Mohon tunggu...
Toleo
Toleo Mohon Tunggu... Penjahit - Penulis Puisi

Seniman jalan

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Kliwon

10 Oktober 2023   18:42 Diperbarui: 10 Oktober 2023   18:45 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti biasanya, malam sebelum suara adzan terdengar dan ketika cahaya terakhir tampak memulas mega senja dengan warna jingga, aku sudah mulai diajaknya mulai bersiap. Ia membawa bungkusannya dan menungguku didepan rumah sambil menyalakan rokoknya yang ia buat sendiri dari kulit jagung yang kami sebut dengan "klobot". Rokok dihisapnya dalam-dalam dan sebentar ia keluarkan asapnya dengan perasaan puas. Asap yang ia tiupkan sangat banyak, karna ia menambahkan kemenyan pada lintingannya yang membuat aroma rokoknya lebih harum dan mengeluarkan asap lebih banyak dari rokok biasa. Ia bernama kliwon, dan aku memanggilnya buyut yakni kakek dari ibuku. Entahlah tampaknya usia tak mampu melemahkan semangatnya untuk tetap berkerja, dan malam ini seperti malam-malam sebelumnya ia mengajakku untuk menemaninya menunggui ladang.

Aku memandangnya untuk beberapa lama dan aku perhatikan dengan seksama cara ia menikmati rokok tingwe-nya. Dan seperti biasanya, ia hanya mengenakan celana kolor hitam dengan tali bersimpul besar tepat dibawah perutnya yang membuncit juga berwarna gelap seperti kolornya. Rupanya ia baru sadar kalau aku sudah disampingnya, "kau sudah siap?" tanyanya. Aku mengangguk, dan ia mulai berdiri merapikan sarung yang ia lingkarkan antara pundak dan perutnya.

Kami berjalan beriringan melintasi semak-semak yang menutupi jalan setapak menuju ke ladang. Di ladang ada jagung-jagung muda, singkong dan sayuran yang harus kami tunggu setiap malamnya, karna jika tidak babi hutan atau orang desa kami menyebutnya "celeng" akan menghabiskannya. Celeng sering datang dalam jumlah besar pada malam hari dari hutan sebelah selatan desa kami dan menyerang tanaman penduduk.

Setelah berkali-kali membelok dari jalan setapak, sampailah kami pada sebuah turunan yang mengarah pada sebuah sungai. Dari sini gemericik aliran sungai sudah terdengar jelas. Apalagi kalau suasana hening tak ada angin yang menggetarkan dahan dan daun-daun, maka suara itu pasti lebih jelas lagi. Akhirnya kami sudah sampai pada tepian sungai tersebut tepat di ujung sebuah titian bambu yang dibuat buyut beberapa bulan yang lalu. Setelah melewatinya dan naik sedikit ke tanggul sungai kami telah sampai di ladangnya.

Aku duduk mencanggung di sebuah pematang yang agak tinggi di antara tanaman jagung dan menunggunya berkeliling sekali mengitari ladangnya.

Sebentar saja ia sudah selesai mengelilingi ladangnya, tampak di bawah remang cahaya bulan sosok hitam tubuhnya yang gemuk dengan ciri berjalan yang khas darinya. Ia menuju ke arahku dan beberapa langkah kemudian ia membelok tepat di bawah pohon "kluweh" atau di sebut juga dengan nama "cuet" . Kluweh atau cuet ini adalah tanaman sayur, yakni buahnya yang belum tua. Anatomi buah cuet ini mirip sekali dengan buah nangka, tapi hanya sebesar buah sukun. Batangnya Pun mirip sekali dengan pohon sukun tapi daunnya tak lebih lebar dari daun sukun dan bunganya juga lebih kecil dari bunga sukun.

"Sun... kemari lah, bantu buyut mengumpulkan ranting-ranting ini" terdengar suaranya memanggilku. Kemudian aku bangkit dari duduk dan bergegas menyusulnya dengan sedikit berlari. Seperti biasanya, setiap malam kami selalu membuat api dari ranting-ranting kering yang jatuh yang kami kumpulkan, dan seperti biasanya kami menaruh singkong didalam bara api tersebut.

Setelah ranting-ranting yang kami butuhkan telah cukup terkumpul aku menatanya diatas tumpukan daun-daun kering yang ku kumpulkan, dan ia segera menuju lahan singkong yang tak jauh dari kami. Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa sedompol singkong yang batangnya sudah dipatahkan sebatas pokolnya.

"Sudah siap Sun?" tanyanya memastikan pekerjaanku menyiapkan perapian. Aku mengangguk memberikan isyarat kepadanya. Kemudian ia menaruh sedompol singkong yang dibawanya diatas tumpukan ranting yang aku tata tadi dan menimbunnya kembali dengan sebagian ranting yang ku sisakan. Setelah itu ia merogoh saku kolornya dan mengeluarkan bungkusan plastik kecil dan mengeluarkan sebuah pemantik api dari dalamnya dan menyulutkan api di bagian bawah tumpukan tepat di bagian daun-daun kering tadi. Karna angin belum berhembus kencang, jadi ia dengan mudah dapat menyalakan perapian, dan sebentar saja api sudah membakar hampir semua ranting-ranting itu. Kemudian ia mengambil bungkusan kecil tadi dan mengeluarkan selembar klobot dan sedikit tembakau jawa yang ia taruh diatasnya. Tak lupa ia menambahkan cengkeh rajangan dan sedikit kemenyan. Setelah itu ia linting diantara kedua telapak tangannya kemudian ia letakkan rokok klobot tersebut di antara bibirnya dan menyulutnya.

Cukup lama kami menantikan matangnya singkong bakar. Bulan sudah lewat dan agak condong sedikit ke barat, udara pun mulai dingin, angin bertiup kencang membuat suara keras diantara pucuk-pucuk bambu yang saling bertabrakan. Singkong yang ia pendam di dalam bara api mulai tercium harumnya. Ia mengoreknya dan mengambil sebuah, dipatahkan tengahnya dan diberikannya padaku. Aku agak berjingkat memegangnya karna panas, ku tiup-tiup sebentar dan dengan tergesa kumasukkan ke dalam mulut.

"Minumlah, sebentar lagi saatnya", katanya.

Ia matikan bara api dan bersiap menata parangnya. Aku berjongkok di bawah pematang mengikutinya, tapi ia menyuruhku diam.

Dari selatan mulai terdengar rombongan babi hutan berlari-lari seperti balapan menuju perkebunan penduduk. Dalam remang cahaya bulan dapat kulihat agak samar, banyak sekali jumlah mereka. Ada beberapa ekor yang menuju ladang kami, kemudian buyut berteriak sambil berlari dengan parang di tangannya. Ini di ikuti oleh beberapa penunggu ladang lain yang berdekatan dengan kami. Suara teriakan bersahutan, membuat segerombolan babi hutan berhamburan.

Aku lihat buyut mengejar celeng yang tadi berlari paling depan yang bergerak menuju ladang kami. Setelah hampir terkejar dan posisinya tepat di samping celeng tersebut, ia berteriak keras dan mengayunkan parangnya tepat mengenai kaki depan celeng yang sebelah kanan. Seketika celeng itu tersungkur ke tanah dan ia langsung mengibaskan parangnya tepat di leher celeng. Tapi sepertinya ia belum puas, sambil berteriak keras ia mengayunkan lagi parangnya berkali-kali ke tubuh celeng yang terkapar dihadapannya. Napasnya tersengal-sengal, kemudian aku menghampirinya.

"Dia sudah mati", kataku.

"Biarkan saja bangkainya terkapar disini sampai esok malamnya, agar teman-temannya melihatnya dan akan takut untuk kembali", katanya.

Ia menuju sungai membersihkan parangnya dan mengajakku pulang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun