Pemerintah membuka peluang kenaikan tarif listrik nonsubsidi mulai tahun depan. Rencana ini menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Apa alasan di balik rencana ini? Bagaimana dampaknya terhadap perekonomian dan lingkungan? Simak ulasan berikut ini.
Latar Belakang dan Alasan Kenaikan Tarif Listrik Nonsubsidi
Salah satu alasan pemerintah membuka peluang kenaikan tarif listrik nonsubsidi adalah tingginya harga komoditas, khususnya batubara, yang menjadi bahan bakar utama pembangkit listrik di Indonesia.Â
Menurut data Kementerian ESDM, harga batubara acuan (HBA) pada Maret 2023 mencapai USD 118,89 per ton, naik 42,7% dibandingkan Maret 2022 yang sebesar USD 83,32 per ton.
Selain itu, pemerintah juga ingin memvalidasi data penerima subsidi listrik, yang saat ini mencakup 24,8 juta pelanggan 450 VA dan 7,2 juta pelanggan 900 VA. Pemerintah berencana melakukan verifikasi dan validasi (verval) data tersebut dengan menggunakan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) yang dikelola oleh Kementerian Sosial. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa subsidi listrik hanya diberikan kepada pelanggan yang benar-benar berhak dan membutuhkan.
Alasan lain yang mendasari rencana kenaikan tarif listrik nonsubsidi adalah kebutuhan dukungan untuk energi baru terbarukan (EBT). Pemerintah menargetkan bauran EBT sebesar 23% pada tahun 2025, namun realisasinya hingga akhir 2022 baru mencapai 13,4%. Salah satu kendala yang dihadapi adalah rendahnya tarif listrik yang diberikan kepada pengembang EBT, sehingga kurang menarik bagi investor. Oleh karena itu, pemerintah berharap dengan menaikkan tarif listrik nonsubsidi, akan ada ruang bagi PLN untuk memberikan insentif kepada pengembang EBT.
Usulan Besaran Subsidi Listrik dalam RAPBN 2024 dan Arah Kebijakan Subsidi Listrik
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024, Kementerian ESDM mengusulkan besaran subsidi listrik sebesar Rp 54,7 triliun, naik 8,6% dibandingkan tahun 2023 yang sebesar Rp 50,3 triliun. Usulan ini didasarkan pada asumsi harga batubara acuan sebesar USD 100 per ton, kurs rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp 14.400, dan inflasi sebesar 3%.
Kementerian ESDM juga mengusulkan arah kebijakan subsidi listrik yang tepat sasaran, berkeadilan, dan pro-transisi energi. Salah satu usulannya adalah memberikan subsidi listrik berdasarkan kategori pendapatan, bukan berdasarkan daya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahan sasaran, di mana pelanggan berpenghasilan tinggi masih mendapatkan subsidi listrik karena menggunakan daya rendah.
Selain itu, Kementerian ESDM juga mengusulkan untuk memberikan subsidi listrik berdasarkan penggunaan energi, bukan berdasarkan biaya. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong efisiensi energi dan penghematan listrik, serta mengurangi beban subsidi. Misalnya, pelanggan yang menggunakan listrik di bawah batas tertentu akan mendapatkan subsidi penuh, sedangkan pelanggan yang menggunakan listrik di atas batas tersebut akan mendapatkan subsidi sebagian atau tidak sama sekali.
Terakhir, Kementerian ESDM juga mengusulkan untuk memberikan subsidi listrik berdasarkan jenis energi, bukan berdasarkan golongan pelanggan. Hal ini dimaksudkan untuk mendukung transisi energi dan pengembangan EBT, serta mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Misalnya, pelanggan yang menggunakan listrik dari EBT akan mendapatkan subsidi lebih besar, sedangkan pelanggan yang menggunakan listrik dari energi fosil akan mendapatkan subsidi lebih kecil atau tidak sama sekali.
Dampak Kenaikan Tarif Listrik Nonsubsidi
Rencana kenaikan tarif listrik nonsubsidi tentu saja akan berdampak pada berbagai aspek, baik ekonomi maupun lingkungan. Berikut ini adalah beberapa dampak yang mungkin terjadi:
- Dampak terhadap inflasi: Kenaikan tarif listrik nonsubsidi akan berpengaruh pada inflasi, karena listrik merupakan salah satu komponen dalam perhitungan indeks harga konsumen (IHK). Menurut Bank Indonesia, setiap kenaikan tarif listrik nonsubsidi sebesar 10% akan menaikkan inflasi sebesar 0,11%. Namun, dampak ini tidak terlalu signifikan, karena tarif listrik nonsubsidi hanya berkontribusi sekitar 2,5% terhadap IHK.
- Dampak terhadap daya beli masyarakat: Kenaikan tarif listrik nonsubsidi akan berpengaruh pada daya beli masyarakat, karena listrik merupakan salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Menurut Kementerian Keuangan, setiap kenaikan tarif listrik nonsubsidi sebesar 10% akan menurunkan daya beli masyarakat sebesar 0,2%. Namun, dampak ini juga tidak terlalu signifikan, karena tarif listrik nonsubsidi hanya berkontribusi sekitar 1,5% terhadap pengeluaran rumah tangga.
- Dampak terhadap beban biaya operasional PLN:Â Kenaikan tarif listrik nonsubsidi akan berpengaruh pada beban biaya operasional PLN, karena listrik merupakan salah satu sumber pendapatan utama perusahaan. Menurut PT PLN (Persero), setiap kenaikan tarif listrik nonsubsidi sebesar 10% akan meningkatkan pendapatan PLN sebesar Rp 9,8 triliun. Namun, dampak ini juga tidak terlalu signifikan, karena tarif listrik nonsubsidi hanya berkontribusi sekitar 15% terhadap pendapatan PLN.
- Dampak terhadap kinerja keuangan PLN: Kenaikan tarif listrik nonsubsidi akan berpengaruh pada kinerja keuangan PLN, karena listrik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laba rugi perusahaan. Menurut PT PLN (Persero), setiap kenaikan tarif listrik nonsubsidi sebesar 10% akan meningkatkan laba PLN sebesar Rp 4,9 triliun. Namun, dampak ini juga tidak terlalu signifikan, karena laba PLN masih bergantung pada besaran subsidi listrik yang diberikan oleh pemerintah.
Pro dan Kontra Kenaikan Tarif Listrik Nonsubsidi
Rencana kenaikan tarif listrik nonsubsidi menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak. Berikut ini adalah beberapa pendapat yang mewakili pro dan kontra tersebut:
* Pro:Â Pemerintah berpendapat bahwa kenaikan tarif listrik nonsubsidi adalah langkah yang perlu dilakukan untuk mengurangi beban subsidi listrik, meningkatkan efisiensi energi, dan mendukung transisi energi. Pemerintah juga menjamin bahwa kenaikan tarif listrik nonsubsidi tidak akan berdampak signifikan terhadap inflasi dan daya beli masyarakat, karena hanya berlaku untuk golongan pelanggan tertentu yang mampu membayar. Pemerintah juga berjanji akan memberikan subsidi listrik yang tepat sasaran, berkeadilan, dan pro-transisi energi.
* Kontra:Â PLN berpendapat bahwa kenaikan tarif listrik nonsubsidi adalah langkah yang tidak tepat, karena akan menurunkan permintaan listrik, mengganggu rencana investasi, dan merugikan pelanggan. PLN juga mengkhawatirkan bahwa kenaikan tarif listrik nonsubsidi tidak akan berdampak signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan, karena laba PLN masih bergantung pada besaran subsidi listrik yang diberikan oleh pemerintah. PLN juga meminta agar pemerintah memberikan kepastian hukum dan regulasi terkait tarif listrik, agar tidak menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha dan masyarakat.
* Pro: Pelanggan berpendapat bahwa kenaikan tarif listrik nonsubsidi adalah langkah yang wajar, karena tarif listrik di Indonesia masih termasuk rendah dibandingkan negara-negara lain. Pelanggan juga berpendapat bahwa kenaikan tarif listrik nonsubsidi akan mendorong mereka untuk lebih hemat dan efisien dalam menggunakan listrik, serta lebih peduli terhadap lingkungan. Pelanggan juga berharap agar pemerintah memberikan fasilitas dan insentif bagi mereka yang ingin beralih ke EBT, seperti diskon, subsidi, atau pajak.
* Kontra:Â Pakar berpendapat bahwa kenaikan tarif listrik nonsubsidi adalah langkah yang kurang tepat, karena tidak sesuai dengan kondisi ekonomi dan sosial yang sedang sulit akibat pandemi Covid-19. Pakar juga berpendapat bahwa kenaikan tarif listrik nonsubsidi tidak akan efektif dalam mengurangi beban subsidi listrik, karena masih banyak pelanggan yang salah sasaran atau beralih ke daya yang lebih rendah. Pakar juga menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada peningkatan kualitas dan kapasitas infrastruktur listrik, serta pengembangan EBT yang lebih terjangkau dan ramah lingkungan.
* Pro:Â LSM berpendapat bahwa kenaikan tarif listrik nonsubsidi adalah langkah yang positif, karena akan mendukung transisi energi dan pengurangan emisi gas rumah kaca. LSM juga berpendapat bahwa kenaikan tarif listrik nonsubsidi akan memberikan sinyal harga yang benar kepada pelanggan, produsen, dan investor, sehingga dapat mendorong penggunaan energi yang lebih efisien, hemat, dan bersih. LSM juga mengapresiasi pemerintah yang berkomitmen untuk memberikan subsidi listrik yang tepat sasaran, berkeadilan, dan pro-transisi energi.
Demikianlah artikel tentang pro dan kontra rencana pemerintah menaikkan tarif listrik nonsubsidi mulai Januari 2024. Semoga artikel ini bermanfaat dan memberikan informasi yang objektif dan komprehensif. Terima kasih telah membaca.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H