Menjelang JKN 1 Januari 2014 lalu, kita sering mendengar iklan "layanan kesehatan gratis". Tetapi setelah berjalan, beberapa kali kita membaca ungkapan yang barangkali membingungkan. Ada yang menuliskan seperti "syukurlah, coba kalau tidak ada BPJS, saya harus membayar 22 juta". Bahkan ada yang menuliskan "2 bulan di PICU, 11 hari di ruangan.....255 juta, dan GRATIS tistiiissss....tiiisssssss..."Â Sebaliknya kita juga mendengar berita "biaya operasi transplantasi hati 1 M, BPJS hanya menanggung 250 juta". Juga bahwa "operasi pasang ring 80 an juta kok hanya ditanggung 20 an juta, baru bisa gratis kalau ke RS tipe A". Jagi bagaimana sebenarnya?
Pasal 19 UU SJSN 40/204 menyatakan bahwa JKN dibangun dengan prinsip asuransi sosial dan ekuitas. Tujuannya menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Apa bedanya dengan "asuransi komersial"? Asuransi sosial berprinsip nirlaba dan manfaat sebesar-besarnya bagi peserta (pasal 4). Agar dapat dijangkau dan mencakup sebanyak mungkin peserta, maka preminya harus "murah". Untuk itu, asuransi sosial mengandalkan "jumlah peserta yang banyak" sehingga dapat menerapkan prinsip gotong royong.Â
Dalam menerapkan soal tarif layanan bagi provider (pemberi layanan kesehatan), JKN menggunakan prinsip INA-CBGs (Indonesian Case-based Groups). Tarif terhadap suatu kasus dikelompokkan dalam satu grup yang sesuai perhitungan menggunakan sumber daya hampir sama. Namanya grup, maka terdiri dari beberapa kasus, dengan diagnosis yang berbeda-beda. Terhadap semua kasus dalam satu grup, tarifnya sama. Disamping itu, sepanjang saya dapat menganalisis, tarif antar grup juga memperhitungkan prevalensi (angka keseringan kejadian) antar grup.
Sebenarnya model JKN dengan INA-CBGs ini secara ukuran kecil sudah mulai dilaksanakan sejak 2008. Berangsur-angsur kemudian sampai terakhir disusun untuk JKN 2014. INA-CBGs disusun berbasis pola tarif di banyak RS yang dianggap menggambarkan rata-rata tarif pelayanan kesehatan. Untuk JKN 2014, digunakan data dari 160 RS baik milik pemerintah maupun swasta. Hasilnya disusun dalam 12 kelompok tarif, ditambah 7 tarif yang dipisahkan dari grup karena kekhususannya. Tarif tersebut juga membagi atas level of severity sebagai ringan, sedang dan berat. Selanjutnya, masih dibagi lagi berdasarkan regionalisasi wilayah Indonesia menjadi 5 regional berbasis pada perbandingan indeks harga konsumen.Â
Jadi katakanlah dalam 1 grup terdapat 10 jenis kasus, maka tarif bagi grup itu adalah rata-ratanya. Maka akan ada beberapa kasus yang "biaya sebenarnya" di atas rata-rata, dan sebagian yang lain di bawah rata-rata. Secara gampang, diharapkan ada "subsidi silang" dalam satu grup tersebut. Hasil penyusunan tarif tersebut dituangkan dalam Permenkes 69/2013 yang terakhir diperbarui pada 1 September 2014 dengan Permenkes 59/2014.Â
Kembali ke pertanyaan awal, apakah benar-benar "gratis"? Tentu saja tidak. Dari sisi pasien, perbedaan mendasar ketika masuk JKN adalah konsep pembayarannya. Dulu, pasien membayar secara out-of-pocket: ada pelayanan ada biaya. Sekarang, pasien membayar rutin premi bulanan, dan tidak perlu lagi membayar ketika membutuhkan pelayanan (prospective payment). Karena itulah, muncul kesan dan memang dikampanyekan bahwa dengan JKN itu pelayanan kesehatan menjadi gratis.Â
Jadi, RS tetap dibayar? Ya tetap dibayar. Sesuai biaya yang dikeluarkan? RS dibayar sesuai tarif INA-CBGs untuk kasus yang ditanganinya, bukan atas dasar berapa biaya yang telah dikeluarkan oleh RS untuk pelayanan tersebut. Pasien benar-benar tidak bayar? Ya begitu regulasinya. Dalam foto berikut ini, pasien "hanya" membayar Rp 240.000 untuk kebutuhan di luar medis bagi bayinya.Â
Sebagai contoh nyata saja, memang ada kasus dimana RS nampaknya "surplus":
Ceritanya, seorang pasien dirawat selama 2 hari. Dia naik kelas dari hak nya di kelas II ke kelas I. Seperti tertera dalam foto ini, RS mengeluarkan biaya sebesar Rp. 3.168.637 Sedangkan dari INA-CBGs mendapatkan klaim sesuai hak kelas pasien di kelas II sebesar Rp. 8.720.500 Sedang tarif INA-CBGs untuk kelas I pada kasus yang sama adalah Rp. 10.175.000 Maka kemudian RS meminta pasien tetap menambahkan urun biaya karena naik ke kelas I sebesar Rp. 1.934.500Â
Mengapa kok tetap ditarik urun biaya padahal RS sudah untung? Karena regulasinya memang demikian di Permenkes 28/2014: bila naik kelas sampai ke kelas I, maka pasien menanggung selisih tarif INA-CBGs antara kelas yang ditempati dengan hak kelasnya. Sedangkan bila naik ke kelas VIP, maka pasien menanggung selisih tarif VIP tersebut dikurangi tarif INA-CBGs hak kelasnya.Â
Tidak selalu memang naik kelas VIP itu harus "urun biaya". Kok bisa? Lha wong naik kelas I saja malah tombok kok? Karena bisa saja walau sudah ke kelas VIP, ternyata tarif INA-CBGs tetap lebih tinggi daripada tarif di RS. Jadi sesuai dan tergantung kasusnya, tidak bisa disamaratakan. Â
Prinsip dasarnya, harus efisien. Era sebelum JKN, ringkasnya: semakin lama dirawat, semakin banyak obat, semakin banyak tindakan, maka semakin besar juga "yang diterima". Tetapi dalam era JKN, justru harus efisiensi: memberikan yang memang dibutuhkan, merawat selama memang dibutuhkan. Hal ini untuk mengendalikan agar tidak terjadi "pemborosan".Â
Jawabannya tentu adalah efisiensi RS agar mendapatkan titik impas positif. Utilization Review (UR) sebagai metode analisisnya untuk mendapatkan gambaran efisiensi. Itulah tantangan berat bagi RS sat ini (dan panjang ceritanya soal ini).Â
Lantas bagaimana dengan kasus-kasus "besar" seperti transplantasi hati atau ginjal itu? Atau seperti yang disampaikan "masuk NICU 2 bulan habis 255 juta tapi gratis tis tis" itu? Sama saja. RS juga mendapatkan penggantian sesuai tarif INA-CBGs. Jadi bukan total sebesar itu. Maka tentu kita maklum bahwa untuk kasus-kasus seperti itu, biasanya didapatkan di RS pemerintah. Statusnya membuat ada tugas dari pemerintah untuk menangani walau dengan tarif INA-CBGs yang relatif "jauh". Tentu ada mekanisme lain bagi pemerintah untuk memberikan bantuan khusus karena kasusnya memang khusus. Karena itu, penanganan kasus-kasus khusus seperti itu, sebaiknya di RS pemerintah.Â
Bagi masyarakat, pemahaman ini penting untuk:
1. Tidak curiga kepada RS bila masih ada yang mengeluh, karena memang mencapai efisiensi adalah tantangan berat, dengan perubahan pola pembayaran ini. Semua pihak sedang belajar, dan perlu waktu untuk menjadi lebih mampu. Termasuk RS yang harus belajar banyak dengan perubahan. Mohon semua pihak juga saling memberi waktu.Â
2. Tidak mudah khawatir ketika mendapatkan penjelasan "ini habisnya banyak" karena sesuai regulasi JKN, asal sesuai hak kelas, maka seluruh biaya MEDIS akan ditanggung.Â
3. Tidak curiga juga bila RS benar-benar menerapkan standar karena memang tuntutan efisiensi mengharuskan demikian. Jangan kemudian mendorong apalagi memaksa RS untuk memberikan melebihi standar.Â
Kepada pemerintah sebagai regulator, tentu diharapkan ada penyesuaian tarif agar semakin mendekati biaya sebenarnya. Artinya sama-sama saling belajar efisiensi di sisi RS dan maupun perhitungan tarif di sisi pemerintah. Kalau lah memang ruang fiskal terbatas, diharapkan ada penyesuaian dalam grouping. Berdasarkan sebaran data selama 2 tahun ini, agar antara kasus berpotensi defisit dapat diimbangi dengan prevalensi kasus yang memberi peluang untuk surplus.Â
Mohon doa dan dukungannya agar RS sebagai pemberi layanan juga belajar dengan baik sehingga semakin mampu menjalankan JKN sesuai harapan. Kritikan itu keniscayaan. Tetapi mengritik dengan semangat memperbaiki, tentu lain sekali dengan mengritik sekedar untuk menelanjangi.Â
Tinggal 3 tahun menuju 2019: Perlindungan Semesta untuk Kesehatan Rakyat.Â
#SalamKawalJKN
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H