Usai mengambil uang di mesin anjungan tunai mandiri (ATM), Dr. Ahn Jeong Won dikejutkan oleh sahabatnya, Dr. Lee Ik Jun, yang meminta rokok dan pemantik api.
Setengah rela, Jeong Won memberi empat batang rokok serta pemantik api, dengan catatan bahwa pinjaman tersebut merupakan utang yang harus dibayar dan dikembalikan kelak.
Cuplikan tersebut merupakan salah satu adegan yang cukup membekas bagi para penonton drama Korea Hospital Playlist pada 2021.
Dalam drama tersebut, Jeong Won merupakan dokter spesialis bedah anak, sementara Ik Jun merupakan dokter spesialis bedah hepatologi, dua penyakit yang kerap disinyalir disebabkan oleh kebiasaan merokok.
Di musim kedua penayangannya, dua dokter bedah ini terkonfirmasi sebagai seorang perokok.
Adegan fiksi dalam drama ini seakan ingin menunjukkan bahwa relasi rokok dan kesehatan tak melulu bersitegang sesengit yang diberitakan berbagai media selama ini.
Tak hanya fiksi, laporan dari Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (2014) menjelaskan ada pula dokter-dokter di Indonesia yang merokok.
Lembaga tersebut melaporkan 16,4% dokter di puskesmas, 11% dokter swasta, dan 13,5% perawat di Puskesmas merupakan perokok.
Memang rokok merupakan zat adiktif yang bila dikonsumsi memiliki dampak terhadap kesehatan. Namun, narasi apapun penyakitnya, rokok adalah penyebabnya menjadi sangat tidak berdasar, tidak adil, sekaligus mengkhianati metodologi ilmiah.
Sebab, telah banyak pula riset yang mengungkapkan bahwa rokok tak selalu menjadi determinan tunggal dalam sejumlah penyakit-penyakit yang sering dikait-kaitkan dengan rokok.
Pada 1998, Robert A. Levy, Professor Hukum pada University Law Center, dan Rosalind B Marimont, seorang matematikawan sekaligus pensiunan National Institute of Health, mempublikasikan artikel bertajuk Lies, Damned Lies, & 400.000 Smoking - Related Deaths untuk mengkritisi sejumlah riset di Amerika Serikat yang menarasikan bahwa rokok sebagai penyebab utama atas kasus 400.000 kematian orang setiap tahunnya.