Mohon tunggu...
Ton Abdillah
Ton Abdillah Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti Lepas

Pemerhati isu sosial dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Benarkah Tembakau Biang Keladi Seluruh Masalah di Muka Bumi? [Bag 2]

29 Mei 2022   16:00 Diperbarui: 29 Mei 2022   16:04 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alasannya pun tak masuk akal, yaitu karena pendiri Djarum Foundation merupakan perusahaan rokok sehingga program beasiswa ini dinilai sebagai upaya mengekspos anak-anak dengan rokok. Padahal donatur yayasan tersebut bukan hanya perusahaan rokok itu.

Hal ini praktis memicu polemik. Banyak yang menilai alasan Yayasan Lentera Anak dan KPAI terlampau mengada-ada. Akibat seruan mereka, sampai kini program tersebut belum dibuka kembali.

Tagar #bubarkanKPAI menjadi trending di Twitter (September 2019) tak lama setelah mengemukanya desakan KPAI bersama Lentera Anak untuk menghentikan Audisi Beasiswa Bulu Tangkis Djarum karena bentuk ekspoloitasi perusahaan rokok kepada anak.

Tak hanya di Indonesia, kejadian serupa juga kerap dialami di beberapa negara lain. Di Filipina, misalnya pada awal 2021, sejumlah pekerja di industri tembakau tak dapat mengakses vaksin Covid-19 lantaran adanya regulasi dari BPOM dan Kementerian Kesehatan yang melarang interaksi antara pemerintah dengan unsur industri tembakau dalam hal apapun. Ini ekses dari regulasi yang terbit lebih dari satu dekade lalu setelah dua otoritas kesehatan Filipina tersebut menerima dana dari lembaga donor asing. Hasilnya, tingkat vaksinasi Covid-19 di Filipina sempat terhambat.

Di Nepal dan Yunani, rumah sakit yang menadah dana The Union dilarang menerima bantuan terkait Covid-19 seperti masker medis, alat uji sampai ventilator oleh perusahaan tembakau.

Alih-alih menyadari dampak sosial yang ditimbulkan, kelompok antitembakau justru mulai memperlebar isu ke aspek sosial. Tak hanya menjadi sumber segala penyakit, rokok juga dituduh sebagai biang keladi kemiskinan, berbekal mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) secara serampangan. 

Kelompok antitembakau ini menyatakan bahwa rokok merupakan pengeluaran terbesar kedua rumah tangga miskin setelah beras. Padahal jika mau lebih teliti, keduanya tak berkorelasi.

Sepanjang 2016-2019, angka kemiskinan di Indonesia berada dalam tren menurun, sementara prevalensi merokok cenderung stabil. Barulah sejak 2020 sampai kini, angka kemiskinan berada dalam tren meningkat. Itu pun akibat pandemi yang mengganggu ekonomi, tak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. 

Sementara prevalensi merokok dalam periode serupa juga turut menurun. Artinya, narasi bahwa rokok merupakan biang keladi kemiskinan merupakan kesimpulan yang sangat tegesa-gesa sekaligus menyesatkan.

Namun, narasi ini memang perlu tetap dimainkan kelompok antitembakau untuk mendorong modus keduanya yaitu: menaikkan harga rokok. Ini menjadi penting untuk menyamakan level persaingan antara rokok dengan obat-obatan berhenti merokok dari perusahaan farmasi yang harganya memang cukup mahal. 

Sehingga, harapannya dengan adanya aksi prakondisi yang menebarkan ketakutan berlebih terhadap rokok, para perokok akan lebih memilih produk obat-obatan dari perusahaan farmasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun