Dari hasil penelusuran lebih lanjut, ternyata Serikat Jesuit pernah melakukan koreksi atas pendekatan pendidikan yang mereka berikan, dari berorientasi kultur kulit putih, menjadi berorientasi pada kultur dan peradaban lokal.
Uraian Romo Bas ditutup dengan istilah lain yang tak kalah menariknya: aktivisme ingatan. Ia menjelaskannya sebagai upaya kolektif untuk terus memelihara memori publik, baik yang disukai maupun tidak disukai. Aku jadi teringat pada ungkapan: Sejarah ditulis oleh pemenang. Dari hasil penelusuran juga aku baru tahu bahwa Romo Bas adalah salah satu penulis buku ‘Routledge Handbook of Memory Activism’(2023).
Romo Mudji menegaskan kembali pentingnya terus memelihara memori-memori publik terutama atas persoalan-persoalan bangsa yang belum tuntas. Ayu Utami mengingatkan bahwa bulan Mei ini masih menjadi peringatan tragedi penembakan mahasiswa tahun 1998 yang sampai sekarang masih menyisakan persoalan dan diperingati tiap tahun dengan Kamis Hitam di depan Istana. Aku jadi teringat pada Komisi Kebenaran dan Rekonsilasi yang dibentuk berdasarkan UU no 27/ 2004.
Tak terasa diskusi selesai. Kekhawatiran bahwa aku akan ngantuk karena malam sebelumnya begadang, tidak terbukti. Begitu banyak hal menarik yang berkelebatan dalam benak. Tapi sesi bertanya keburu habis.
Menarik juga melihat bahwa bedah buku yang cukup berat ini, yang diselenggarakan di sudut kampus yang tidak mudah dicapai (saya harus diantar untuk mencapai ruang perpustakaan Frans Seda), pada malam hari, ternyata dihadiri puluhan orang, sebagian besar anak muda, yang memadati ruangan. Bukunya sendiri lumayan mahal, dijual dengan harga Rp 150 ribu.
Pada Steve Ginting, Managing Director Frans Seda Foundation, dalam obrolan usai diskusi, saya menyampaikan apresiasi pada tradisi intelektual bedah buku seperti ini, yang rasanya makin jarang diadakan, seiring makin meluasnya kultur digital. Bagi saya sendiri, bedah buku ini seperti oase di tengah-tengah padang pasir perilaku ketergesa-gesaan (instant), dan tradisi membaca yang seolah tergerus aneka konten video serta audio digital. Apalagi ini diselenggarakan oleh komunitas yang andaikan saya tidak diundang, saya tidak akan temui. Berbeda jejaring sosial, kalau mengikuti teori Social Network.
Atas jasa baik Irene, saya kemudian terhubung dengan Romo Bas melalui Whatsapp. Di luar dugaan, komentar dan pertanyaan secular mindfulness serta eksaminasi kesadaran saya direspon cepat. Dalam jawabannya, Romo Bas mengusulkan eksaminasi kesadaran di tingkat kebangsaan, sebagai bagian dari upaya menyembuhkan luka-luka bangsa. Gagasan menarik yang perlu diperjuangkan tersendiri untuk bisa terealisasi.
Thank you Irene. Thank you Romo Bas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H