Plafon putih di langit-langit seakan berputar-putar saat kubuka mata dengan kaku. Tapi, baru saja mata kubuka, sekejap cahaya lampu begitu menyilaukan menusuk mataku yang telah lama tertidur, memaksaku mengernyitkan mata, dan membukanya kembali perlahan-lahan. Kepalaku terasa berat, dan belum sepenuhnya sadar apa yang sedang terjadi, tapi aroma khas yang merasuk di hidung memberitahuku dimana aku berada. Ya, aku berada di rumah sakit. Ku lihat sebuah televisi menggantung di sudut ruangan, kerai putih menjuntai dari atas plafon mengelilingi ranjangku, dan kantung infus berdiri tinggi di sampingku. Sementara mengamati sekelilingku, sebuah genggaman hangat meremas telapak tanganku. Ia berdiri dari duduknya, matanya berbinar memancarkan kelegaan, menarik nafas panjang, dan senyumnya mengembang di wajahnya yang manis.
"Hai Bram, selamat datang. Aku senang kamu sudah sadar," ia menyapa sembari tangannya kini mengelus pipiku. Aku diam sesaat menunggu semua memori tentang diriku dan gadis yang berdiri di samping ranjangku. "Hai, Jane!" jawabku singkat dengan suara parau. "Bagaimana keadaanmu sekarang, Bram?" tanyanya lagi. "Baik, cuma kepala ini terasa pusing," jawabku lagi sambil memegang kepalaku yang berbalut perban. "Satu Minggu kamu terbaring di sini Bram. Kata dokter, kamu mengalami geger otak ringan. Mungkin itu yang menyebabkan kepalamu pusing." "Apa yang terjadi?" tanyaku penasaran. Jane menceritakan mengapa aku terbaring di rumah sakit ini. "Kita baru saja pulang dari acara launching novelmu yang terbaru di Gramedia Matraman. Kamu ingat?" Aku mengganggukkan kepala. "Di tengah jalan mobil kita kecelakaan. Saat melewati daerah Rawamangun, dari trotoar tiba-tiba seorang anak kecil melepaskan tangan ibunya dan lari menyeberangi jalan. Kamu refleks membanting setir, mobil kita naik ke atas trotoar, menabrak pohon pembatas jalan, kepalamu membentur setir, lalu tidak sadarkan diri. Itulah alasan kamu ada di sini Bram." "Lalu bagaimana dengan anak itu?" tanyaku sambil menahan nafas, takut sesuatu yang buruk terjadi pada anak itu. "Anak itu tidak apa-apa Bram, ia selamat," ujar Jane menenangkan hatiku. "Syukurlah," kataku penuh kelegaan. Jane tersenyum, kini ia menggenggam tanganku, "yang penting sekarang kamu istirahat, ngak usah pikir macam-macam, mudah-mudahan kita bisa cepat pulang ke rumah."
*****
Tiga hari pasca bangun dari koma, dokter mengijinkanku pulang. Perban masih membalut di keningku, tapi rasa pusing itu sudah berkurang. Empat hari berada di rumah, aktivitasku hanya di seputar kamar. Jane selalu menemaniku beristirahat. Tapi selama empat hari ini, kebiasaan Jane banyak berubah. Tidak seperti biasanya ia suka menonton sinetron dan film di televisi, padahal ia tidak menyukainya. Ia lebih suka menonton berita. Dugaanku, mungkin ia mau mencegah agar aku tidak sampai menonton berita di televisi tentang seorang novelis yang telah menghasilkan lima novel romance terlaris di negri ini, mengalami kecelakaan hingga koma beberapa hari di rumah sakit. Itu dugaanku. Dalam beberapa hari ini sikap Jane juga berubah. Ia jadi lebih perhatian padaku. Padahal selama ini ia seorang istri yang.... kalau mau jujur kukatakan, tidak romantis; jarang membelai, memeluk, dan menciumku. Mungkin ia berubah seperti ini karena aku mengalami kecelakaan tragis yang hampir memisahkan cintanya dariku.
Malam itu, selepas menonton salah satu dvd koleksiku yang belum pernah kami tonton, Jane dan aku berbaring tempat tidur, banyak yang kami bicarakan. Aku sempat bertanya, mengapa saudara-saudaraku sewaktu di rumah sakit kelihatan tidak begitu gembira melihatku siuman? Yang aneh lagi, hampir semua memakai pakaian hitam-hitam, dan mereka tidak banyak berbicara padaku. Kuperhatikan saat itu Jane agak kebingungan menjawab pertanyaanku. Ia hanya memintaku agar tidak berpikir macam-macam, seharusnya aku lebih banyak bersyukur sudah bisa pulang ke rumah. Juga ia menambahkan bahwa aku harus beristirahat lebih awal malam ini, karena besok aku harus menghadiri acara meet and greet pasca launching novel terbaruku di Gramedia Matraman beberapa hari yang lalu.
*****
Keesokan harinya aku datang ke acara tersebut sebagai bagian dari kontrakku dengan pihak penerbit. Selama menjadi seorang novelis, baru pertama kulihat penggemarku tumpah ruah, menyemut di aula Gramedia Matraman; demi mendapatkan tanda tanganku. Banyak di antara mereka bercanda bahwa di dunia ini akulah satu-satunya novelis yang bangkit dari maut. Karena itu mereka bertanya adakah pengalaman spiritual dalam tidur panjangku itu, dan jikalau ada maka aku dapat menuliskannya dalam novelku berikutnya. Rupanya, kecelakaan mobil justru membuatku bertambah populer. Butuh tiga jam setengah untuk menandatangani semua novelku siang itu.
*****
Aku segera pulang begitu acara selesai. Jane tidak bersamaku siang itu. Ia lebih suka menunggu di rumah. Karena itu ia tidak merasakan panasnya sinar matahari yang tumpah tanpa ampun siang itu. Sekujur kulitku memuntahkan keringat bagaikan sedang mandi, meskipun aku berteduh di bawah halte bus untuk menunggu taxi yang akan mengantarkanku pulang. Lalu lintas siang itu agak lengang, sehingga para pengendara bebas memacu kendaraan mereka semaunya. Sementara menunggu taxi, seorang anak laki-laki kecil bersama ibunya berjalan ke arah halte bus tempatku berdiri. Usia anak itu kira-kira enam tahun, berkacamata dan dan bertubuh kurus. Tangan kanannya menggandeng tangan ibunya, sementara tangan kirinya memeluk bola kaki di dadanya. Ia berjalan begitu bahagia, karena di tangan ibunya ada kantong plastik Gramedia yang mungkin saja berisi buku cerita yang akan dibacakan ibunya nanti malam.
Tidak pernah kubayangkan kejadian yang akan terjadi beberapa detik kemudian. Ketika mereka sedang menunggu kendaraan di halte bus, seorang anak muda tergesa-gesa berlari dari arah belakang dan tidak sengaja menyenggol si anak kecil. Bola yang dipeluk anak itu terlepas dari pelukannya, dan menggelinding ke tengah jalan raya. Anak itu melepaskan tangan sang ibu dan berlari cepat mengejar bolanya. Refleks aku berteriak nyaring dan segera berlari secepat mungkin ke tengah jalan untuk menyelamatkannya. Namun aku terlambat! Sebuah mobil melaju kencang ke arah anak itu. Bannya berderit nyaring melawan aspal menyusul klakson mobil itu yang menyalak panik. Kuputuskan mendorong anak itu hingga ia terjatuh beberapa meter dariku. Sepersekian detik kemudian kurasakan tulang-tulangku hancur remuk terkena hantaman mobil dan terhempas ke aspal tak sadarkan diri.
*****
Tak tahu bagaimana aku sampai di rumah sakit. Tapi di ruang UGD itu, aku melihat rohku keluar dari tubuhku, melayang sesaat, dan akhirnya aku berdiri di kaki ranjang tempat tubuhku terbaring tak berdaya. Ketakutan akan kematian segera menghantui pikiranku. Aku berteriak-teriak memanggil dokter dan perawat supaya mereka cekatan menolong tubuhku, tapi tidak ada seorangpun yang menyadari keberadaanku. Batinku bergolak tak karuan dan bertanya, "apa mungkin aku sudah mati? Bagaimana perasaan Jane jika ia tahu aku mati? Apa yang harus kulakukan sekarang? Apa malaikat baik atau jahat yang akan menjemputku?" Di depanku saat itu kulihat dokter dan perawat berlomba memasang kabel dan selang pada tubuhku. Mereka memakaikan masker oksigen di mulutku, walaupun sepertinya tubuhku enggan bernafas lagi. Seketika itu terdengar pintu UGD didorong dengan keras, seperti didobrak. Jane muncul dari balik pintu itu. Dengan wajah pucat pasi ia berlari panik memasuki ruangan UGD dan berhenti tepat di sisiku berdiri. Dadanya mulai kembang kempis menahan tangis yang ingin meledak melihat orang yang begitu dicintainya berlumuran darah. Air matanya berurai jatuh membasahi pipi. Kedua tangannya menutup mulutnya menahan luapan tangis yang akan meledak. Tapi, ia tidak dapat menahannya lagi. Tangisnya pun pecah sambil memanggil-manggil lirih namaku. Kini orang yang dikasihinya berada di gerbang hidup dan mati.
Monitor elektrokardiagram yang sebelumnya menunjukkan garis hijau yang membentuk grafik naik dan turun, seketika saja berubah menjadi sebuah garis lurus yang panjang dan bernada datar. Seorang dokter segera meraih defibrillator, dengan suara nyaring memberikan aba-aba, lalu menempelkannya di dadaku. Beberapa kali ia menempelkan alat yang mirip setrika itu di dadaku, tapi usahanya sia-sia. Garis lurus di monitor elektrokardiagram tidak berubah. Aku pun tak terhisap masuk ke tubuhku. Tangis Jane belum reda, tapi ia tampak pasrah melihat tubuhku yang tak merespon. Ia menyeka pipinya yang masih basah, menarik nafas panjang berusaha menenangkan diri, kemudian menoleh ke arah rohku berdiri dan menatap tepat di kedua mataku!
"Jane, apa kamu bisa melihatku?" sontak tanyaku kaget. "Aku bisa melihatmu, Bram," jawab Jane dengan senyuman kecil menghias di wajahnya, walau ia masih tampak terpukul. "Apa aku sudah mati, Jane? Tapi... kenapa kamu bisa melihat aku, dan mereka tidak bisa? Apa yang terjadi, Jane?" aku memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya aku sendiri takut mendengar jawabannya. Dengan singkat Jane menjawab pertanyaanku, "mereka tidak bisa melihatmu Bram, karena kamu sudah mati." "Tapi....tapi kenapa kamu...kamu bisa melihat aku?" tanyaku penuh keheranan. Jane menjelaskan, "ketika kecelakaan terjadi, aku tidak memakai safety belt. Akibatnya, saat kamu menabrak pohon, tubuhku terlempar keluar penuh serpihaan kaca. Kepalaku pecah menghantam pohon yang kamu tabrak. Ambulance membawaku ke rumah sakit ini, dan perawat membaringkanku di ranjang yang sama tempat tubuhmu terbaring saat ini. Aku meninggal tidak lama setelah perawat memasangkan alat-alat yang sama mereka pasang di tubuhmu. Bram, ini roh kita yang sedang berbicara. Kita sudah mati. Kamu harus percaya ini."
"Ngak..., aku ngak percaya ini...!" teriakku sambil berjalan mundur beberapa langkah menjauh dari Jane. Jane mengejar dan meraih kedua tanganku, "Bram, kamu ingat janji kita dulu?" Tak ada kata-kata yang mampu keluar dari mulutku. Aku hanya bisa diam terpaku menatap matanya. Pasrah atau belum bisa menerima kenyataan adalah emosi yang saat ini bergejolak di hatiku. Akhirnya Jene menjawab sendiri pertanyaannya, "bukankah kita pernah berjanji sehidup semati? Janji itu kita ucapkan sama-sama, bahkan sejak kita masih pacaran. Kita berjanji di hadapan Tuhan. Kamu pasti ingatkan? Awalnya aku sendiri tidak percaya kenapa rohku bisa berkomunikasi dengan kamu saat aku sudah mati. Tapi, mungkin ini karena janji kita. Kita pernah berjanji dengan tulus dan cinta kita juga tulus adanya, dan mungkin Tuhan mengijinkan ini." Aku masih diam terpaku menatapnya. "Bram....bukannya aku mau membohongi kamu bahwa aku masih hidup beberapa hari terakhir ini, tapi aku sangat mencintaimu, dan aku ingin selalu bersamamu. Inilah cinta kita, Bram." Untuk beberapa saat kami terdiam tak bersuara. Jane masih memegang kedua tanganku. Matanya memancarkan cinta yang begitu dalam, hingga kematianpun seolah tidak dapat memisahkan cintanya kepadaku.
"Aku masih tidak percaya semua ini terjadi Jane. Tapi yang perlu kamu tahu, aku juga mencintaimu, seperti cintamu kepadaku. Jane...sekalipun ini adalah mimpi buruk, aku mau menjalaninya bersamamu." Mendengar itu semua, Jane mendekat dan mendekapku begitu erat seperti tak mau melepaskanku. Tiba-tiba dalam dekapannya Jane berbisik, "waktu kita sepertinya tidak akan lama lagi Bram; di belakangmu ada seseorang berjubah putih, sayapnya bagaikan rajawali yang sedang merentangkan sayap, wajahnya memancarkan kilauan cahaya, dan ia sedang mengamati kita. Mungkin dialah malaikat yang akan menjemput kita. Apa kamu sudah siap Bram?" "Asalkan bersamamu aku siap, ingat cinta kita sehidup semati," jawabku dengan menatap mata Jane, lalu menoleh ke belakang ke arah sang penjemput yang tersenyum berjalan mendekati aku dan Jane.
* mohon ijin penggunaan nama gramedia matraman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H