Mohon tunggu...
Tomi Satryatomo
Tomi Satryatomo Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan Media, Pembelajar Komunikasi, Mantan Jurnalis TV

Catatan-catatan ringan dan acak dari kehidupan sehari-hari. Silakan berkomentar, menyampaikan kritik dan saran, selama disampaikan dengan baik, tidak mengandung fitnah atau melanggar SARA.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Awan Merah dan Oase di Tengah Jakarta

3 Juni 2024   19:15 Diperbarui: 3 Juni 2024   19:27 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ki-ka) Irene, Pak Steve Ginting, Romo Mudji, dan penulis/dok. pri

Semerbak aroma buku menerpa saat kaki melangkah masuk ke ruang Perpustakaan Frans Seda, di Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta. Rasanya seperti memasuki gerbang waktu, terlontar ke masa lalu, pada masa-masa ketika buku dan materi-materi cetak masih meraja sebagai sumber informasi dan pengetahuan.Seiring dengan langkah kaki memasuki ruangan, suara dengan intonasi yang jelas, teratur serta terjaga, khas penyiar TVRI, terdengar seperti sambutan yang hangat. Pembawa acaranya memang mantan penyiar TVRI English News Service, Irene Sugiharto, sahabat baik sejak sama-sama bekerja di TransTV, dua dekade lalu.

Ruang perpustakaan kelihatan penuh. Orang-orang menoleh dan tersenyum ramah, tapi Irene adalah satu-satunya orang yang aku kenal di ruangan itu. Ia juga yang mengundang aku untuk hadir dalam bedah buku ‘Awan Merah: Catatan Sepanjang Perjalanan’ (Galang Press, 2023) karya Romo Dr. Baskara T. Wardaya, S.J., yang berlangsung pada pertengahan Mei 2024 ini.

Selain Romo Bas, hadir pula cendekiawan Romo Prof. Dr. Mudji Sutrisno, S.J., dan penulis Ayu Utami yang akan membedah buku tersebut. Moderatornya adalah Dr. Nadia Yovani, S.Sos., ahli sosiologi dan dosen UI. Saya sendiri belum kenal dengan Romo Bas, tapi saya menduga pastilah ia orang yang sangat dihormati, melihat bobot para pembahasnya.

Suasana dan aromanya menerbangkan memoriku pada saat TK, SD, SMP, SMA perguruan Katolik di Sukabumi, Jawa Barat, tempat aku menghabiskan masa kecil dan remajaku, serta tahun pertama di bangunan lama Fakultas Ekonomi Universitas Parahyangan, yang masih terletak di Jl. Merdeka, Bandung. Ada sesuatu yang khas, yang sulit dijabarkan dengan kata-kata.

Moderator membuka acara dengan menjelaskan sedikit isi buku dan kemudian memulai diskusi dengan meminta Romo Baskara menjelaskan tentang examen conscientiae (eksaminasi kesadaran/ penelitian batin) yang menjadi dasar penulisan buku ini.

Walaupun dulu menghabiskan 13 tahun pendidikan dasar hingga menengah di perguruan Katolik, aku merasa asing dengan istilah tersebut. Sambil membuka telinga pada diskusi, mataku mencari-cari keterangan dan sejarah istilah ini. Aku tidak lagi googling, tapi memanfaatkan chatbot berbasis kecerdasan buatan Chat GPT 4.0 dan Google Gemini Advanced, sambil menguji keduanya.

Dalam paparannya, Romo Bas menjelaskan apa itu penelitian batin, “(yaitu) Merenungi pengalaman demi pengalaman untuk mengambil pelajaran buat diri sendiri serta memperkaya orang lain.” Romo Bas mengingatkan, “Pengalaman bukan hanya apa yang terjadi pada kita, tapi apa yang kita lakukan pada kejadian tersebut.”

Pada bagian lain, ia juga mengingatkan, “Harta karun kehidupan terdapat dalam proses dan perjalanan menuju tujuan hidup.” Itulah sebabnya buku ini menggunakan ilustrasi kapal layar yang sedang naik sauh.

Romo Bas kemudian mengungkapkan tentang peribahasa Afrika yang berbunyi Ubuntu, yang berarti ‘I am because we are’ (saya menjadi saya karena orang-orang lain). “Tidak bisa kita hidup tanpa orang lain,” kata Romo Bas, “Bahkan untuk hadir di dunia inipun kita memerlukan orang lain, yaitu Ibu untuk melahirkan dan merawat kita saat kecil.” Aku baru tahu kalau Ubuntu adalah peribahasa. Selama ini lebih aku kenal sebagai salah satu sistem operasi Linux.

Menjelang akhir, Romo Bas, yang ternyata juga sejarawan dan dosen di berbagai negara ini, mengingatkan bahwa memang ada perbedaan perspektif Barat vs Timur. “Peradaban Barat percaya bahwa individu-individu (individualisme) yang sehat akan melahirkan masyarakat yang sehat, sementara peradaban Timur lebih percaya bahwa masyarakat (kolektivisme) yang sehat akan melahirkan individu-individu yang sehat,” kata Romo Bas.

Terakhir, Romo Bas menjelaskan bahwa judul Awan Merah diambil dari nama kepala suku Indian Red Cloud yang mengundang Serikat Jesuit untuk menyelenggarakan pendidikan di kawasan konservasinya. “Dalam kekalahan bisa lahir kemenangan,” kata Romo Bas.

Dari hasil penelusuran lebih lanjut, ternyata Serikat Jesuit pernah melakukan koreksi atas pendekatan pendidikan yang mereka berikan, dari berorientasi kultur kulit putih, menjadi berorientasi pada kultur dan peradaban lokal.

Uraian Romo Bas ditutup dengan istilah lain yang tak kalah menariknya: aktivisme ingatan. Ia menjelaskannya sebagai upaya kolektif untuk terus memelihara memori publik, baik yang disukai maupun tidak disukai. Aku jadi teringat pada ungkapan: Sejarah ditulis oleh pemenang. Dari hasil penelusuran juga aku baru tahu bahwa Romo Bas adalah salah satu penulis buku ‘Routledge Handbook of Memory Activism’(2023).

Romo Mudji menegaskan kembali pentingnya terus memelihara memori-memori publik terutama atas persoalan-persoalan bangsa yang belum tuntas. Ayu Utami mengingatkan bahwa bulan Mei ini masih menjadi peringatan tragedi penembakan mahasiswa tahun 1998 yang sampai sekarang masih menyisakan persoalan dan diperingati tiap tahun dengan Kamis Hitam di depan Istana. Aku jadi teringat pada Komisi Kebenaran dan Rekonsilasi yang dibentuk berdasarkan UU no 27/ 2004.

Tak terasa diskusi selesai. Kekhawatiran bahwa aku akan ngantuk karena malam sebelumnya begadang, tidak terbukti. Begitu banyak hal menarik yang berkelebatan dalam benak. Tapi sesi bertanya keburu habis.

Menarik juga melihat bahwa bedah buku yang cukup berat ini, yang diselenggarakan di sudut kampus yang tidak mudah dicapai (saya harus diantar untuk mencapai ruang perpustakaan Frans Seda), pada malam hari, ternyata dihadiri puluhan orang, sebagian besar anak muda, yang memadati ruangan. Bukunya sendiri lumayan mahal, dijual dengan harga Rp 150 ribu.

Pada Steve Ginting, Managing Director Frans Seda Foundation, dalam obrolan usai diskusi, saya menyampaikan apresiasi pada tradisi intelektual bedah buku seperti ini, yang rasanya makin jarang diadakan, seiring makin meluasnya kultur digital. Bagi saya sendiri, bedah buku ini seperti oase di tengah-tengah padang pasir perilaku ketergesa-gesaan (instant), dan tradisi membaca yang seolah tergerus aneka konten video serta audio digital. Apalagi ini diselenggarakan oleh komunitas yang andaikan saya tidak diundang, saya tidak akan temui. Berbeda jejaring sosial, kalau mengikuti teori Social Network.

Atas jasa baik Irene, saya kemudian terhubung dengan Romo Bas melalui Whatsapp. Di luar dugaan, komentar dan pertanyaan secular mindfulness serta eksaminasi kesadaran saya direspon cepat. Dalam jawabannya, Romo Bas mengusulkan eksaminasi kesadaran di tingkat kebangsaan, sebagai bagian dari upaya menyembuhkan luka-luka bangsa. Gagasan menarik yang perlu diperjuangkan tersendiri untuk bisa terealisasi.

Thank you Irene. Thank you Romo Bas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun