Tangis histeris Ibu mengoyak jiwa. Baru sehari sebelumnya Ibu video call dengan adikku saat masih di RS. Ibu agak marah ketika adikku tiba-tiba minta maaf.
“Ibu cuma mau mengusap-usap kepalanya,” kata Ibu sambil terisak-isak. Kami memang sudah lama merencanakan kepergian Ibu ke Malang. Ibu sayang pada keempat anaknya dengan caranya sendiri-sendiri.
Pada saat bersamaan keluarga almarhum tanya apakah jenazah boleh dimandikan dan dikafani.
“Boleh, tapi tolong bagian wajah jangan ditutup dulu,” kataku.
Sepeninggal Bapak almarhum, aku bersama adik lelakiku ini bahu membahu merawat Ibu, bersama dua adik perempuan yang lain.
Aku yang menjadi wali nikahnya dengan istrinya yang terdahulu. Perempuan berdarah Kudus ini kemudian wafat karena sakit jantung yang diidapnya sejak kecil.
Aku juga yang menjadi wali nikahnya untuk istrinya yang sekarang, perempuan berdarah Kalimantan. Aku menjadi Pakde bagi tiga putranya yang lahir kemudian.
Ketiganya jago main catur, terutama yang kedua, dan mulai sering memenangkan kejuaraan di tingkat kabupaten Malang maupun di provinsi Jawa Timur.
Di pemakaman, liang lahat sudah digali. Aku terkesima. Dalamnya hampir dua meter.
Aku melompat turun ke dalam liang lahat. Dinding dan lantainya terlihat lurus, rata. Rapih. Mungkin karena tanahnya mengandung lempung. Semut-semut berbaris teratur memperbaiki sarang mereka yang terpacul. Rayap-rayap kecil bermunculan dari dekat akar pohon yang terpangkas.
Di tengah cuaca yang sejuk, ditingkahi cuitan burung-burung, di dalam liang lahat, air mata kembali mengalir deras. Aku menerima jenazah adikku, membaringkannya dengan hati-hati, membuka tali kafannya. Berkali-kali sebelumnya melakukan hal seperti ini, tapi tidak pernah terbayang akan melakukannya untuk jenazah adik sendiri.