Assalamualaikum Wr Wb
Kita semua tentu berharap hantaman wabah corona atau Covid-19 ini bisa segera berlalu, dan teratasi dengan baik. Sebagai bangsa kita telah kehilangan banyak orang baik. Beberapa tenaga medis baik dokter maupun perawat sudah bertumbangan, menyumbangkan nyawa dalam perang melawan wabah.
Sudah sepantasnya kita seluruh bangsa mendoakan para orang baik yang sudah mendahului kita ini agar mendapatkan tempat terbaik di sisiNya. Serta tentu saja doa bagi seluruh petugas yang masih bertempur hingga saat ini, semoga diberikan kemenangan, Aamiiin...
Saya hanya warga negara biasa, tinggal di sebuah kota kecil yang berstatus kota besar. Namun walaupun kelak status kota ini adalah Kota Besar Sekali, bagi saya tetap saja ini adalah kota kecil, Padang.
Seperti hampir seluruh penduduk negara aku pancasila ini, tentu saja saya ikut mengkhawatirkan penyebaran Covid-19. Tapi beberapa hari yang lalu, kekhawatiran saya akan Covid-19 tidaklah lebih besar dari kekhawatiran terbaru saya.
Di jalan protokol yang kiri-kanannya diisi oleh rumah kaum the have money, dan kaum the have power. Ya, rumah orang nomor 1 dan 2 kota ini terletak di jalan itu.
Di sebuah restoran cepat saji yang menjadi salah satu lambang supremasi negara adidaya, saya melihat sendiri bagaimana anak laki-laki usia belasan itu dengan celana pendek denim, bersepatu kets, ada yang berkaca mata, ada yang tidak, ada yang beranting, ada yang tidak. Bertingkah di luar pandangan yang jamak. Pandangan yang bagi orang Minang bisa dikatakan menjijikan.
Tidak butuh waktu yang lama bagi mata orang awam sekalipun untuk mengenali bahwa ada yang aneh dari perilaku, gerak-gerik mereka. Kebanci-bancian. Bergerombol di satu meja berisi 5 sampai 7 orang dengan gerak-gerik yang seperti ingin menyaingi Ana de Armas itu. Seketika saja mulut saya mengucap "Tuhan..." hanya satu kata itu saja. Kota ini sudah menjadi begitu liberalnya. Saya tidak akan heran dengan pemandangan semacam itu jika tengah bersantai di salah satu cafe di Amsterdam. Tapi Padang ?
Saya bertanya serius kepada tamu yang saya jamu, yang datang dari Agam dan Bukittinggi. Apakah mereka sudah mengetahui kondisi seperti ini di Padang. Salah satu dari mereka malah tidak heran. Bahkan ia berkata salah satu temannya melakukan penelitian tentang gay, dan dia melakukan penelitian dan wawancaranya di restoran cepat saji ini.
Teman saya yang satu lagi malah pernah punya pengalaman pribadi dengan apa yang ada di hadapan kami saat ini. Beberapa tahun yang lalu Ia pernah menemui kejadian serupa, dan ia langsung menempeleng salah satu dari mereka yang bergerombolan itu.
Hasilnya, ia diproses hukum dengan tuduhan penganiayaan. Dan ia berkomentar pedas atas apa yang ia alami itu. "Penegakan hukum kita belum mengakomodir tindakan yang mengkoreksi penyakit sosial macam itu," ujarnya.
Saya pun bertanya kembali kepada mereka, "dimana orang tua mereka ? Karena ini sudah pukul 01.00, apakah mereka tidak mencari anaknya yang belum pulang ?"
"Rata-rata mereka punya orang tua kaya yang tidak terlalu peduli dengan kehidupan anaknya," jawabnya lagi.
"Bukannya itu cuma cerita di sinetron ?" Sengit saya lagi.
"Ya termasuk," balasnya lagi.
Maksudnya adalah, lihatlah tontonan yang ada di TV saat ini. Laki-laki berpakaian seperti perempuan, bertingkah lebih ayu dari ibunya sendiri, dan itu dianggap "lucu", dan tayang setiap hari. Di hampir semua saluran TV, dalam banyak program. Dan ironisnya, kita mungkin negara yang punya komisi paling lengkap di dunia, termasuk komisi yang mengurusi penyiaran.
Saya optimistis Covid-19 bisa diatasi dengan baik, karena persoalannya jelas, medis. Kita memiliki tenaga medis yang berkualitas. Dan mereka pun menunjukan determinasi yang sama dengan para tentara yang sedang berhadapan dengan meriam. Titik rantai terlemah saat ini adalah ketersediaan APD, jika itu bisa diatasi, maka performa mereka pun akan semakin baik lagi.
Tapi persoalan "kebanci-bancian" ini masuk kategori apa ? Jika semakin meluas siapa yang akan mengurusnya ? Dokter ? Ulama ? Pemerintah ? Kepolisian ? Tentara ? Karena jika ini meluas, bukankah sama artinya kita menunggu laknat ?
Bagi Bupati atau Walikota, tinjau-tinjau jugalah potensi bahaya yang terselubung ini. Karena waktu adalah hakim yang sangat kejam. Atau... meminjam istilah walikota yang "katanya" rasa Gubernur, mungkin dia berpikiran kalau persoalan semacam ini lebih mudah diatasi kalau jadi Gubernur. Kalimat yang familiar beberapa tahun lalu. Namun hal yang familiar biasanya hasilnya juga tak jauh beda. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H