Aturan rujukan berjenjang ini wajib dipatuhi oleh peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosial dan pemberi pelayanan kesehatan (PPK). Bahkan peserta asuransi kesehatan komersial pun sebenarnya tetap mengikuti alur pelayanan kesehatan berjenjang.
Sekarang, aturan itu berusaha diterapkan secara konsekuen. Lantas mengapa menjadi perdebatan?
Persoalan timbul karena ada beda penjenjangan antara Permenkes 1/2012 tentang Rujukan Berjenjang dengan Permenkes 340/2010 tentang klasifikasi RS. Dalam klasifikasinya, RS umum dibagi menjadi 4 tipe: D, C, B, A. Bahkan dalam perbaruan terakhir dengan Permenkes 56/2014 pun, klasifikasinya masih demikian. Untuk memudahkan pemahaman, secara ringkas berikut standar minimal tenaga Dokter yang harus ada sesuai tingkatan RS:
Dengan demikian, Tingkat 2 menurut Sistem Rujukan Berjenjang diisi oleh dua tipe 3 tipe RS: D, C, B. Sedangkan tipe A sudah tepat mewakili Tingkat 3. Di lapangan, BPJSK mengarahkan bahwa dari PPK 1 dirujuk secara berjenjang ke tipe D atau C lebih dulu, baru ke tipe B. Bila diperlukan baru ke tipe A.
Mengapa begitu? Apa alasannya? Kembali, tugas BPJSK mengacu pada pasal 24 ayat (3) UU SJSN 40/2004 untuk mengembangkan sistem yang efektif dan efisien. Apa yang memang bisa dilayani di RS tipe bawah, tidak boleh dirujuk ke tipe di atasnya. Dasarnya adalah kemampuan layanan di tiap-tiap tipe RS yang tersedia. Karena itu BPJSK melakukan kredensialing salah satunya memetakan apa saja kemampuan layanan pada tiap-tiap Faskes.
Semangat dan filosofinya tidak salah, memang demikian, sebagaimana dalam Permenkes tentang sistem rujukan. Rincian kebijakan rujukan berjenjang dalam skema JKN didasarkan pada Permenkes 71/2013. Termasuk di dalamnya ada mekanisme mapping atau rayonisasi.