Mohon tunggu...
Tommy Setiawan
Tommy Setiawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pribadi

Hanya pembaca dan pemerhati. Bukan penulis. Tapi kadang-kadang menuangkan pikiran atau ide atau perasaan yang bergejolak.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok dan Donald Trump

7 Maret 2016   15:09 Diperbarui: 7 Maret 2016   18:10 772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption=" https://id.wikipedia.org/wiki/Basuki_Tjahaja_Purnama"][/caption]

[caption caption="https://id.wikipedia.org/wiki/Donald_Trump"]

[/caption]Ada yang menarik menjelang pemilihan gubernur DKI akhir-akhir ini. Terutama dari peserta calon gubernur selain Ahok yang bersaing memperebutkan kursi DKI-1. Saya tidak membahas siapa calon lawan Ahok, tapi cara mereka melakukan “kampanye” untuk meraih simpati para pendukungnya.

Ada dua tokoh yang saya soroti saat ini, pertama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, calon gubernur DKI untuk periode kedua kalinya, dan kedua ialah Donald Trump, calon presiden Amerika Serikat.

Membandingkan kedua tokoh tersebut tidaklah adil, karena beda taraf dan kelas. Yang satu taraf lokal dan kelas regional, sedangkan satunya adalah taraf internasional dan kelas utama atau VIP. Tapi yang menarik di sini adalah cara keduanya “berkampanye” untuk mendapatkan posisi.

Pertama dari pihak Ahok, calon gubernur DKI, ibukota negara Republik Indonesia. Saat ini Ahok adalah sang petahana, sedang menjabat sebagai gubernur, menggantikan posisi Jokowi yang sudah ”naik kelas” menjadi seorang presiden, “penguasa” negeri ini.

Karena Ahok masih menjabat sebagai gubernur, ia tidak terlalu beban dalam mengkampanyekan dirinya. Dia membuktikan dengan hasil kerja. Jakarta dibenahi ke arah yang lebih baik, walaupun belum semua, karena itu butuh waktu. Birokrasi diatur sedemikian rupa agar semua satuan kerja di bawahnya bekerja dengan baik untuk melayani masyarakat dengan baik dan benar. Yang salah dibina, yang nakal dihukum dengan cara dimutasikan bahkan dipecat. Ahok menggunakan sistem “Reward and Punishment”. Yang kerjanya baik, dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi, dan tentunya dengan tanggung jawag yang lebih besar. 

Dari sisi kemanusiaan, Ahok “memanusiakan” warga Jakarta. Kita bisa melihat bagaimana warga pinggiran yang dulu tinggal di daerah kumuh langganan banjir, sekarang bisa tinggal di rumah susun yang cukup “mewah”. Permukiman kotor dan kumuh direlokasi dan diubah menjadi taman, lokasi bermain, dan ruang terbuka hijau (RTH) yang nyaman. Lokasi prostitusi dibersihkan dan dijadikan tempat yang layak dan bersih dari hal-hal negatif. Penghuni kawasan prostitusi (maaf, para PSK) pun dibina dan di”manusia”kan agar kelak menjadi manusia yang berguna. Mereka disediakan rumah susun sebagai pengganti hunian mereka yang kena gusur.

Ahok juga memberangkatkan haji (umrah) para marbot (pekerja di masjid), membangun masjid di balaikota yang tidak dilakukan oleh gubernur sebelumya, memberikan zakat pada saat Idul Fitri. Padahal Ahok bukanlah seorang Muslim, dan bukan pula seorang pribumi asli Indonesia. Ahok adalah seorang pemimpin daerah yang mayoritasnya adalah Muslim.

Dari kesemuanya itu, kelemahan Ahok hanya satu. Dia suka bicara kasar, tanpa tedeng aling-aling. Kerap disebutkan kurang santun. Padahal sebagai orang timur harusnya Ahok dapat mengendalikan diri dan menjunjung tinggi adat ketimuran. Tapi ya sudahlah, yang penting adalah hasilnya.

Menjelang pemilihan gubernur DKI ini, banyak saingan yang juga mencalonkan diri menjadi gubernur. Entah apa tujuan dan motivasi mereka mencalonkan diri menjadi gubernur, padahal kita semua tidak tahu apa prestasi yang sudah mereka lakukan, minimal bagi warga Jakarta. Yang saya tahu, mereka bersatu sepakat ingin menjadi gubernur karena satu hal, “ASAL BUKAN AHOK!” Itu saja. Mereka menyerang Ahok dengan berbagai isu, terutama SARA dan nada-nada negatif lainnya. 

Semuanya mengandung kebencian kepada seorang Ahok yang bagi mereka adalah kafir yang tidak layak memimpin Jakarta. Sebaliknya, bagi Ahok, ketika ditanya soal banyaknya pesaing, ia hanya menjawab, “Baguslah semakin banyak pesaing semakin baik bagi demokrasi.” Saya belum pernah mendengar Ahok melontarkan kata-kata SARA kepada para pesaingnya. Jangan-jangan Ahok malah mendoakan para pesaingnya agar menang, jika memang Tuhan menhendaki. Insya Allah!

Sekarang kita melihat Donald Trump. Dia sedang berjuang untuk menjadi seorang presiden Amerika Serikat, negara adidaya! Kita semua bisa melihat bagaimana sepak terjang seorang Donald Trump dalam kampanyenya. Dia mendiskreditkan umat Muslim Amerika. Dia pernah mengatakan bahwa jika dia nanti terpilih menjadi presiden, ia akan melarang umat Muslim di dunia untuk memasuki negara Amerika. Sebuah pernyataan gila!

Pernyataan tersebut mengundang reaksi keras umat Islam dunia. Bahkan di negaranya sendiri, yang mayoritas bukan Muslim, Trump dikecam. Bahkan dikabarkan para artis Amerika akan hijrah ke Kanada jika Donald terpilih menjadi presiden. Sungguh sebuah ironi dari sebuah negara adidaya, hanya pernyataan SARA seorang calon presiden, dunia mengecam. Saya tidak bisa membayangkan jika itu dilakukan di Indonesia. Nama Donald Trump mungkin tinggal kenangan. Untungnya itu di Amerika!

Yang menjadi luar biasa adalah, sejumlah survey di Amerika Serikat sana memprediksikan Donald Trump akan memenangi pertarungan kursi presiden, mengalahkan Hillary Clinton, saingan terberatnya. Ironis. Pelaku SARA malah diprediksi menang. Mengapa? Di Amerika sana, isu SARA tidak berlaku secara umum, artinya yang tersinggung dengan isu SARA hanya segelintir yaitu mereka yang terkait dengan unsur A (Agama), bukan yang lain. 

Dalam hal ini adalah umat Islam, minoritas di Amerika Serikat. Dan negara Amerika Serikat sendiri tidak begitu peduli dengan masalah agama. Mereka bebas memeluk agama apa pun, tak beragama pun tak apa-apa, karena itu urusan pribadi manusia dengan Tuhannya, negara tidak ada urusan.

Ahok dan Trump. Beda orang, beda negara, beda cara. Persamaannya, Ahok dan Trump sama-sama mencalonkan diri menjadi pemimpin di wilayahnya. Ahok menjadi korban isu SARA, sedangkan Trump adalah pelaku isu SARA. Ahok yang bukan seorang Muslim, bekerja untuk kesejahteraan kota dan warga yang mayoritas Muslim. Donald Trump, (saya tidak agamanya apa dan tidak mau tahu agamanya karena bukan urusan saya), hidup dan tinggal di negara yang mayoritas bukan Muslim, seorang pengusaha besar dan banyak uang, sedang berjuang untuk menjadi pemimpin dunia.

Siapa yang diuntungkan? Tergantung bagaimana kita menyikapinya. Dan itu tergantung dari kecerdasan kita masing-masing dalam menangkap isu yang berkembang.

Jadilah manusia cerdas bukan manusia cadas alias keras kepala!

Sumber gambar :

Donald Trump: https://id.wikipedia.org/wiki/Donald_Trump

Ahok: https://id.wikipedia.org/wiki/Basuki_Tjahaja_Purnama

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun