Persoalan keinsinyuran ini tidak cuma soal manusia Indonesia yang malas, atau lulusan teknik yang 'murtad' dari keinsinyuran. Ada problem yang lingkupnya lebih luas, problem khas negara berkembang.
Sarjana teknik diproduksi ribuan tiap tahun. Ada yang beneran jadi insinyur tapi juga tidak sedikit yang banting setir.
Sebabnya, tidak banyak lowongan kerja di bidang teknik. Jurusan-jurusan teknik langka. Teknik Penerbangan dan Teknik Material sangat sulit mendapat tempat. Beberapa lulusan teknik, baik dari jurusan yang laris atau yang langka, lalu bekerja di sektor finansial, bisa bank atau jualan.
Sedangkan kampus-kampus baru swasta dibuka. Tapi jurusannya itu-itu saja, Bisnis dan Akuntasi. Atau di bidang teknik, ada Teknik Informatika atau Sistem Informasi, yang notabene lebih simpel dibanding jurusan teknik yang ada mekanikanya.
Banyak kelas karyawan dibuka, agar banyak yang mendaftar kampus tersebut. Namun seringnya tidak ngelmu beneran. Hanya dibuat cari ijazah saja.
Beberapa insinyur muda pulang dari S2 di luar negeri. Tapi sering tidak mendapat posisi yang diharapkan. Ada yang "baru ST" dari Teknik Sipil, tapi tugasnya menghitung mobil. Setelah S2 kelar, tugasnya masih sama, menghitung mobil. Dosen PTN, bergelar doktor luar negeri, juga ikut mroyek.Â
Kerjaan diambil, supaya tidak kalah sugih dari temen-temannya yang hanya gelar Ir. atau ST. Padahal dengan kapasitas demikian, banyak penelitian keren yang bisa dihasilkan, atau membimbing lebih banyak mahasiswa skripsi. Tapi pekerjaan sebagai pendidik dan peneliti memang belum terlalu dihargai.
Sering juga insinyur dibayar murah. Pekerjaan desain keteknikan disediakan anggaran seadanya. Akibatnya, banyak data yang diasumsi, yang berujung pada kegagalan konstruksi. Atau sebaliknya, terjadi overdesain, yang tentu tidak baik buat APBN.
Sedangkan PT-PT konsultan banyak berdiri. Tapi sering hanya menjadi makelar, yang kerjanya 'melempar-lempar' kerjaan, akibat tidak punya tenaga ahli.
Perusahaan khawatir tidak mampu menggaji setiap bulan, sebab tidak ada jaminan proyek selalu mulus. Seringkali konsultan tekor, akibat permintaan macam-macam, yang sering di luar kontrak.
Atau setahun tidak dapat proyek sama sekali. Outsourcing menjadi marak. Paket-paket konsultansi dikerjakan oleh kelompok-kelompok freelance, yang tidak tampil dalam kontrak.