Bulan September 2013 ini musim kemarau masih berlanjut, menurut jumpa pers prakiraan musim kemarau 2013 yang digelar BMKGÂ (28/2) memprakirakan bulan September 2013 terjadi 1 ZOM (Zona Musim) yang kemudian ditegaskan oleh Kepala Bidang Peringatan Dini Cuaca Ekstrem, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Hariadi, mengungkapkan bahwa Indonesia saat ini tengah mengalami puncak musim kemarau.
Menurut beliau, puncak kemarau terjadi pada bulan September ini terjadi di wilayah Jawa, Lampung, Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi bagian selatan akan mengalami udara kering dan panas. Tandasnya, kemarau tahun 2013 ini disebut kemarau basah karena masih dihiasi hujan. Namun, kita ketahui bersama selama bulan September ini potensi hujan di wilayah-wilayah tersebut sangat kecil.
Jika membaca dan memperhatikan pernyataan BMKG memang tidak perlu ada kekhawatiran akan kekeringan di musim kemarau tahun ini. Kekeringan memang terjadi dibeberapa daerah, terutama di wilayah-wilayah yang berdekatan dengan pesisir laut karena aomali suhu muka laut yang menyebabkan intesitas pembentukan awan yang cukup tinggi ditambah pengaruh angin kering dari Australia yang dominan.
Penjelasan yang cukup masuk akal, namun hal tersebut perlu disederhanakan lagi agar orang awam dapat memahami maksud arti dan istilah meteorologi, klimatologi dan geofisika terlebih siklus musiman yang dipaparkan oleh BMKG dalam jumpa pers-nya.
Menyimpang agak jauh dari berita diatas, realita masyarakat yang peduli terhadap perubahan cuaca mulai mempertanyakan apa peran pemerintah dalam mengantisipasi perubahan musim, terutama di bidang pengelolaan sumber daya air dan pertanian. Sebagaimana saya ketahui, masih kurangnya koordinasi dalam kebijakan O&P (Operasi & Pemeliharaan) mengakibatkan beberapa wilayah yang memiliki pasokan sumber air cukup seperti Jawa Barat) malah kesulitan dalam mendistribusikan air kepada pemakai air irigasi. Selain sektor urban, tidak bisa dipungkiri, menjadi penyumbang meningkatnya kebutuhan air.
Harus kita sadari mulai sekarang, musim kemarau bukan satu-satunya faktor utama yang menyebabkan kekeringan dibeberapa wilayah di tanah air.
Belum lama ini, tanah air kita menjadi sorotan dunia atas 'ekspor' asap 'bebas cukai' untuk kebakaran lahan yang ternyata disebabkan oleh para 'oknum' di area tersebut. Kemudian, itupun menjadi isu kelemahan dalam koordinasi kebijakan.
Sepertinya menjadi "budaya baru" bagi masyarakat kita "membakar" adalah suatu bentuk penyelesaian untuk suatu permulaan. Bahkan di panggung politik, "membakar" "ideologi" dengan terbentuk banyak sekali ormas-ormas menjadi bentuk penyelesaian untuk suatu permulaan sebuah Partai Politik. Wah, yang satu ini saya bukan lagi menyimpang jauh, Maaf.
Kembali kepada topik kemarau dan asap. Kondisi alam yang sedang kering dengan tingkat kelembaban seperti ini sangat cocok sekali untuk makhluk serangga, terutama nyamuk, berkembang biak. Tidak salah, jika tiap sore hingga malam hari banyak masyarakat yang disibukkan dengan urusan serangga satu ini. Ya, sepertinya masyarakat semakin pintar dalam mewaspadai wabah demam berdarah.
Namun, masih dipergunakannya cara-cara konvensional untuk membasmi serangga ini menjadikan lingkungan menjadi tidak lebih baik. Penggunaan insecticida hingga metode fogging akan mempengaruhi kualitas baik udara, air, tanah yang menjadi media penyerap menjadi menurun.
Terlebih dibeberapa tempat, dan mungkin saja di tempat Anda, masyarakat mengusir nyamuk dengan metode asap sampah. Ya, masyarakat lebih senang membakar sampah-sampah rumah tangga umumnya untuk mengurangi jumlah serangga nyamuk. Sepertinya, masyarakat yang melakukan hal tersebut tidak memiliki opsi lain, selain dengan jawaban pun mengurangi masalah persampahan.
Saya temukan banyak tulisan sahabat Kompasiana membahas dan bercerita tentang polusi. Disadari atau tidak, subjek dari permasalahan itu tidak banyak dibahas.
Entah siapapun subjek atau pelaku penyumbang penurunan kualitas hidup, seharusnya menjadi bahasan dalam pemberdayaan, saya pikir masyarakat pun cukup cerdas untuk bisa menentukan opsi mana yang optimal untuk dilakukan. Selaku bagian dari masyakarat, saya pun sadar masih banyak cara yang bisa dilakukan dengan lebih baik.
Melihat, membaca, dan mendengar upaya menangani kondisi kekeringan beberapa wilayah di tanah air dan permasalahan sosial lingkungan hidup lainnya belum mencapai kegiatan yang optimal baik di pihak aparat, pelaku usaha dan masyarakat. Perlu adanya pemberdayaan dalam integrasi, baik disektor sumber daya air, lingkungan hidup, dan perencanaan nasional atau daerah dan tidak hanya terfokus pada pembangunan infrastruktur saja.
Yang patut kita pahami sekarang ini salah satu penyebab kelembaban tinggi dan peningkatan suhu panas, adalah produksi polusi asap tidak terkendali. Belum lagi dampak penurunan kualitas hidup yang terjadi.
Bagi sebagian orang (termasuk sebagian sahabat Kompasiana) belum merasakan secara langsung dampak-dampak yang mulai timbul. Â Sederhananya, ada kontribusi kita terhadap polusi apapun itu yang harusnya patut kita pahami dampaknya bagi orang lain.
Musim kemarau masih berlanjut, yang paling nyata dihadapan kita adalah tumpukan sampah di saluran-saluran air (drainase), serta sisa arang hitam sampah hasil pembakaran bisa kita jumpai dengan mudah sepertinya menjadi problematika tak berkesudahan di kala musim hujan tiba.
Referensi:Â www.bmkg.go.id; nationalgeographic.co.id; sains.kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H