Ada berita menarik hari Sabtu lalu yang kemudian menyebar ke media sosial. Menurut Plt Dirjen BUK (selanjutnya nanti disebut Dirjen Pelayanan Kesehatan) "Dokter tanpa Izin Praktek Bisa Ditangkap Polisi". Klausulnya adalah " agar ada efek jera bagi dokter yang tak mau praktek di rumah sakit pemerintah dengan alasan honor rendah" karena itu "Saya minta polisi menangkap dokter yang berpraktek tanpa SIP".
Ada kontradiksi antara dua pernyataan tersebut. Tentang keengganan bekerja di RS pemerintah karena honor rendah, tentu soal lain, tidak serta merta berkaitan dengan "ditangkap polisi karena tidak ada SIP". Perlu analis dan kajian lain soal "honor rendah", tidak mudah juga mengurainya. Tulisan ini hanya berfokus pada pada soal SIP dan Prosedur JKN.
Sebenarnya sudah beberapa lama topik ini ingin saya tulis. Hanya masih selalu tertahan. Lebih dulu tentang ketiadaan SIP itu sendii. Ada beberapa hal yang menjadi acuan:
1. Pasal 76 UU Praktek Kedokteran no 29/2004 menyatakan:
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pada tahun 2007, diajukan JR untuk pasal tersebut (dan pasal 75 dan 79 UU yang sama). Keputusan MK no No 4/PUU-V/2007 menyatakan bahwa:
... pasal 75 ayat (1) dan pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau” dan pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata “kurungan paling lama 1(satu) tahun atau” serta pasal 79 huruf c sepanjang kata-kata “atau huruf e” Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dengan demikian, bila memang terbukti menjalankan praktek tanpa SIP di RS, maka sanksinya adalah pembayaran denda, bukan lagi pidana kurungan.
2. Apakah tidak mungkin Dokter tanpa SIP menjalankan pelayanan di sebuah RS?
Dalam UU Rumah sakit no 44/2009 pasal 32 huruf H yang dirinci dalam Permenkes 69/2014 tentang Hak Pasien, disebutkan bahwa pasien berhak:
h. meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;
Dengan demikian, dalam klausul tersebut, dapat memberikan layanan sebagai bentuk konsultasi terhadap pasien. Hanya, bagaimana mewujudkannya? Penjelasan UU 44/2009 maupun Permenkes 69/2014 yang menerjemahkan hak dan kewajiban pasien, tidak ada penjelasan lebih lanjut tetang bagaimana perwujudan hak tersebut.
3. Dalam hal adanya Dokter berpraktik tanpa SIP (dan tidak memenuhi klausul Hak Pasien tersebut), justru Direktur yang harus bertanggung jawab. Pasal 42 dan 80 UU PK 29/2004 memberikan ancaman denda Rp. 300 juta bagi orang yang memperkerjakan dokter tanpa SIP. Dengan demikian, Direktur termasuk yang berisiko kena sanksi tersebut.
Dalam semangat yang sama, kita semua juga harus tegas terhadap ketentuan pasal 73, 77 dan 78 UU Praktik Kedokteran no 29/2004. Tidak jarang kita lihat ada yang memasang nama tempat praktik, menggunakan alat dan/atau metode yang mirip dengan dokter bahkan sampai menuliskan resep, surat keterangan sakit atau surat rujukan sehingga menimbulkan kesan seolah-olah adalah dokter atau dokter gigi. Terhadap hal-hal tersebut, jelas adalah pelanggaran terhadap pasal-pasal dimaksud yang mengandung ancaman pidana. Tidak berlebihan rasanya kalau kita menilai bahwa penegakan aturan terhadap hal tersebut masih kurang nyata. Minimal kita tidak cukup menaruh perhatian, sebagaimana kita menuntut dokter/dokter gigi untuk memenuhi semua aturan.
Bagaimana kaitannya dengan JKN?
September 2015 silam, ada berita menarik. Potongan foto sebuah harian ini, adalah salah satu saja dari berita sejenis. Dalam beberapa kali paparan tentang JKN, saya sering mendapat pertanyaan serupa. Belum lama juga muncul berita tentang penghentian layanan JKN di sebuah RS yang dikaitkan dengan masalah serupa.
