Ia matikan bara api dan bersiap menata parangnya. Aku berjongkok di bawah pematang mengikutinya, tapi ia menyuruhku diam.
Dari selatan mulai terdengar rombongan babi hutan berlari-lari seperti balapan menuju perkebunan penduduk. Dalam remang cahaya bulan dapat kulihat agak samar, banyak sekali jumlah mereka. Ada beberapa ekor yang menuju ladang kami, kemudian buyut berteriak sambil berlari dengan parang di tangannya. Ini di ikuti oleh beberapa penunggu ladang lain yang berdekatan dengan kami. Suara teriakan bersahutan, membuat segerombolan babi hutan berhamburan.
Aku lihat buyut mengejar celeng yang tadi berlari paling depan yang bergerak menuju ladang kami. Setelah hampir terkejar dan posisinya tepat di samping celeng tersebut, ia berteriak keras dan mengayunkan parangnya tepat mengenai kaki depan celeng yang sebelah kanan. Seketika celeng itu tersungkur ke tanah dan ia langsung mengibaskan parangnya tepat di leher celeng. Tapi sepertinya ia belum puas, sambil berteriak keras ia mengayunkan lagi parangnya berkali-kali ke tubuh celeng yang terkapar dihadapannya. Napasnya tersengal-sengal, kemudian aku menghampirinya.
"Dia sudah mati", kataku.
"Biarkan saja bangkainya terkapar disini sampai esok malamnya, agar teman-temannya melihatnya dan akan takut untuk kembali", katanya.
Ia menuju sungai membersihkan parangnya dan mengajakku pulang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H