(Ditulis 25 November 2015)
Setelah sekitar 2 tahun mengikuti dinamika perjalanan JKN, ada satu hal yang menjadi ganjalan mendasar. Sependek pemahaman saya, JKN dibangun berbasis konsep “Managed Care” (Pelayanan Tertata). Makna Managed Care adalah: Suatu sistem dimana pelayanan kesehatan dan pembiayaannya (pelayanan kesehatan) diselenggarakan dan tersinkronisasi dalam kerangka kendali mutu dan biaya, sehingga menghasilkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan dengan biaya yang efisien.
Masih dalam pemahaman saya, seperti sering saya sampaikan dalam paparan JKN, managed care meniscayakan kemitraan dan kesejajaran antara tiga pihak: Peserta sebagai pengguna layanan, Fasilitas Kesehatan (Faskes) dan Tenaga Kesehatan (Nakes) sebagai penyedia layanan, dan Penyelenggara sebagai pengelola keuangan.
Dengan adanya kemitra sejajaran ini, maka ada keseimbangan hak dan kewajiban diantara ketiga pihak. Tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah. Ada satu perubahan penting: biasanya ketika berhadapan dengan penyedia layanan, maka bagi pasien sebagai pengguna layanan, seolah hanya ada 2 pilihan yaitu “kalah” dan “salah”.
Kondisi itu tentu tidak sehat walau jelas juga bahwa keadaan demikian bukan serta merta adalah kesalahan penyedia layanan. Sistem yang membuatnya demikian pada masa sebelumnya. Itu yang hemat saya, perubahan mendasar pada konsep JKN ini.
Gambar ke sejajaran itu biasanya digambarkan sebagai segitiga di bidang datar yang menggambarkan kesejajaran dan keseimbangan hak-kewajiban diantara para pihak.
Namun, tidak jarang kita mendengar bahwa “BPJSK bertindak seolah sebagai super-body”. Lama saya merenungi, mengapa terjadi demikian? Akhirnya saya menyimpulkan, pangkal masalahnya ada pada Pasal 24 Ayat (3) UU SJSN nomor 40/2004. Bunyi selengkapnya sebagai berikut:
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan, kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas.
Ayat ini menunjukkan luasnya tugas dan tanggung jawab BPJSK. Tentu saja itu juga berarti semakin besar kewenangan BPJSK. Sebenarnya, ayat-ayat selanjutnya dalam UU dimaksud dan turunannya, telah “mengurangi” luasnya kewenangan tersebut untuk beberapa aspek:
- Daftar dan harga tertinggi obat-obatan, serta bahan medis habis pakai yang dijamin, ditetapkan dengan Permenkes (pasal 25). Begitu juga dengan standar tarif pelayanan ditetapkan dengan Permenkes.
- Jenis pelayanan yang tidak dijamin, ditetapkan dengan Perpres (pasal 26)
- Besaran premi (dalam skema JKN disebut “iuran”) ditetapkan dengan Perpres (pasal 27)
Terhadap ayat (3) itu sendiri kemudian diturunkan dalam pasal 42 Pepres 12/2013. Selengkapnya merinci dan menegaskan pasal 24 ayat (3) UU SJSN tersebut bahwa:
(1) Pelayanan kesehatan kepada Peserta Jaminan Kesehatan harus memperhatikan mutu pelayanan, berorientasi pada aspek keamanan pasien, efektifitas tindakan, kesesuaian dengan kebutuhan pasien, serta efisiensi biaya.
(2) Penerapan sistem kendali mutu pelayanan Jaminan Kesehatan dilakukan secara menyeluruh meliputi pemenuhan standar mutu Fasilitas Kesehatan, memastikan proses pelayanan kesehatan berjalan sesuai standar yang ditetapkan, serta pemantauan terhadap luaran kesehatan Peserta.
(3) Ketentuan mengenai penerapan sistem kendali mutupelayanan Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan BPJS.
Sedangkan pasal 43 merinci tugas dan kewenangan Kemkes dalam Kendali Mutu dan Kendali biaya JKN. Dalam pasal 44 Perpres yang sama, pelaksanaan dari pasal 42 dan 43 itu disebut sebagai “diatur oleh Menkes”. Tetapi kemudian dalam Perpres 111/2013 sebagai revisi terhadap Perpres 12/2013, pasal 44 tersebut dianulir.
Bahkan dalam pasal 43A Perpres 111/2013, kewenangan BPJSK itu dipertegas sebagai:
(1) BPJS Kesehatan mengembangkan teknis operasionalisasi sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas Jaminan Kesehatan.
(2) Dalam melaksanakan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPJS Kesehatan berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.
Oleh BPJSK, tugas dan kewenangan itu diwujudkan sebagai bagian dari Peraturan BPJSK nomor 1/2014 pada pasal 80-88. Khusus pada pasal 84-88 mengatur tentang Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya (TKMKB).
Di lapangan, adanya pasal 24 ayat 3 UU SJSN 40/2004 tersebut sangat potensial menimbulkan gesekan dan perdebatan. Ada proses transformasi yang belum berhasil. Ada beban berat yang kemudian terekspresikan sebagai bentuk defensif. Hal itu terjadi pada para pihak.
Pertama, dari sisi BPJSK, ayat 3 pasas 24 UU SJSN itu berarti beban sangat berat karena ukurannya adalah: efektivitas dan efisiensi. Padahal jelas sebenarnya soal pelayanan kesehatan adalah ranah Kemkes. Bagaimana mungkin BPJSK sebagai Badan Bentukan baru walau adalah hasil transformasi dari PT Askes, dibebani tugas seberat itu?
Apalagi fungsi utama BPJSK adalah pengelolaan keuangan. Efektif dan efisien dalam hal keuangan, mudah diartikan sebagai “dengan sumber daya sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil maksimal”. Akibatnya di lapangan, BPJSK sadar atau tidak sadar, terdorong menjadi super-body atas dasar ayat 3 Pasal 24 tersebut. Wujudnya: sikap defensif dalam hubungan dengan para pihak lain dalam JKN. Juga dengan menerbitkan aturan-aturan yang memang bertujuan melaksanakan perintah efektif dan efisien tersebut.
Secara praktis, sebagian teman-teman BPJSK juga masih terjebak dalam sikap defensif tersebut. Misalnya dalam proses kredensial, verifikasi klaim, penyusunan mekanisme rujukan berjenjang sampai ke dalam menanggapi keluhan dari peserta terhadap pelayanan yang diberikan penyedia.
Kedua, di sisi lain, peserta dan penyedia layanan, bahkan aparat pemerintahan di daerah, banyak yang belum memahami beban berat yang disandang oleh BPJSK karena pasal 24 ayat 3 tersebut.
Akibatnya, kita mudah terjebak juga dalam sikap defensif tanpa mau menyadari apa latar belakangnya. Kondisi demikian membuat situasi tidak sehat dalam penyelenggaraan JKN.
Bagaimana dengan aparat pemerintah di pusat? Dengan mengharap kebesaran hati, harus saya sampaikan kesan kuat bahwa belum ada koordinasi dan kerjasama yang baik antara Kemkes dengan BPJSK. Dalam banyak hal dan banyak isu, hal itu tergambar cukup jelas. Beberapa regulasi yang diterbitkan antara keduanya, menjadi tidak bersambung, bahkan ada yang berselisih jalan. Dan itu kemudian seolah dibiarkan saja berjalan. Padahal dalam konsep Monev JKN, sebenarnya Kemkes memiliki peran besar, bersama-sama lembaga lain seperti DJSN, OJK dan Bappenas.
Lantas bagaimana? Mengubah UU jelas membutuhkan kerja besar. Biaya politis, biaya sosial maupun biaya finansial besar. Sebaiknya, melalui Perpres dijabarkan sedemikian sehingga kemitra sejajaran diantara para pihak penegak limas JKN itu terwujud. BPJSK tetap berperan dalam Kendali Mutu Kendali Biaya sebagaimana amanah pasal 24 ayat 3 UU SJSN tersebut, namun peran regulator tetap di tangan Presiden yang didelegasikan kepada Kemkes. Dengan demikian, ketiga pihak dalam limas JKN, dalam pengayoman sekaligus pengaturan oleh pemerintah (Presiden melalui Kemkes).
Wujud nyatanya, meliputi tetapi tidak terbatas pada, misalnya:
- Soal tata aturan koding untuk proses verifikasi, adalah ranah Kemkes.
- Soal rujukan berjenjang adalah ranah Kemkes (di tingkat nasional), Dinkes dan Organisasi Profesi.
- Soal pengendalian pelaksanaan dan penyelesaian masalah terkait pelayanan kesehatan dalam JKN, sebagai tingkat pertama adalah TKMKB Cabang. Kemudian secara berjenjang sampai ke TKMKB Propinsi, TKMKB Nasional dan bila belum selesai, diajukan ke Dewan Pertimbangan Klinis di Pusat. BPJSK bertanggung jawab memfasilitasi kerja TKMKB.
- Soal penanganan keluhan para pihak terkait teknis pelaksanaan JKN, diajukan ke Dinkes melalui Tim Monev yang secara berjenjang sampai ke pusat.
- Soal ketersediaan dan keberlangsungan penyediaan obat dan alkes adalah ranah Kemkes. BPJSK bertanggung jawab dalam pelaporan penggunannya saja berbasis hasil verifikasi.
- Soal pendataan dan perbaruan data Peserta PBI adalah ranah Kemensos, BPJSK hanya menerima data jadi saja.
Dengan menyebut “ranah suatu lembaga” maka berarti pula tanggung jawab pelaksanaannya, termasuk pencapaian indikator kinjernanya, adalah pada lembaga tersebut. Sedangkan kewajiban BPJSK adalah memfasilitasi pelaksanaan proses Kendali Mutu Kendali Biaya tersebut. Hal ini untuk meyakinkan BPJSK bahwa bila memang terjadi dugaan inefisiensi maupun inefektifitas, maka DJSN dan OJK juga sudah sepaham dengan meminta pertanggung jawaban terhadap lembaga terkait.
Untuk melakukan penataan itu, sekali lagi, adalah ranah Presiden karena BPJSK adalah Badan yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Bila kondisi saling defensif ini tidak segera dijernihkan, maka perjalanan JKN akan terus terwarnai dengan saling curiga. Ujung-ujungnya: berisiko menghambat keberhasilan JKN.
Apalagi dalam situasi peralihan ke Direksi dan Dewan Pengawas saat ini. Tanpa arahan yang jelas dan kuat dari level Presiden, sangat dikhawatirkan kondisi berselisih jalan itu akan semakin jauh dan renggang.
Mangga Pak Presiden, mari kita tegakkan Limas JKN!
#SalamKawalJKN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H