Seperti dalam potongan berita itu, ada klaim yang tidak dibayar oleh BPJSK karena pelayanan diberikan oleh Dokter yang tidak memiliki SIP di RS tersebut. Apa alasannya? Karena sesuai prosedur, kewenangan menjalankan praktik dibuktikan dengan adanya SIP. Harus dibedakan antara kompetensi dan kewenangan. Kompetensi seorang Dokter dibuktikan dengan Surat Kompetensi dari Kolegium terkait yang menjadi dasar dikeluarkan STR dari KKI. Sedangkan kewenangan menjalankan kompetensi itu di suatu tempat, dibuktikan dengan terbitnya SIP. Kewenangan penerbitan SIP sesuai UU Praktek Kedokteran 29/2004 dan Permenkes 2052/2011 ada pada Pejabat Bidang Kesehatan Daerah (Dinkes). Tetapi dalam UU Tenaga Kesehatan 36/2014, kewenangan itu ada pada Pimpinan atau Kepala Daerah atas rekomendasi dari Pejabat Daerah bidang kesehatan. Perlu analisis tersendiri tentang hal ini.
Adanya Dokter yang menjalankan praktik tanpa SIP merupakan pelanggaran prosedur. Atas dasar Perpres 12/2013 dan Permenkes 28/2014, maka pelayanan yang tidak sesuai dengan prosedur, berarti termasuk layanan yang tidak ditanggung dalam skema JKN. Tidak menyenangkan? Memang. Tapi itulah memang regulasinya.
Ada lagi yang lebih menimbulkan “pertanyaan”. Ada beberapa laporan klaim yang tidak dapat dicairkan karena “layanan diberikan oleh Dokter PNS pada jam kerja di RS Swasta”. Padahal Dokter itu memegang SIP di RS swasta tersebut. Lantas apa masalahnya? Dari penelusuran, didapatkan bahwa alasannya: dalam pengajuan SIP seorang Dokter PNS untuk bekerja di RS swasta, harus menyertakan Surat Rekomendasi dari Instansi Negeri tempat kerja yang salah satu klausul bunyinya adalah “mengijinkan di luar jam kerja”. Itulah alasannya untuk memasukkanya sebagai “pelayanan tidak sesuai prosedur”. Makin tidak menyenangkan? Tapi memang demikian bunyi regulasinya kalau mau konsekuen.
Kalau sampai ada Dokter yang melakukan pelayanan tanpa SIP di sebuah RS, sebenarnya tidak hanya Dokter bersangkutan yang menanggung salah. Dalam hal adanya Dokter berpraktik tanpa SIP, justru Direktur yang harus bertanggung jawab. Pasal 42 dan 80 UU PK 29/2004 memberikan ancaman denda Rp. 300 juta bagi orang yang memperkerjakan dokter tanpa SIP. Dengan demikian, Direktur termasuk yang berisiko kena sanksi tersebut.
Artinya terkait berita di atas, hak Dokter jasa pelayanan untuk klaim yang tidak terbayar itu tetap menjadi tanggung jawab Direktur. Jasa Pelayanan adalah hak Dokter (UU Praktek Kedokteran 29/2004) dan RS (UU RS 44/2009). Bahwa klaim tidak bisa cair adalah risiko dari terjadinya pelayanan tidak sesuai prosedur. Sekali lagi, ini jelas tidak menyenangkan. Tapi demikian memang bunyi regulasinya.
Menanggapi hal tersebut, Kemkes bertindak cepat dengan mengedarkan SE SetDitJen BUK Kemkes tanggal 17 September 2015 mengingatkan kepada RS untuk segera memenuhi kewajiban adanya SIP bagi Dokter. Direktur dan Pimpinan Faskes diminta memastikan seluruh Dokter untuk memiliki SIP yang masih berlaku, serta segera mengajukan perpanjangan selambat-lambatnya 3 bulan sebelum habis masa berlakunya (sesuai pasal 14 Permenkes 2052/2011).
Di sisi lain, sesuai uraian di bagian sebelumnya, BPJSK juga perlu diberitahu bahwa ada klausul suatu saat seorang Dokter tanpa SIP di sebuah RS, dapat memberikan konsultasi kepada pasien yang sedang dirawat di RS tersebut. Dalam UU Rumah sakit no 44/2009 pasal 32 huruf “h” yang dirinci dalam Permenkes 69/2014 tentang Hak Pasien, disebutkan bahwa pasien berhak: meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit. Untuk itu, kalau nanti terjadi ada klausul yang demikian, tidak boleh dianggap sebagai “di luar prosedur”.
Mau tidak mau, adanya klausul SIP ini juga berkaitan dengan ketersediaan layanan kesehatan di daerah. Kapan lalu ada pertanyaan bagaimana dengan klaim tidak terbayar dengan alasan Dokter Spesialis yang melayani tidak ber SIP. Masalahnya di daerah itu, jumlah Dokter memang kurang. Apa lantas tidak bisa dilayani?
Terhadap hal ini, dalam forum di Manado maupun Samarinda beberapa waktu lalu, saya sampaikan juga klausul pasal 35 Perpres 12/2013 bahwa ketersediaan faskes maupun nakes di daerah adalah tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah. Ada beberapa opsi menurut Permenkes 2052/2011 untuk mengatasi masalah kekurangan tersebut. Mulai dari penerbitan Surat Tugas, Klausul Satu Dokter Pemerintah untuk semua RS pemerintah di suatu daerah, sampai pemberian SIP bagi peserta didik PPDS dengan kompetensi tertentu untuk daerah terpencil. Hal-hal seperti itu harus pula dipahami oleh BPJSK untuk tidak menimbulkan salah paham terkait klausul pelayanan tidak sesuai prosedur.
Memang, walau tidak menyenangkan rasanya, tetapi semakin nyata bahwa JKN adalah revolusi mental. Apa yang selama ini sudah diatur, namun belum dijalankan, seolah menjadi “sesuatu yang baru” sehingga membuat kita sering menyebut “kok BPJSK aturannya berubah-ubah”. Lantas, bagaimana bila terjadi perbedaan pendapat soal SIP/SIK ini? Hemat saya, TKMKB lah tempatnya.
Kendali Mutu dan Kendali Biaya dalam JKN meliputi (Perpres 12/2013, Perpres 111/2013 dan diterjemahkan dalam Peraturan BPJSK 1/2014 pada pasal 81)
(1) Pelayanan kesehatan kepada peserta jaminan kesehatan harus memperhatikan mutu pelayanan, berorientasi pada aspek keamanan pasien, efektifitas tindakan, kesesuaian dengan kebutuhan pasien, serta efisiensi biaya.
(2) Penerapan sistem kendali mutu pelayanan jaminan kesehatan dilakukan secara menyeluruh meliputi pemenuhan standar mutu fasilitas kesehatan, memastikan proses pelayanan kesehatan berjalan sesuai standar yang ditetapkan, serta pemantauan terhadap luaran kesehatan peserta.
Pada tingkat Fasilitas Kesehatan, penyelenggaraan kendali mutu dan biaya dilakukan melalui (pasal 82):
a. pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik profesi sesuai kompetensi;
b. utilization review dan audit medis;
c. pembinaan etika dan disiplin profesi kepada tenaga kesehatan; dan/atau
d. pemantauan dan evaluasi penggunaan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dalam pelayanan kesehatan secara berkala yang dilaksanakan melalui pemanfaatan sistem informasi kesehatan.
Untuk itu kemudian dibentuk Tim Kendali Mutu Kendali Biaya (TKMKB) dengan tugas dan kewenangan:
a. sosialisasi kewenangan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik profesi sesuai kompetensi;
b. utilization review dan audit medis;
c. pembinaan etika dan disiplin profesi kepada tenaga kesehatan; dan
d. berkoordinasi dengan fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dalam hal:
1. pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik profesi sesuai kompetensi;
2. utilization review dan audit medis; dan
3. pembinaan etika dan disiplin profesi kepada tenaga kesehatan.
Kerja TKMKB tersebut tentu tetap harus di bawah koordinasi dan kendali Dinkes sebagai Koordinator Monitoring dan Evaluasi JKN di tingkat daerah. Tidak pada tempatnya bila kemudian BPJSK yang memegang kendali.
Kembali ke topik awal, prasangka positif saya, maksud pernyataan itu adalah mengingatkan kembali tentang SIP. Mengingat, akhir-akhir ini juga ada penertiban tempat-tempat yang melayani "seolah-olah praktek kedokteran". Artinya, profesi dokter sendiri juga harus mawas diri. Hanya nampaknya, semoga hanya karena kendala bahasa, yang muncul di berita menjadi kurang nyaman.
Mari senantiasa mawas diri menjagar kehormatan pribadi maupun marwah profesi.
#SalamKawalJKN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H