengalami kecelakaan. Perdebatan itu menyiratkan seolah-olah "harus urus polisi dulu sebelum ditolong, bagaimana kalau terlanjur mati". Sebenarnya bagaimana? Saya tidak banyak tahu soal Asuransi Jasa Raharja maupun BPJS Ketenaga Kerjaan (BPJSTK). Jadi tulisan ini dari sudut BPJS Kesehatan (BPJSK).
 Kita coba jernihkan dulu. Saat ini, dengan kewajiban menjadi peserta BPJSK, maka dalam keadaan berlalu lintas, ada dua jenis pertanggungan asuransi: Jasa Raharja dan BPJSK. Dalam hal inilah ada azas koordinasi manfaat (Coordinating of Benefit atau CoB). Walaupun rincian teknis CoB ini masih dalam pembahasan, ada 3 ciri yang dipegang dalam penerapan CoB dalam era JKN ini:
1. Tidak boleh terjadi manfaat ganda. Artinya, tidak dibenarkan untuk satu kasus pada satu orang, mendapatkan pertanggungan lebih dari satu sumber (asuransi). Dasar pertama, asuransi yang berlaku umum dan wajib yaitu yang dikelola oleh BPJS. Dengan demikian, yang pertama dipertanggungkan adalah BPJSK, selanjutnya baru asuransi lain yaitu asuransi komersial. Artinya, bila masih terdapat selisih bayar setelah pertanggungan BPJSK, maka ditanggungkan ke Asuransi Komersial.Â
Lho, kok beda dengan kasus kecelakaan ini? Kita masuk prinsip kedua.
2. Hal yang berbeda bila menyangkut Asuransi Jasa Raharja yang juga sama-sama bersifat wajib (sesuai kondisi persyaratannya). Dalam hal kecelakaan lalu lintas, maka yang lebih dulu dipertanggungkan adalah yang dari Jasa Raharja. Baru kemudian bila masih terdapat kekurangan, akan dipertanggungkan sesuai mekanisme BPJSK. Karena itulah, perlu ada klarifikasi lebih dulu dari kepolisian sebagaimana ada dalam gambar terlampir (yang juga marak beredar di media sosial hari-hari ini). Bila sudah jelas bagaimana posisi pertanggungan dari Asuransi Jasa Raharja, barulah kemudian ditentukan bagaimana pertanggungan BPJSK.Â
Wah, merepotkan sekali, bagaimana kalau terlanjur mati?Â
Sebenarnya aturan soal Jasa Raharja itu sudah ada sejak tahun 1964 (UU 33 dan 34 tahun 1964). Hanya selama ini, kita cenderung kurang perhatian. Baru mengemuka lagi setelah era JKN. Tidak jarang, sebelum ini, ada yang diam-diam memanfaatkan situasi: sudah mendapat pertanggungan dari Askes atau Jamsostek, tetapi juga masih mengajukan klaim ke Jasa Raharja.Â
Bagaimana dengan BPJSTK?
Bisa terjadi, seseorang dalam kondisi perlindungan Jasa Raharja, BPJSK dan BPJSTK. Prinsip yang dipegang: Asuransi yang lebih khusus, menjadi penanggung pertama, baru kemudian yang bersifat lebih umum. Kalau kecelakaan terjadi dalam definisi Kecelakaan Kerja, maka penanggung pertama adalah BPJSTK. Kalau kecelakaan terjadi dalam ranah Asuransi Jasa Raharja, maka penanggung pertama adalah Jasa Raharja. Bisa terjadi dalam suatu kasus ekstrem, seseorang mendapat pertanggungan dari ketiganya.Â
Wah, bisa "bertumpuk" dong? Nanti dulu.
Harus dihindari pertanggungan ganda untuk satu jenis layanan.
3. Prinsip ketiga adalah komplementer. Bagaimanapun lengkapnya suatu asuransi sosial, tetap saja ada sesuatu yang tidak tercakup, atau terkecualikan. Dengan prinsip komplementer ini, diharapkan akan saling menutupi. Kalau memang suatu kejadian kecelakaan lalu lintas tidak bisa ditanggung dalam ranah asuransi Jasa Raharja, maka akan ditanggung dalam BPJSK. Atau masuk dalam ranah kecelakaan kerja yang memenuhi definisi dalam ranah BPJSTK. Dengan demikian, diharapkan bisa saling menutupi, sekaligus menghindari ada penumpukan manfaat ganda. Â
Khusus terkait Kecelakaan Kerja, Berdasarkan SE Direktur Pelayanan BPJSK, dinyatakan bahwa untuk Kecelakaan Kerja ditanggung sepenuhnya oleh Jaminan Kecelakaan Kerja (BPJS Ketenagakerjaan). Artinya tidak ada lagi CoB dengan BPJSK untuk kecelakaan kerja.
Lantas bagaimana di lapangan?Â
Bila terjadi kecelakaan, dua langkah dilakukan secara simultan. Pertama, melaporkan kepada polisi, sekaligus kedua, memberikan pertolongan pada pasien. Dalam hal ini, tentu berlaku prosedur-prosedur seperti penandaan lokasi dan kesiapan adanya saksi saat nanti polisi datang. Saya tidak banyak tahu soal prosedur ini, tetapi yang jelas, pertolongan secara medis tetap harus segera diberikan. Tentu akan lebih mudah mekanismenya bila proses pertolongan tersebut juga dilakukan sudah dalam kerangka penanganan oleh polisi.Â
Sampai di RS, pasien akan langsung dilayani, dalam status pembayaran sebagai pasien Jasa Raharja. Bila nanti akhirnya biaya perawatan melebihi plafon pertanggungan dari Jasa Raharja, maka selisihnya ditanggungkan sesuai mekanisme pertanggungan BPJSK.Â
Syaratnya adalah ada Laporan Poisi  (LP). Dalam hal kondisi belum sempat membuat laporan, maka diberi kesempatan maksimalÂ
Kalau dibawa ke IGD sebelum ada laporan polisi bagaimana?
Sesuai dengan UU Praktek Kedokteran 29/2004, UU Kesehatan 36/2009, UU RS 44/2009 maupun UU Tenaga Kesehatan 36/2014, maka  kewajiban Dokter, Tenaga Kesehatan lain, dan Rumah sakit untuk memberikan pertolongan kepada setiap orang dalam keadaan gawat daruarat. Dalam hal itu, tidak boleh ada hambatan karena soal prosedur keuangan atau apalagi meminta uang muka. Artinya secara ringkas, pelaporan setiap kejadian kecelakaan lalu lintas kepada polisi, tidak untuk menghambat pemberian pertolongan.Â
Karena kasus kecelakaan, maka pada saat datang atau dibawa ke IGD, akan mendapat status sebagai pasien Jasa Raharja, bukan pasien BPJSK. Selanjutnya, diharapkan pasien, keluarga dan/atau pihak yang mewakilinya, dapat mengurus pelaporan dan surat keterangan penjaminan dari Jasa Raharja. Waktu tenggang yang disediakan adalah 3x24 jam. Selama proses itu, pasien akan dirawat dalam status sebagai pasien Jasa Raharja.Â
Dalam perkembangannya, atas koordinasi yang baik antara Dinas Kesehatan, Kepolisian dan BPJSK, di beberapa daerah memperlakukan bahwa semua pasien kecelakaan yang datang belum atau tanpa adanya Surat Keterangan dari Kepolisian, maka berhak mendaftarkan diri dan dirawat dalam status BPJSK lebih dahulu. Baru kemudian pasien, keluarga dan atau yang mewakilinya, dapat mengurus ke kepolisian. Bila sudah jelas ada jaminan, maka penanggung akan beralih ke Jasa Raharja. Untuk itu, pasien harus menanda tangani pernyataan di awal tentang mekanisme tersebut.Â
Dalam klausul lain, bila sampai saatnya seorang pasien selesai dalam perawatan, tanpa atau belum ada jaminan dari Jasa Raharja, dan telah diproses dalam jaminan BPJSK karena dianggap bukan suatu kecelakaan. Bila di kemudian terbit surat jaminan dari Jasa Raharja, maka BPJSK yang akan menagihkan ke Jasa Raharja atas biaya klaim yang telah ditanggung oleh BPJSK.Â
Apakah semua kecelakaan ditanggung oleh Jasa Raharja? Saya tidak banyak tahu soal ini. Yang jelas bagi BPJSK, hanya mengkonfirmasi bahwa tidak ada pertanggungan ganda. Bahwa kecelakaan tunggal tidak termasuk ditanggung oleh Jasa Raharja, maka ada beberapa RS dan BPJSK sepakat meminta pasien yang datang ke IGD dengan kondisi kecelakaan untuk menanda tangani Surat Pernyataan bahwa yang terjadi adalah kecelakaan tunggal dan tidak ada jaminan dari Jasa Raharja.Â
Beberapa RS kemudian menggandeng BPJSK-JR-Polri setempat untuk membentuk Desk bersama sehingga memudahkan pengurusan LP dan Surat Jaminan dari JR bagi pasien-pasien dengan kLL. Langkah ini sangat perlu diapresiasi karena sangat membantu masyarakat.Â
Tentu, di lapangan, masih saja ada yang kurang tepat dalam pelaksanaan. Masih belum berjalan seperti yang diharapkan. Namun minimal, berusaha mengetahui duduk masalah, kemudian memahami regulasinya, untuk dapat mengawal pelaksanaannya, tetap lebih baik daripada tergesa-gesa mencemoohnya.Â
Mari bersinergi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H