Kalimat tahlil ‘Laa Illaha illLah’ mengalun lirih dari mulut orang-orang yang menggotong keranda jenazah.Aku salah satunya, mengusung di bagian depan keranda, pada bahu kiriku.
Entah sudah berapa kali aku mengusung keranda jenazah, tapi kali ini terasa berbeda. Air mata diam-diam deras mengalir.
Tidak pernah terbayang, kali ini aku mengusung keranda berisi jenazah adikku sendiri. Kepalanya hanya terpaut beberapa sentimeter dari kepalaku.
…
Kabar duka itu aku terima pagi harinya, Senin (26/6/2023). Di ujung telepon, dokter di ruang gawat darurat rumah sakit bicara dengan nada duka.
“Maaf ya Pak. Kami sudah berusaha sebaik-baiknya. Pasien masuk dalam keadaan tidak sadarkan diri. Kami sudah berupaya semaksimal mungkin, tapi jantungnya sudah terlalu lemah,” kata dokter perempuan itu, “Saya nyatakan meninggal pada pukul 7.15 pagi.”
“Penyebabnya, Dok?” tanyaku menggesa. Aku melihat jam. Pukul 7.16.
“Henti jantung, yang penyebabnya bisa banyak,” jawab dokter. Nadanya agak tegang. Pertanyaan berikutnya sudah diujung lidah.
Tapi tak ada waktu lagi. Ibu harus diberitahu langsung, tidak boleh tahu dari orang lain, karena kabar bisa cepat menyebar.
Ibu sedang berjemur dan bertegur sapa dengan tetangga ketika aku tiba.
Di kursi kesayangannya, kabar duka aku sampaikan dalam pelukan.