Mohon tunggu...
Tommy Jomecho
Tommy Jomecho Mohon Tunggu... Lainnya - Statistisi. Desainer. Penulis. Gamer.

Manusia, dosa dan hijrah. Tempatnya salah, tempatnya dosa. Mencoba berbenah, mencoba berubah. Bisa! Allahuakbar!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Quo Vadis 20 Persen?

27 November 2017   21:44 Diperbarui: 28 November 2017   08:22 939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dana pendidikan naik 20 persen sekira sejak satu dekade lalu. Kendati UU yang mengaturnya lahir lebih dulu. Akan tetapi, wajah pendidikan kita tak banyak berpoles. Inilah yang kemudian membuat Sri Mulyati Indrawati berujar sedih sebagaimana diberitakan media tempo hari. Benarkah 20 persen tak cukup?

Sejak anggaran naik, tak banyak persoalan yang dituntaskan. Lebih dari setengah ruang kelas SD, SMP dan SMA masih dalam keadaan rusak. Bahkan, khusus SD, ruang kelas yang rusak hampir mencapai 80 persen. Sementara tenaga pengajar, meskipun rasionya mencukupi, masih terdapat 15,14 persen guru yang tidak kualified (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, TA 2015/2016).

Fakta tersebut jelas membuat sedih. Tak hanya Sang Menteri, orang kebanyakan pun merasa pilu. Sebagai instrumen memajukan peradaban, pendidikan kita justru berkembang engap-engapan.

Yang kemudian sangat mengiris hati, peserta didik masih kerap dibebankan biaya lain. Rupa-rupa pungutan yang kemudian dihaluskan menjadi sumbangan masih benar adanya. Alih-alih meringankan beban, kenaikan anggaran justru diiringi suburnya pungutan liar (pungli) yang menambah tanggungan.

Tahun 2016, Ombudsman menerima setidaknya 10,2 persen pengaduan terkait pendidikan. Kondisinya kian memburuk di tahun 2017. Pada triwulan III, pengaduan masyarakat berkenaan dengan pendidikan melonjak hingga mencapai 18,6 persen. Angka tersebut membawa pendidikan memuncaki daftar, disusul aduan berkenaan pertanahan dan kepolisian.

Perkara utama yang digugat, yakni pungli dan penyimpangan prosedur. Pengaduan ihwal pungli mencapai 32,1 persen di lembaga pendidikan dan 13,6 persen di perguruan tinggi negeri. Sementara itu, penyimpangan prosedur jumlahnya lebih besar lagi. Tak kurang 35,8 persen pada lembaga pendidikan dan 50,0 persen pada perguruan tinggi negeri.

Serentetan fakta tersebut jelas mencabik-cabik rasa. Di saat pemerintah tengah serius membenahi generasi, segerombolan oknum mencoba membendungnya. Belum jua memetik hasil, bibitnya sudah diinjak.

Tinjau Ulang

Sulit menafikan pendidikan dan manfaatnya dalam membangun peradaban. Pendidikan merupakan instrumen kunci mensejajarkan diri dengan negara maju. Membenahinya sama halnya melepaskan belenggu kemiskinan.

Pendidikan merupakan senjata ampuh mengubah dunia. Demikian Mandela berkata. Pendidikan pula yang mampu menghantar seseorang beranjak dari lapis dasar kemiskinan. Perbaikan taraf pengetahuan melalui pendidikan adalah kunci meretas lingkaran setan kemelaratan.

Pemerintah serius membenahi wajah pendidikan kita. Hal tersebut ditunjukkan dengan realisasi anggaran 20 persen sesuai amanat UU. Pada tahun 2017, pemerintah menggelontoran dana pendidikan sebesar Rp. 416,1 triliun. Jumlahnya bertambah sekira 7 persen pada tahun 2018 menjadi Rp. 444,1 triliun. Tak ada bidang lain yang anggarannya melebihi pagu pendidikan, bahkan infrastruktur sekalipun.

Sungguh disayangkan memang, kendati anggaran meningkat, persoalan mendasar masih jua dijumpai. Tahun lalu, sebanyak 10,94 persen ruang kelas SD rusak berat dan 19 dari 100 gurunya belum tamat Starata 1 (S1). Begitu pula SMP, hampir 9 persen ruang kelasnya rusak berat dan 13 dari 100 gurunya tidak kualified.

Sejumlah persoalan tersebut menyisakan pertanyaan besar. Benarkah jumlah tersebut belum memadai? Atau pemanfaatannya yang justru tak terurus tepat?

Yang pasti 20 persen belum memberi dampak yang berarti. Pemerintah sebaiknya meninjau ulang pemanfaatan anggaran pendidikan, baik dari sisi aturan maupun pelaksanaanya. Perlu dipastikan ketepatan penggunaan anggaran pendidikan sesuai peruntukkannya. Kita tentu berharap praktik-praktik kotor tidak harus mewabah di kompleks kawah candaradimuka tersebut.

Selanjutnya, langkah tegas menyeret oknum yang terlibat praktik pungli ke ranah hukum sungguh mendesak. Jika segera dilakukan, siswa tak harus menanggung konsekuensi logis pupusnya harapan lebih dini. Bagi siswa dari kalangan bawah, rupa-rupa pungutan membuat derita. Terlebih di tengah melesunya daya beli, pungli di sekolah benar-benar tak membantu.

Jika tak berbenah, target keempat SDGs --menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua--, akan menemui hambatan berarti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun