Mohon tunggu...
Ton Abdillah
Ton Abdillah Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti Lepas

Pemerhati isu sosial dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Benarkah Tembakau Biang Keladi Seluruh Masalah di Muka Bumi? [Bag 2]

29 Mei 2022   16:00 Diperbarui: 29 Mei 2022   16:04 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aksi Destruktif Gerakan Antitembakau

Berangkat dari motif menyudutkan industri tembakau untuk menguasai pasar nikotin global, gerakan antitembakau relatif mudah berkembang karena menyuarakan isu yang lumayan strategis. 

Gerakan ini berhasil menarik minat para taipan farmasi global lantaran kaitannya dengan aspek kesehatan publik, produktivitas masyarakat, dan ekonomi global. Pun mudah untuk dimobilisasi via kelompok masyarakat. 

Taipan farmasi bahkan menjadi salah satu pilar utama dalam memobilisasi dana dan kampanye-kampanye antitembakau melalui lembaga-lembaga masyarakat di banyak negara.

Pesan utamanya: Rokok berbahaya, dan oleh karenanya rokok tidak boleh dikonsumsi, tidak boleh dipromosikan, dan industrinya tidak boleh berkembang. Menggandeng berbagai organisasi kemasyarakatan dengan beragam latar memang menjadi salah satu modus utama lembaga donor dalam menebar ketakutan berlebihan terhadap rokok. 

Di Indonesia, sejumlah LSM seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Forum Warga Jakarta (Fakta), Yayasan Lentera Anak, sampai organisasi-organisasi pelat merah macam Asosiasi Dinas Kesehatan (Adinkes) menjadi motor gerakan antitembakau.

Tak hanya itu, aliran dana antitembakau ini juga mengalir ke media-media untuk mendukung narasi apapun yang berhubungan dengan rokok perlu dientaskan. 

Beberapa organisasi jurnalis, misalnya, rutin memberikan beasiswa liputan dengan tema antirokok yang didanai oleh Lembaga antitembakau seperti Campaign for Tobacco-Free Kids (CTFK), The International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (The Union), CDC Foundation.

Ada pula organisasi media yang menerima dana langsung untuk sebuah program siaran antirokok. Organisasi wartawan maupun media di Indonesia yang selama ini menjunjung independensi jurnalistik justru menjadi alat yang paling ampuh sebagai instrumen perpanjangan kepentingan untuk menyudutkan industri tembakau.

Di sisi lain, kampanye antitembakau yang dilakukan secara masif dengan kacamata kuda justru tak jarang menciptakan masalah baru.

Pada 2019 misalnya, Yayasan Lentera Anak, bersama Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mendorong penghentian Beasiswa Bulutangkis oleh Djarum Foundation melalui PB Djarum. 

Alasannya pun tak masuk akal, yaitu karena pendiri Djarum Foundation merupakan perusahaan rokok sehingga program beasiswa ini dinilai sebagai upaya mengekspos anak-anak dengan rokok. Padahal donatur yayasan tersebut bukan hanya perusahaan rokok itu.

Hal ini praktis memicu polemik. Banyak yang menilai alasan Yayasan Lentera Anak dan KPAI terlampau mengada-ada. Akibat seruan mereka, sampai kini program tersebut belum dibuka kembali.

Tagar #bubarkanKPAI menjadi trending di Twitter (September 2019) tak lama setelah mengemukanya desakan KPAI bersama Lentera Anak untuk menghentikan Audisi Beasiswa Bulu Tangkis Djarum karena bentuk ekspoloitasi perusahaan rokok kepada anak.

Tak hanya di Indonesia, kejadian serupa juga kerap dialami di beberapa negara lain. Di Filipina, misalnya pada awal 2021, sejumlah pekerja di industri tembakau tak dapat mengakses vaksin Covid-19 lantaran adanya regulasi dari BPOM dan Kementerian Kesehatan yang melarang interaksi antara pemerintah dengan unsur industri tembakau dalam hal apapun. Ini ekses dari regulasi yang terbit lebih dari satu dekade lalu setelah dua otoritas kesehatan Filipina tersebut menerima dana dari lembaga donor asing. Hasilnya, tingkat vaksinasi Covid-19 di Filipina sempat terhambat.

Di Nepal dan Yunani, rumah sakit yang menadah dana The Union dilarang menerima bantuan terkait Covid-19 seperti masker medis, alat uji sampai ventilator oleh perusahaan tembakau.

Alih-alih menyadari dampak sosial yang ditimbulkan, kelompok antitembakau justru mulai memperlebar isu ke aspek sosial. Tak hanya menjadi sumber segala penyakit, rokok juga dituduh sebagai biang keladi kemiskinan, berbekal mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) secara serampangan. 

Kelompok antitembakau ini menyatakan bahwa rokok merupakan pengeluaran terbesar kedua rumah tangga miskin setelah beras. Padahal jika mau lebih teliti, keduanya tak berkorelasi.

Sepanjang 2016-2019, angka kemiskinan di Indonesia berada dalam tren menurun, sementara prevalensi merokok cenderung stabil. Barulah sejak 2020 sampai kini, angka kemiskinan berada dalam tren meningkat. Itu pun akibat pandemi yang mengganggu ekonomi, tak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. 

Sementara prevalensi merokok dalam periode serupa juga turut menurun. Artinya, narasi bahwa rokok merupakan biang keladi kemiskinan merupakan kesimpulan yang sangat tegesa-gesa sekaligus menyesatkan.

Namun, narasi ini memang perlu tetap dimainkan kelompok antitembakau untuk mendorong modus keduanya yaitu: menaikkan harga rokok. Ini menjadi penting untuk menyamakan level persaingan antara rokok dengan obat-obatan berhenti merokok dari perusahaan farmasi yang harganya memang cukup mahal. 

Sehingga, harapannya dengan adanya aksi prakondisi yang menebarkan ketakutan berlebih terhadap rokok, para perokok akan lebih memilih produk obat-obatan dari perusahaan farmasi.

Gambaran pasar nikotin non rokok sumber: Grand View Research (2021)
Gambaran pasar nikotin non rokok sumber: Grand View Research (2021)
Sayangnya, hal tersebut tak semudah membalikkan telapak tangan, terlebih dalam konteks Indonesia yang memang menjadikan rokok sebagai warisan budaya. 

Apalagi produk farmasi kini juga mulai terganggu dengan kehadiran produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik. Mereka telah menggusur pangsa pasar nikotin non rokok. 

Padahal, produk tembakau alternatif tersebut relatif baru muncul jika dibandingkan produk farmasi yang sudah ada sejak 1980-an. 

Grand View Research, dalam laporannya, menyebut kini nilai pasar produk nikotin non rokok secara total sebesar US$ 44,2 miliar pada 2020, dimana 52,1% atau setara US$ 23,02 miliar dikuasai oleh rokok elektrik, bandingkan nilai pasar produk-produk farmasi ini yang cuma US$ 2,81 miliar.

Kalah akan penetrasi pasar, kini kelompok antitembakau juga turut melakukan kampanye hitam terhadap produk-produk tembakau alternatif, meskipun sejatinya, baik produk farmasi maupun tembakau alternatif punya fungsi serupa yaitu untuk mengurangi prevalensi merokok.

Produk tembakau alternatif tersebut nyatanya telah banyak digunakan sebagai alternatif yang lebih rendah risiko bagi para perokok dewasa di negara-negara maju, seperti Jepang, Inggris, dan Selandia Baru. 

Namun produk tembakau alternatif tetap jadi sasaran serang gerakan antitembakau karena memiliki penerimaan publik yang lebih baik dibandingkan produk farmasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun