Tak tahu bagaimana aku sampai di rumah sakit. Tapi di ruang UGD itu, aku melihat rohku keluar dari tubuhku, melayang sesaat, dan akhirnya aku berdiri di kaki ranjang tempat tubuhku terbaring tak berdaya. Ketakutan akan kematian segera menghantui pikiranku. Aku berteriak-teriak memanggil dokter dan perawat supaya mereka cekatan menolong tubuhku, tapi tidak ada seorangpun yang menyadari keberadaanku. Batinku bergolak tak karuan dan bertanya, "apa mungkin aku sudah mati? Bagaimana perasaan Jane jika ia tahu aku mati? Apa yang harus kulakukan sekarang? Apa malaikat baik atau jahat yang akan menjemputku?" Di depanku saat itu kulihat dokter dan perawat berlomba memasang kabel dan selang pada tubuhku. Mereka memakaikan masker oksigen di mulutku, walaupun sepertinya tubuhku enggan bernafas lagi. Seketika itu terdengar pintu UGD didorong dengan keras, seperti didobrak. Jane muncul dari balik pintu itu. Dengan wajah pucat pasi ia berlari panik memasuki ruangan UGD dan berhenti tepat di sisiku berdiri. Dadanya mulai kembang kempis menahan tangis yang ingin meledak melihat orang yang begitu dicintainya berlumuran darah. Air matanya berurai jatuh membasahi pipi. Kedua tangannya menutup mulutnya menahan luapan tangis yang akan meledak. Tapi, ia tidak dapat menahannya lagi. Tangisnya pun pecah sambil memanggil-manggil lirih namaku. Kini orang yang dikasihinya berada di gerbang hidup dan mati.
Monitor elektrokardiagram yang sebelumnya menunjukkan garis hijau yang membentuk grafik naik dan turun, seketika saja berubah menjadi sebuah garis lurus yang panjang dan bernada datar. Seorang dokter segera meraih defibrillator, dengan suara nyaring memberikan aba-aba, lalu menempelkannya di dadaku. Beberapa kali ia menempelkan alat yang mirip setrika itu di dadaku, tapi usahanya sia-sia. Garis lurus di monitor elektrokardiagram tidak berubah. Aku pun tak terhisap masuk ke tubuhku. Tangis Jane belum reda, tapi ia tampak pasrah melihat tubuhku yang tak merespon. Ia menyeka pipinya yang masih basah, menarik nafas panjang berusaha menenangkan diri, kemudian menoleh ke arah rohku berdiri dan menatap tepat di kedua mataku!
"Jane, apa kamu bisa melihatku?" sontak tanyaku kaget. "Aku bisa melihatmu, Bram," jawab Jane dengan senyuman kecil menghias di wajahnya, walau ia masih tampak terpukul. "Apa aku sudah mati, Jane? Tapi... kenapa kamu bisa melihat aku, dan mereka tidak bisa? Apa yang terjadi, Jane?" aku memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya aku sendiri takut mendengar jawabannya. Dengan singkat Jane menjawab pertanyaanku, "mereka tidak bisa melihatmu Bram, karena kamu sudah mati." "Tapi....tapi kenapa kamu...kamu bisa melihat aku?" tanyaku penuh keheranan. Jane menjelaskan, "ketika kecelakaan terjadi, aku tidak memakai safety belt. Akibatnya, saat kamu menabrak pohon, tubuhku terlempar keluar penuh serpihaan kaca. Kepalaku pecah menghantam pohon yang kamu tabrak. Ambulance membawaku ke rumah sakit ini, dan perawat membaringkanku di ranjang yang sama tempat tubuhmu terbaring saat ini. Aku meninggal tidak lama setelah perawat memasangkan alat-alat yang sama mereka pasang di tubuhmu. Bram, ini roh kita yang sedang berbicara. Kita sudah mati. Kamu harus percaya ini."
"Ngak..., aku ngak percaya ini...!" teriakku sambil berjalan mundur beberapa langkah menjauh dari Jane. Jane mengejar dan meraih kedua tanganku, "Bram, kamu ingat janji kita dulu?" Tak ada kata-kata yang mampu keluar dari mulutku. Aku hanya bisa diam terpaku menatap matanya. Pasrah atau belum bisa menerima kenyataan adalah emosi yang saat ini bergejolak di hatiku. Akhirnya Jene menjawab sendiri pertanyaannya, "bukankah kita pernah berjanji sehidup semati? Janji itu kita ucapkan sama-sama, bahkan sejak kita masih pacaran. Kita berjanji di hadapan Tuhan. Kamu pasti ingatkan? Awalnya aku sendiri tidak percaya kenapa rohku bisa berkomunikasi dengan kamu saat aku sudah mati. Tapi, mungkin ini karena janji kita. Kita pernah berjanji dengan tulus dan cinta kita juga tulus adanya, dan mungkin Tuhan mengijinkan ini." Aku masih diam terpaku menatapnya. "Bram....bukannya aku mau membohongi kamu bahwa aku masih hidup beberapa hari terakhir ini, tapi aku sangat mencintaimu, dan aku ingin selalu bersamamu. Inilah cinta kita, Bram." Untuk beberapa saat kami terdiam tak bersuara. Jane masih memegang kedua tanganku. Matanya memancarkan cinta yang begitu dalam, hingga kematianpun seolah tidak dapat memisahkan cintanya kepadaku.
"Aku masih tidak percaya semua ini terjadi Jane. Tapi yang perlu kamu tahu, aku juga mencintaimu, seperti cintamu kepadaku. Jane...sekalipun ini adalah mimpi buruk, aku mau menjalaninya bersamamu." Mendengar itu semua, Jane mendekat dan mendekapku begitu erat seperti tak mau melepaskanku. Tiba-tiba dalam dekapannya Jane berbisik, "waktu kita sepertinya tidak akan lama lagi Bram; di belakangmu ada seseorang berjubah putih, sayapnya bagaikan rajawali yang sedang merentangkan sayap, wajahnya memancarkan kilauan cahaya, dan ia sedang mengamati kita. Mungkin dialah malaikat yang akan menjemput kita. Apa kamu sudah siap Bram?" "Asalkan bersamamu aku siap, ingat cinta kita sehidup semati," jawabku dengan menatap mata Jane, lalu menoleh ke belakang ke arah sang penjemput yang tersenyum berjalan mendekati aku dan Jane.
* mohon ijin penggunaan nama gramedia matraman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H